Recents in Beach

header ads

MENGENAL KESENIAN DAN BUDAYA PANDEGLANG


Dari NGADU BEDUG ke PADINGDANGAN Sejarah Singkat Kesenian Rampak Bedug

Rampak Bedug adalah kesenian yang berasal dari tradisi Ngadu Bedug yang merupakan kebiasaan warga masyarakat Pandeglang dalam rangka memeriahkan Bulan Suci Ramadhan, dilakukan menjelang dan setelah Hari Raya Idhul Fitri.
Ngadu Bedug dilakukan oleh dua atau lebih warga kampung yang berbeda, dengan diawali oleh salah satu kampung yang menantang dengan menabuh bedug lagu tertentu (biasanya lagu Nangtang), yang kemudian dijawab oleh kampung lainnya. Selanjutnya terus bersahutan, saling bergantian lagu (motif / pola tabuh) sesuai kraetifitas warga kampungnya masing-masing. Lagu-lagu yang biasa di mainkan diantaranya : Nangtang, Anting Sela, Sela Gunung, Celementre, Pingping Cakcak, Gibrig Tuma, Gedag Limus, Selangdog, Kakaretaan, Rurudatan, Angin-anginan, Bajing Luncat, Patingtung, Koprok Kosong, Shalawat Badar, Tonggeret, Cingcangkeling, Oray orayan, Baledog Jengkol dan Bedug Kula.
Dalam Ngadu Bedug, yang dinyatakan kalah adalah mereka yang berhenti terlebih dahulu (tidak dapat menjawab lagu yang dimainkan lawan). Untuk menjaga harga diri atau kehormatan kampungnya, serta menghindari dari kekalahan, adakalanya kegiatan Ngadu Bedug ini dilakukan bersahutan hingga sehari semalam, bahkan lebih. Kampung-kampung yang biasa melakukan Ngadu Bedug ini diantaranya: Ciaseum, Parung Sentul, Kabayan, Salabentar, Ciguludug, Kadu Gajah, Kadu Pandak, Juhut, Kampung Jambu, Cilaja, Cipacung, Nyoreang, Sarabaya, Ciinjuk, Cikondang dan lain-lain.
Selain Ngadu Bedug yang sifatnya diam di tempat, adapula kegiatan Adu Bedug yang sifatnya berpindah tempat, yang disebut Bedug Nganjor. Ngadu Bedug jenis ini dilakukan warga berasal dari kebiasaan membangunkan sahur warga. Secara harfiah, Nganjor adalah bermain ke tempat/kampung lain. Karena main ke tempat orang, maka kampung bersangkutan yang di anjori (didatangi), tidak mau kalah, mereka pun melakukan perlawanan dengan memainkan Bedug Nganjor pula.
Bedug Nganjor dilakukan oleh sepuluh sampai dua puluh orang, dengan menggunakan peralatan Bedug yang ukurannya relatif lebih kecil dari Bedug yang biasa digunakan Ngadu Bedug yang tidak berpindah tempat. Peralatan Bedug Nganjor mudah ditenteng, dipikul atau dijinjing, sehingga praktis dapat dimainkan sambil bergerak, atau berpindah lokasi penabuhan. Bedug jenis ini biasa terdiri dari Bedug Gebrag dari Batang Pohon Pinang, serta pengiring (Tilingtit, Pongpet, Anting) terbuat dari ruas Bambu.
Dalam pelaksanaannya, Ngadu Bedug jenis Nganjor ini biasanya terjadi kontak fisik, disesabkan saling mendekatnya dua kubu (kampung) berlawanan, yang akhirnya bertemu disuatu tempat (biasanya tanah lapang atau perempatan jalan). Kejadian ini akhirnya menimbulkan saling sindir, saling ejek, dan pada akhirnya terjadi kontak fisik dengan dengan mengadukan langsung atau membenturkan peralatan Bedug yang mereka pakai, sampai berujung perkelahian. Bahkan terkadang menggunakan senjata tajam (jenis golok). Dari sinilah mulai muncul istilah di masyarakat Ngadu Bedug Jadi Ngadu Golok.
Walaupun tidak sampai terjadi jatuh korban meninggal, atau berkelanjutan menjadi dendam antar kampung, karena sifatnya hanya memeriahkan Bulan Ramadhan atau Idul Fitri, namun tak pelak Ngadu Bedug seperti ini mencemaskan warga masyarakat lain. Pemerintah Daerah pada saat itu (sekitar Tahun 1970 an) dalam hal ini Komando Distrik Militer 0601 Pandeglang, sempat melarang warga masyarakat untuk melakukan tradisi Ngadu Bedug ini. Beruntung Bupati pada saat itu (Drs.H.Suyaman) memerintahkan aparatnya untuk meramu (mengkemas) tradisi masyarakat Pandeglang ini menjadi seni pertunjukkan yang kemudian dikenal dengan nama Rampak Bedug. Rampak berarti bersama atau serempak, Bedug berarti Seni Bedug; Rampak Bedug adalah seni menabuh Bedug secara bersama-sama secara serempak dalam irama dan gerakan yang kompak. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam mengkemas kesenian ini diantaranya: Bpk. Didi Junaedi, Bpk. Edi Effendi, Bpk. Asman, Bpk. Wawan Irawan, Bpk. H.Maman Badarjaman (dari jajaran pemerintahan ), sementara para seniman yang terlibat diantaranya : Bpk. H. Ilen (Kampung Juhut), Ka Ibong, Bpk Diding (Kampung Parung Sentul), Bpk Dawiri, Mang Cimplong (Kampung Salabentar), Ka Anang (Kampung Jambu), dan lain-lain.
Selanjutnya setelah Ngadu Bedug berevolusi menjadi Seni Rampak Bedug, perkembangannya sangat pesat, karena selain unsur seninya sangat menonjol sehingga di minati berbagai kalangan, pada saat itu pemerintah gencar mepergelarkan kesenian khas masing-masing daerah dari tiap kabupaten se-Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Pandeglang kerap mengirimkan Seni Rampak Bedug ke berbagai event baik tingkat regional maupun nasional bahkan internasional seperti Peringatan Konfrensi Asia Afrika di Bandung Jawa Barat, yang menjadi sorotan dunia.
Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang kemudian mengagendakan kegiatan Rampak Bedug ini, dengan mengerahkan tiap kampung untuk membuat tenda dan membawa perlengkapan Rampak Bedugnya masing-masing ke Arena Lapangan (alun-alun) untuk diadakan perlombaan. Juri penilai melakukan penilaian secara berkeliling dari tenda ke tenda, sehingga kemeriahan tidak tertahankan. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Hadiah biasanya berupa Kerbau atau Domba.
Sekitar Tahun 1980 an Dinas Pariwisata sebagai instansi yang memasarkan asset budaya daerah, kemudian menyelenggarakan Festival Kesenian Rampak Bedug, dengan istilah Pasanggiri Rampak Bedug, pada setiap perayaan Hari Jadi Kabupaten Pandeglang, yakni Bulan April setiap tahun. Format penyelenggaraannya berbeda dengan dengan lomba bedug sebelumnya yang menyajikan banyak tenda dan panggung, namun kali ini diselenggarakan dalam satu panggung saja untuk bermain secara bergantian. Format Pasanggiri ini biasanya memperebutkan hadiah kehormatan Thropy Bergilir Bupati Pandeglang.
Hal yang membedakan lainnya adalah; bahwa lomba bedug yang dilaksanakan dengan banyak tenda dan panggung tadi, peserta merupakan utusan dari tiap kampung, sementara dalam Pasanggiri versi Dinas Pariwisata ini, peserta merupakan utusan Kelompok (Sanggar, Grup atau Padepokan). Maka mulailah perkembangan seni Rampak Bedug ini ke arah yang lebih profesional. Mulai ada istilah Sanggar dengan manajemen tersendiri atau bukan lagi dikelola warga kampung.
Pasanggiri demi pasanggiri dilaksanakan setiap tahun membawa pengaruh besar terhadap kemajuan Seni Rampak Bedug secara kualitas. Kostum (busana pemain), rias, pola lantai, koreografi, musik iringan dan kaidah seni pertunjukkan lainnya, ditata sedemikian rupa sehingga tersaji pertunjukkan seni Rampak Bedug yang modern, namun tetap tidak meninggalkan kaidah pola tabuh Bedug aslinya.
Disisi kualitas perkembangannya sangat membanggakan, namun disisi kuantitas (jumlah) ini sangat memprihatinkan. Hal ini karena setelah Seni Bedug dikelola oleh grup-grup tersendiri secara mandiri dan mengarah ke profesional, maka kepedulian warga sekitar terhadap seni di kampungnya mulai memudar, walaupun bukan tidak sama sekali. Aktifitas warga secara bergotong royong membuat Bedug untuk Takbiran, sudah tidak ada lagi. Kampung-kampung yang dahulu dikenal dengan ketangkasannya dalam Ngadu Bedug, kini hanya tinggal cerita, sebab peralatan bedugnya pun tidak lagi di jumpai di kampung-kampung tersebut.
Pada Tahun 2000 saja, hanya 7 grup saja yang aktif mengikuti Pasanggiri. Grup-grup tersebut diantaranya : Sanggar Mayangsari (Kampung Pamagersari), Grup Putera Medal (Kampung Parungsentul), Grup Persada (Kampung Salabentar), Grup Harumsari (Kampung Juhut), Grup Taruna Sari (Kampung Kadu Gajah), Grup Layung Sari (Kampung Jambu), dan Grup Putra Sari (Kampung Ciaseum). Para kreator yang aktif pada masa ini diantaranya : Eka Agusdini, Topik Hidayat, Saeful Bahri, Eka Harumsari, Endang, Anang, M.Irawan dan Bpk. Diding.
Menilik kondisi menurunnya jumlah pelaku seni Rampak Bedug demikian, maka berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang, untuk kembali meramaikan tradisi Bedug Pandeglang ini. Selain dengan Event Festival Seni Rampak Bedug yang ditawarkan kepada pihak sponsor, juga dilibatkan para siswa di sekolah untuk melakukan aktifitas ekstra kurikuler Seni Rampak Bedug, dengan melibatkan grup-grup yang ada di sekitarnya agar turut membantu sebagai tenaga pelatih. Tercatat beberapa sekolah yang mulai melakukan ekstra kurikuler ini diantaranya : SDN Pandeglang 4, SDN Pandeglang 3, SMP N I dan II Karangtanjung, SMPN III Pandeglang, SMA N II Pandeglang, SMK N II Pandeglang. Pelatihan dan penulisan Notasi Pola Tabuh Bedug Pandeglang mulai dibuat untuk mendokumentasikan seni ini.
Keberadaan Seni Rampak Bedug kembali ramai dan banyak diminati setelah Pihak Sponsor seperti Sampoerna Hijau, Jarum Coklat, Telkomsel, Indosat, PT.Krakatau Steel menyelenggarakan Festival Seni Rampak Bedug, di Pandeglang dan Serang.
Selanjutnya berbagai grup berupaya membuat kreasi untuk mengubah tampilan Kesenian Rampak Bedug kelompoknya masing-masing. Bidang Seni Budaya PT.Krakatau Steel Cilegon bahkan menjadikan Rampak Bedug sebagai ikon performance nya pada tahun 2004 – 2007, yang berhasil sukses pada berbagai event nasional seperti Bali Art Festival, Parade Tari Nusantara dan lain-lain. Puncaknya pada Tahun 2002 Rohaendi dan kawan-kawan di Bale Budaya Pandeglang binaan langsung Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya kala itu (Bpk.Eddy Effendi) mengkemas Seni Rampak Bedug dikolaborasi dengan kesenian lain yang ada di Kabupaten Pandeglang (terebang tandak, lagu gendreh, silat patingtung, kendang penca, dzikir Saman, Angklung buhun, Ibing Silat), menjadi garapan baru berjudul Padingdang Pandeglangan, yang sukses tampil pada event Tongtong Fair di Negeri Belanda. Kemudian disusul oleh misi kesenian serupa dari Bale Seni Ciwasiat yang juga membawa kemasan Padingdangan ini pada tahun 2010 ke Negeri Belanda.
SUMBERhttp://ciwasiat.blogspot.com