Jakarta, NU Online
Pengasuh
Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, Jawa Barat KH Hasyim Muzadi memberikan
pernyataan terkait riwayatnya dalam meneladani sikap dan pemikiran KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal itu ia kemukakan ketika menghadiri
sebuah acara di Monash University Australia, 11 Desember 2016 lalu.
“Pertama
kali saya ketemu Gus Dur tahun 1979 di Muktamar NU Semarang (Muktamar
NU ke-26) dan ketika itu Gus Dur belum masuk di kepengurusan NU
sedangkan saya sudah mewakili utusan NU Cabang Malang,” ujar Kiai Hasyim
mengawali ceritanya.
Di dalam Muktamar ke-26
NU itu, lanjutnya, Gus Dur diangkat menjadi Wakil Katib PBNU. Setelah
pertemuan di Semarang sangat sering Gus Dur ke Jawa Timur. Karena memang
Jawa Timur adalah pusat potensi NU.
Sering
juga menginap di Malang karena Gus Dur mengajar Islamologi di Yayasan
Kristen GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang berlokasi di Sukun Kota
Malang.
“Saya mendampingi dan mengikuti Gus
Dur selama 20 tahun penuh mulai tahun 1979-1999. Di tahun 1999 itu, Gus
Dur menjadi Presiden Republik Indonesia,” jelas Kiai Hasyim.
Setelah
menjadi Presiden RI, tambahnya, Gus Dur fokus memimpin PKB dan dirinya
menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar Lirboyo (Muktamar ke-30 NU).
“Dalam
waktu 20 tahun, saya mengikuti betul jalan pikiran Gus Dur baik masalah
ke-NU-an, keislaman Indonesia, keislaman global, dan situasi politik
Internasional,” ungkapnya.
Menurut pandangan
Kiai hasyim, di dalam membawakan Islam, baik di Indonesia maupun di
dunia, Gus Dur lebih mengetengahkan pendekatan filosofi religius, etika
religi, kemanusiaan (humanity), dan budaya.
Menurutnya,
tak banyak Gus Dur menggunakan ilmu fiqih sebagai bagian dari syariat,
karena yang diketengahkan bukan legal syariatnya tetapi hikmatut tasyri’-nya dan maqoshidut tasyri’-nya.
Dalam
pendekatan etika religi, imbuh Kiai Hasyim, Gus Dur sangat egaliter
menempatkan manusia dalam posisi yang setara, terlepas dari agama yang
dipeluknya. Sehingga hubungan etis ini menjadi sangat cair antara Gus
Dur yang muslim dan non-muslim bahkan yang atheis sekalipun.
“Dalam
hal pendekatan kemanusiaan, Gus Dur sangat mementingkan martabat dan
kebutuhan asasi dari manusia itu sendiri, sebagai bentuk dari kasih
sayang Allah kepada seluruh makhluknya. Dalam hal ini kemanusiaan
diletakkan pada rahmaniah Allah sedangkan rahimiah Allah dikhususkan
untuk kaum muslim,” urai Kiai Hasyim. (Red: Fathoni)