Recents in Beach

header ads

Menjaga Marwah Ulama



Oleh: Said Aqil Siroj

Nahdlatul Ulama merupakan representasi paripurna dari Islam Nusantara, dalam kultur, jam’iyyah maupun harakah (gerakan).

Gerak langkah Nahdlatul Ulama (NU), pada level jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi) menjadi referensi utuh bagaimana menyelaraskan agama, ideologi, dan rasa kebangsaan. Dalam NU, ukhuwah basyariyyah, islamiyyah, dan wathaniyyah berjalan harmonis untuk membentuk konfigurasi yang selaras dengan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Persaudaraan antarmanusia, sesama kaum Muslim maupun persaudaraan dalam konteks kebangsaan memiliki porsinya masing-masing yang seimbang.

Akan tetapi, ulama NU sadar betapa ukhuwah wathaniyyah perlu didahulukan untuk membina kebinekaan bangsa agar tetap kokoh dalam persatuan. Untuk itu, dalam historiografi pesantren, para kiai berpedoman jelas tentang Islam dan nasionalisme. Seperti yang ditegaskan para kiai dalam pertemuan tahun 1936 di Banjarmasin, tentang model darusalam (negeri kedamaian) sebagai format Indonesia pasca kemerdekaan.

Jembatan harmonis antara nilai-nilai agama dan nasionalisme inilah, yang menjadi fondasi tegaknya Indonesia. Inilah wajah Islam Nusantara yang dipraktikkan para ulama yang menjadi pilar NU. Ini berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, yang belum menemukan titik pertemuan antara keislaman dan kebangsaan. Islam Nusantara, jelas memberi ruang dialog antara format keagamaan dan strategi kebangsaan yang saling mendukung.

Sebagai benteng kokoh Islam Nusantara, para ulama NU bergerak secara istiqomah untuk mengembangkan pengetahuan, menguatkan jaringan serta membentuk strategi kebangsaan yang sesuai dengan model kebinekaan negeri ini. Pengembangan pengetahuan ulama Nusantara jelas dilakukan sejak masa Walisongo, yang mewariskan tradisi, konsep politik, dan artefak pengetahuan yang dapat bermakna hingga kini.

Selanjutnya, ulama-ulama Nusantara, semisal Syekh Shamad al-Palimbani, Syekh Mahfudh at-Termasi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Ahmad al-Mutamakkin, dan jaringan ulama Nusantara memberi teladan tentang pentingnya konstruksi pengetahuan Islam Nusantara.

Identitas kultural, isnad, silsilah, genealogi pengetahuan dan jaringan luas dalam spektrum pengetahuan Islam memberi bukti bahwa Islam Nusantara jelas menjadi referensi bagi dunia internasional. Inilah yang seharusnya diteruskan oleh para ulama NU, dengan pengetahuan keislaman yang kuat, kemampuan menulis kitab dalam bahasa Arab, mampu berdialog dengan ulama-ulama Timur Tengah yang selama ini menjadi referensi pengetahuan. Dengan demikian, marwah ulama NU terjaga dan menjadi referensi pengetahuan Islam di level internasional.

Pengetahuan luas dalam kajian keislaman dan strategi politik kebangsaan, menjadi ciri khas ulama-ulama NU, yang dalam rentang sejarahnya dipraktikkan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan penerusnya hingga kini. Posisi Rais Aam bukan jabatan politis, tetapi merupakan penghormatan pengetahuan, kezuhudan, dan kemampuan bergerak dalam level politik kebangsaan, bukan sekadar politik kekuasaan.

Politik kebangsaan

Almarhum KH M Sahal Mahfudh merupakan seorang kiai yang penulis kagumi. Beliau tidak sekadar hadir sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap nasib pesantren, namun juga mampu menakhodai NU sebagai jam’iyyah yang konsisten, mandiri, dan berdiri tegak di tengah silang sengkarut kepentingan politik. Kiai Sahal merupakan guru sekaligus mentor penulis dalam mengabdi di NU.

Kiranya, kisah di balik muktamar ke-32 di Makassar memberi bukti bahwa Kiai Sahal tidak ingin mengejar jabatan. Beliau mau menjadi Rais Am, dalam rangka menyelamatkan organisasi ini dari terpaan badai politik dan kepentingan-kepentingan sesaat yang menjebak warga nahdliyin. Kiai Sahal sadar, betapa berat menjaga marwah Rais Am Syuriah, yang merupakan cermin dan referensi bagi struktur mental, cara berpikir, dan sikap politik maupun strategi organisasi bagi seluruh kiai dan alim ulama di negeri ini.

Ibaratnya, Rais Am dan para kiai yang berada di jajaran syuriah merupakan “begawan waskita”, yang bijaksana dan menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan struktural maupun politik sektarian, apalagi syahwat pribadi untuk mengakses kekuasaan. Ini dibuktikan Kiai Sahal dengan konsistensi dan kemandirian dalam ekonomi, politik, dan pemikiran kebangsaan.

Di akhir hayatnya, Kiai Sahal memberikan pesan penting terhadap NU, baik dalam konteks jama’ah maupun jam’iyyah. Kiai Sahal menekankan pentingnya strategi politik tingkat tinggi, untuk menunjukkan bahwa NU bukan organisasi remeh yang dapat dijadikan bemper kekuasaan. Politik ala NU adalah politik kebangsaan dan kerakyatan.

Menurut Kiai Sahal, politik kekuasaan yang biasa disebut politik tingkat rendah (low politic) merupakan porsi partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara pribadi. Di sisi lain, NU secara kelembagaan harus bersih dari model politik tingkat rendah. Wilayah NU sebagai jam’iyyah dalam ranah politik tingkat tinggi (high politic, siyasah ‘aliyah samiyah) dalam wujud politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik.

Kiai Sahal merenungkan tentang hakikat dan strategi politik, bagi warga nahdliyin maupun dalam konteks NU secara organisasi. Dalam pandangan Kiai Sahal, strategi politik kebangsaan NU berarti harus fokus, istiqomah, dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final dalam berbangsa dan bernegara. Politik kerakyatan, diwujudkan NU dalam konteks memberikan pendampingan dan penyadaran terhadap hak-hak rakyat, serta melindunginya dari marjinalisasi politik maupun kekuasaan.

Politik kebangsaan juga dihadirkan Hadratus Syekh Hasyim Asyari yang menjadi tonggak sejarah pada masa revolusi kemerdekaan. Fatwa jihad Kiai Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945, mampu menggerakkan ribuan santri dan pemuda untuk bertempur demi tegaknya NKRI, pada 10 November 1945. Rekaman sejarah inilah yang tidak pernah muncul dalam narasi besar pengetahuan warga negeri ini. Untuk itu, momentum resolusi jihad Kiai Hasyim Asyari perlu dijadikan sebagai penanda sejarah untuk kebangkitan santri.

Peristiwa Oktober-November 1945 inilah yang mempertemukan simpul-simpul jejaring ulama, sebagai tulang punggung NU pada masa kemerdekaan. Pahlawan-pahlawan revolusi, semisal Kiai Hasyim Asyari bersama Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Masjkur, Kiai Bisri Musthofa (ayahanda Gus Mus), Kiai Abbas Cirebon, Kiai Subchi Parakan, dan beberapa kiai lainnya di tanah Jawa, memberikan andil besar dalam sejarah negeri ini, dengan niatan ikhlas dan berpedoman menggerakkan politik kebangsaan.

Tentu saja, gerak langkah kiai pesantren yang bergerak di level politik kebangsaan, jangan sampai ternoda dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan yang menggerus marwah ulama. []

KOMPAS, 16 Juni 2015
Said Aqil Siroj | Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama