Recents in Beach

header ads

SEKILAS JEJAK SYEKH MAULANA MANSYURUDDIN, SEMPAT DIRIKAN BANTEN DI IRAQ

CIKADUEUN adalah nama desa di Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Untuk sampai ke desa itu tidak sulit, cukup naik angkutan kota (angkot) dari Pandeglang dan hanya menghabiskan waktu sekitar setengah jam. Jika dari pusat kota Provinsi Banten bisa naik bus atau kendaraan premen yang hanya memakan waktu sekitar satu jam.
Desa tersebut cukup dikenal namanya sebagai wisata ziarah Cikadueun. Nama desa itu terdengar sampai ke luar Pulau Jawa, karena di desa itu ada sebuah makam Aulia Allah, yakni Syekh Mansyuruddin. Ada yang unik melihat suasana desa itu. Dari dulu sampai sekarang tidak begitu banyak perubahan. Kondisi badan jalan menuju lokasi peziarahan belum hotmiks, namun setiap hari selalu dipadarti pengunjung dari berbagai kota di Banten, DKI,Bekasi, sampai luar Pulau Jawa.
Mayoritas penduduk desanya beragama Islam. Meski lingkup desa, namun Cikadueun memiliki sarana pendidikan yang cukup memadai, termasuk pendidikan agama pondok pesantren pesantren (Ponpes) Bany 'Aly yang dirintis KH. Ali (alm) lalu KH. Misbahuddin (alm) putranya, dan sekarang dipimpin KH. Andi Suhandi dan saudar-saudaranya. Ponpes Nurul Huda, Pondok Pesantren Tahfidzilquran Al-muhajirin, Ponpes Ushuluddin. Cikadueun juga memiliki berbagai nama kampung, seperti kampung Moyan, Tarikolot, Sobong, Cikadueun Hilir yaitu , asal mula berada kampung Cikadueun.
Nama Cikadueun berasal dari kata cai kakaduen yaitu air bekas minum orang yang kebanyakan memakan buah durian atau kadu bahasa sundanya. Air bekas pengobatan itu di buang ke kali, sungai kecil yang mengalir membelah kampung Cikadueun hingga jauh ke muara kali Cimoyan sampai ke laut Selat sunda, dan kali itu dinamakan kali Cikadueun.
Desa yang menyimpan nilai-nilai kebantenan ini, terdapat petilasan penyebaran agama Islam ini. Dari sekilas cerita yang disampaikan Apuk, salah seorang juru kunci wisata ziarah Cikadueun, menyebutkan petilasan ini adalah peninggalan ulama berupa situs kebudayaan yang di lindungi undang-undang , yakni makam Auliya (wali) Syekh Maulana Mansyuruddin.
Setiap harinya, banyak bus rombongan peziarah parkir di pintu masuk menuju lokasi peziarahan. Meski suhu udara panas di siang hari, namun tidak mematahkan semangat para peziarah asal Banten,dan luar pulau jawa untuk berziarah, sekaligus ingin mengetahui silsilah singkat Syekh Mansyuruddin.
Sebagian besar peziarah yang datang ke lokasi merasakan ketenangan. Meski menuju pintu masuk peziarahan suhu udara panas, setelah melewati pintu gerbang merasakan kesejukan. Ada sedikit hal yang menjadi ganjalan pengunjung saat diperjalanan menuju lokasi ziarah. Kondisi jalan raya dari Pandeglang sampai tiba di tikungan tajam Cikadueun cukup rusak.
Kondisi ini sepertinya luput dari perhatian pemerintah. Warga sekitar mengaku sarana jalan menuju wisata itu, dari dulu sampai sekarang belum pernah mulus. Kondisi itu bisa jadi kurangnya perhatian pembangunan dari pemerintah daerah maupun Banten. Padahal, wisata itu memiliki nilai-nilai kebantenan.
Di lokasi peziarahan itu, penulis berhasil menemui juru kunci untuk sedikit mengurai cerita singkat perjalanan Syekh Mansyuruddin. Syekh Maulana Mansyurudin adalah Aulia Allah yang dikenal tokoh penyebar agama Islam yang memiliki banyak nama. Diantaranya Sultan Abu Nasri, Sultan Abdul Kohar, Abdul Shaleh, dan Sultan Haji. Syekh Mansyur adalah putera Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Bagi mayoritas umat Islam, selalu disebut nama Syeh Maulana Mansyur Cikadueun dalam hadorotan atau doa saat berziarah maupun tahlilan. 
Syekh Mansyuruddin menjabat sultan ke tujuh menggantikan ayahnya Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa, sekitar tahun 1651 M. 
Selama menjadi sultan Banten, Syekh Maulana Mansyuruddin telah mengunjungi beberapa Negara. Bahkan, baru dua tahun menjabat sultan, syekh berangkat ke Iraq untuk mendirikan tanah Banten di Bagdad. Untuk mengisi kekosongan jabatan, kesultanan Banten diserahkan kepada putranya Adipati Ishaq atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Fadhli. Sebelum berangkat ke Iraq, syekh menerima titah atau wasiat dari ayahnya agar tidak singgah kemana-mana sebelum tiba di Iraq untuk mendirikan kerajaan di bagdad. Kecuali jika syekh ke Mekkah. Setibanya di Bagdad, Syekh tidak bisa mendirikan tanah Banten, sehingga ia harus kembali pulang ke Banten. Dalam perjalanan menuju pulang, Syekh lupa titah ayahnya, hingga ia mampir ke pulau Menjeli di kawasan China. Ia menetap di sana selama dua tahun, dan menikahi Ratu Jin yang kemudian dianugerahi satu orang putera.
Selama di Negeri China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda, sehingga ia resmi menjadi Sultan Banten. Tetapi Sultan Agung Abdul Fatah, tidak menyetujuinya, karena Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup, dan harus menunggu kepulangannya dari Bagdad. Waktu itu terdapat perbedaan pendapat, hingga sempat terjadi pertikaian kecil.
Suatu saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Syekh Maulana Mansyuruddin, dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun sempat mempercayinya, termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang itu adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi sultan palsu, dan menyebabkan kekacauan, mengakibatkan rakyat membenci sultan dan keluarganya. Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan itu, Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah yang bernama Pangeran Bu’ang keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Kekacauan dapat dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah melawan Syekh Maulana Mansyuruddin yang palsu. Selasai peristiwa itu ,Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang hijrah ke daerah Tirtayasa. Dari peristiwa itulah, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa itu terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin yang masih berada di pulau Menjeli. Syekh baru sadar, dan teringat wasiat ayahnya. Segeralah syekh memutuskan untuk pulang ke Banten. Sebelum pulang ke Banten, syekh menyempatkan waktu ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT, karena merasa melanggar wasiat ayahnya. Syekh berdoa dan memohon perunjuk kepada Allah agar dapat kembali ke Banten. Dengan izin dan pertolongan Allah SWT, Syekh menyelam di sumur air zam-zam yang kemudian muncul di daerah Cimanuk, Pandeglang. Pada waktu itu, ada masalah besar di Cimanuk, karena ada lubang yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Dengan doa dan pertolongan Allah, syekh menutup lubang itu dengan sebongkah batu yang bertuliskan Alquran. Sampai sekarang batu itu disebut batu Quran Cibulakan. Setelah membereskan kejadian itu , syekh memohon ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai sultan.
Setelah menyebarkan agama Islam ke berbagai daerah, syekh kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia sekitar pada tahun 1672 M, dan dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Patilasan itulah, nmanya masih mengharum dengan sebutan makam Syekh Syekh Maulana Mansyuruddin.
Apuk, juru kunci wisata ziarah Cikadueun menuturkan sebelumnya, hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja yang datang ziarah. Tetapi lama kelamaan pengunjung semakin berdatangan untuk berziarah, termasuk peziarah dari luar Banten dan Pulau Jawa. 
Ia menyatakan setiap hari peziarahan ini banyak dikunjungi peziarah dan wisatawan ziarah.Apalagi pada bulan Maulid, Sya’ban, dan Syawal , pengunjung membeludak di wisata ziarah ini.
Pemantauan Kabar Banten dilokasi peziarahan terdapat bangunan ibadah yang sedang di rehab. Kemudian terdapat air dari tempat ziarah yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, sehingga tidak sedikit peziarah membawa air untuk dibawa pulang. Kendati air itu terus diambil peziarah yang sdatang dari berbagai daerah, namun air yang dianggap ada barokahnya itu tidak kunjung habis. Padahal, air itu hanya berada di gentong pusaka yang kabarnya membawa barokah. 
Dari keterangan warga, air itu wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin, yang barokahnya tergantung kepentingan dan kepercayaan masing-masing,” ujarnya
Selain itu Setelah menjadi kawasan wisata ziarah masyarakat setempat juga dijadikan tempat mencari rezeki dengan cara berjualan mulai dari gerbang pintu masuk yang terpangpang disepanjang jalan menuju tempat ziarah,
Kepala Desa Cikadueun, Uben mengatakan, sarana ibadah yang ada di makam ini tidak pernah mendapat bantuan dana dari pemerintah, apalagi sampai dana pemeliharaan, itu tidak pernah ada.
“Perasaan belum pernah mendapatkan bantuan dari dinas, baik untuk pembangunan wisata, maupun pembangunan mesjid. Rehab dan pembangunan sarana peziarahan ini hasil swadaya masyarakat. Masyarakat tidak ingin peninggalan syekh Maulana Mansyuruddin ini hancur , apalagi sampai rusak,” katanya