Oleh: Said Aqil Siroj
Peristiwa bom di Mal Alam Sutera, Serpong, Tangerang, telah bikin heboh. Heboh bagi masyarakat karena kejadian ini bisa meresahkan. Fasilitas publik menjadi tidak nyaman. Sementara bagi kalangan tertentu, kejadian ini menjadi ”alat bukti” baru untuk membalik logika umum perihal terorisme.
Bagi mereka, tindakan terorisme ternyata bukan semata akibat tarikan ”ideologis”, melainkan juga didorong oleh ”hasrat profan”. Aksi ”bongkar-membongkar” terhadap terorisme pun kembali terasa ramai bersahutan dengan tatapan ideologis pula.
Pelaku bom di Mal Alam Sutera terbukti didasari pemerasan. Artinya, ini kriminal murni. Pelakunya bukan ”teroris” yang punya militansi dan berjejaring ideologis. Pelaku hanya didorong situasi terdesak secara ekonomi, menyebabkan dia ngawur dan melakukan aksi bom. Ada yang menyebut, aksi ini dilakukan secara lone wolf, sebuah istilah dalam kajian terorisme yang menggambarkan pelaku terorisme yang bertindak sendiri, tanpa ada jaringan; sebagaimana gambaran pelakunya yang belajar meracik bom dari internet.
Sebelumnya bermunculan analisis, misalnya aksi ini dilakukan kelompok teroris yang relatif baru. Ada juga yang menengarai dari jaringan Abu Umar, faksi Mujahidin Indonesia Barat (MIB), segaris dengan kelompok Santoso di Sulawesi Tengah dan Abu Roban di Purwakarta.
Penanda teror
Aksi teror memang bisa dilakukan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Di berbagai belahan dunia, aksi teror cukup beragam pelakunya. Motifnya pun beragam. Model aksinya juga berbeda-beda. Sepertinya tidak monolik. Ada ”situasi” yang membuat teror bisa muncul. Yang menyamakan adalah timbulnya kerusakan dan menyebarnya kecemasan di masyarakat.
Kita pernah membaca di negara lain, misalnya pernah terjadi aksi penembakan di sebuah sekolah di Finlandia yang menewaskan 8 siswa. Pelakunya salah satu siswa di sekolah itu. Atau kasus Breivik yang meledakkan sebuah bom dekat gedung pemerintah di Oslo, Norwegia, serta menembak mati 69 orang di tengah acara perkemahan pemuda. Ada pula, kasus penembakan di sebuah gereja di Amerika. Pemenggalan polisi yang dilakukan oleh seorang imigran pernah terjadi di Inggris. Atau, sekelompok radikal menembaki siswa di sebuah sekolah di Pakistan.Di negeri kita, belum berselang lama juga pernah terjadi kasus teror bom di ITC Depok, Jawa Barat, yang hingga kini pelakunya belum tertangkap.
Dalam sederet contoh kasus tersebut, motif menjadi penting dalam membaca misteri di balik aksi. Terbacalah beberapa motif, seperti depresi, akibat narkoba, xenofobia, kriminal dan juga motif rasial, politik dan keagamaan. Begitu pun, adanya dampak yang ditimbulkan akibat aksi tersebut menjadi hitung-hitungan dalam pembacaannya.
Keragaman motif dan kekuatan dampak ini menandakan, dalam aksi kekerasan tidak semua aksi kekerasan dapat dinyatakan sebagai aksi teroris. Mengapa? Aksi teroris yang bersumbu dari ”paham teror” mempunyai ”daya ledak” secara masif sehingga membawa pada keguncangan stabilitas negara. Bom Bali, misalnya, ditetapkan sebagai ”berdampak nasional” karena dampaknya yang sangat besar terhadap negara.
Dalam kajian akademis, memang dibedakan antara teror dan terorisme. Ada yang memandang bahwa terorisme adalah bentuk pemikiran, sedangkan teror adalah aksi atau tindakan yang terorganisasi. Kebanyakan memandang teror bisa terjadi tanpa adanya terorisme. Teror jadi unsur asli yang melekat pada terorisme. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.
Menyitir Rikard Bagun, terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Kaum teroris hanya ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luasm emperhatikan perjuangan mereka. Kaum teroris modern justru suka mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya (Rikard Bagun: 2002).
Cara pandang dalam ”tatapan akademis” tersebut perlu dikedepankan. Ini dalam rangka membedakan dari ”tatapan ideologis” yang eksklusif dan cenderung reaktif. Ketika terjadi bom di Mal Alam Sutera, sontak dari kalangan ini menyebutnya sebagai titik balik yang bisa meruntuhkan stigmatisasi agama dalam isu terorisme.
Stigmatisasi yang dituduhkan sebenarnya terlalu berlebihan. Negara memahami teroris bisa datang dari mana saja. Namun, menyitir Brian Michael Jenkins, teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka menjadi teroris (Leila Ezzarqui: 2010). Aksi teror yang muncul akibat ideologis inilah yang selama ini muncul di negeri kita. Peristiwa bom, hingga penembakan terhadap aparat, telah terkuak dilakukan oleh mereka yang berasal dari jaringan radikal keagamaan. Walaupun model jaringan sudah mulai melemah, sel-selnya masih bergerak hingga metamorfosis terorisme ”sel hantu” yang berangkat dari individu.
Kita sadari saat ini kita tengah ”banjir” kelompok-kelompok radikal yang terus menguatkan barisan. Semakin eksklusif dikhawatirkan akan makin radikal. Jika sikap radikal kian mengeras, dikhawatirkan akan ”kalap” dan bisa melakukan aksi teror. Apalagi dengan adanya arus pengaruh NIIS yang terbukti memakan banyak korban anak bangsa.
Inilah yang jadi garapan institusi negara, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk terus melakukan pencegahan dan deradikalisasi. Untuk kondisi sekarang, ”kebetulan” banyak ditujukan pada kelompok-kelompok ideologis-keagamaan. Pasalnya, memang kelompok model ini yang tengah bersemi. Jadi, ini bukan berarti negara menstigmatisasi teroris dalam ”kluster” tertentu. Cuaca kultural bangsa ini memang sedang disemerbaki oleh gejala seperti fanatisme dan radikalisme.
Kewaspadaan
Di sinilah perlu pembacaan secara bijak. Kita sudah punya UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai dasar hukum di Indonesia. Ada unsur-unsur terorisme yang telah ditetapkan, yaitu perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan kedaulatan bangsa dan negara. Dan, itu dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (Pasal 1 Ayat 1).
Kejahatan teror akan terus beralih rupa. Bisa saja ada pergeseran dari motif politik menuju motif ekonomi, atau berwujud kejahatan transnasional melalui kejahatan dunia maya. Dan, dari yang berakar etnosentrisme beralih wajah menjadi kejahatan katarsis (amuk personal).
Kita perlu mewaspadai, perubahan demografis akibat mobilitas manusia secara masif bisa memengaruhi keamanan nasional. Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali juga bisa meningkatkan peluang instabilitas, radikalisme, dan terorisme. []
KOMPAS, 4 November 2015
Said Aqil Siroj | Ketua Umum PBNU