Recents in Beach

header ads

Silaturahmi politik

Ada pengalaman yang menyentuh hati pada saat saya bersilaturahmi setiap hari Lebaran. Ketika berkunjung ke tuan rumah yang masih kerabat dekat, saya mendengar isak tangis para bapak ketika berjabat tangan sambil berpelukan. Mereka tidak kuasa lagi berucap minta maaf. Adegan isak tangis yang berlangsung sekitar seperempat menit itu sangat menyayat hati. Akhirnya, saya pun larut dalam suasana haru dan ikut terisak meskipun sebenarnya saya tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Adegan isak tangis itu tidak hanya terjadi dari kalangan bapak-bapak, tapi juga ibu-ibu. Bahkan, tangis mereka lebih keras dan lebih lama. Pelukannya juga lebih erat seolah tak mampu dipisahkan dan tak mau dilepaskan. Yang keluar di tengah isak tangis itu hanyalah kata-kata yang terucap terbata-bata, ”Sepurane, sepurane, … (Mohon maaf, mohon maaf, …).”  Kata-kata itu pasti tak terucap dengan jelas lagi bila yang saling bertemu adalah saudara kandung yang sudah lama sekali tidak bertemu. Hanya air mata yang deras membasahi pipi keduanya.
Setahu saya, orang-orang tua dulu memang demikian adatnya. Tidak hanya ketika ber-Idul Fitri, tapi di setiap akhir silaturahmi, mereka pasti menutupnya dengan saling bermaafan. Pasti pula ada ucapan saling memaafkan meski tidak disebutkan apa kesalahan masing-masing. Ketika saya tanya mengapa kakek-nenek serta orang-orang tua itu berlaku demikian dalam setiap silaturahmi, jawabnya singkat, ”Ben padhang atine, Le, sebab wis padha ngapura-ngapuranan.” (Agar terang hatinya, Nak, sebab sudah saling memaafkan).
Karena belum jelas atas jawaban itu, saya bertanya lagi, ”Lalu, mengapa harus diikuti dengan isak tangis?”


Beliau-beliau yang sangat saya hormati itu menjawab, ”Karena, yang meminta maaf itu bukan hanya ucapan di mulut saja, tapi juga hati nurani kami. Jadi, sebelum mulut mengucapkan kata maaf, nurani kami sudah saling kontak untuk saling memaafkan kesalahan masing-masing. Nah, pada saat itulah, kami sebagai manusia yang banyak salah dalam pergaulan dengan sesama manusia merasakan penyesalan yang mendalam. Makanya, kami saling bermaafan dengan tulus ikhlas. Jadinya, ya, isak tangis itu yang keluar.”

Lebur dosa

Dari sedikit kisah keseharian orang-orang tua kita dulu dalam berhubungan dengan sesamanya, jelas bahwa ternyata silaturahmi bisa dijadikan ajang untuk melebur dosa antarmanusia. Karena, dalam tiap bertemu dengan teman atau orang lain, terbuka kemungkinan berbuat dosa. Mungkin ucapan kita yang menusuk perasaan teman bicara kita, baik tidak disengaja, apalagi yang memang disengaja. Nah, di akhir silaturahmi itulah peluang emas untuk saling bermaafan. Walaupun yang kita bicarakan saat itu mungkin baik semua, tapi siapa tahu kita telah ngrasani atau menggunjing kejelekan teman kita itu di kesempatan silaturahmi lain dengan teman yang berbeda pula.
Lebih-lebih jika kita pahami makna ’iidul fithri adalah kembali ke fithrah (suci) laksana bayi yang baru lahir. Salah satu perwujudannya adalah saling memaafkan atas kesalahan terhadap sesama. Maka, tepatlah jika kita mau ber-Idul Fitri tiap hari karena bermaafan tidak harus menunggu Idul Fitri tiap bulan Syawwal. Kita bisa ber-Idul Fitri tiap hari, bahkan tiap saat bertemu sesama. Mengapa? Karena dengan begitu, perasaan jadi plong. Sudah tidak ada lagi ganjalan atau perasaan lain yang tak enak dalam hati di akhir silaturahmi. Dengan kata lain, kita mampu mengakhiri silaturahmi dengan khusnul khotimah atau happy ending. Betapa luhur dan tingginya nilai silaturahmi yang telah dikembangkan oleh para pendahulu kita tersebut. Maka, sayang bila tradisi tersebut tidak kita warisi dan lestarikan saat ini.




Silaturahmi politik

Satu hal lagi yang juga penting. Jika saja Idul Fitri dan silaturahmi ala kakek-nenek itu juga membudaya di kalangan elit politik, betapa dahsyat manfaatnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembesar politik sebagai orang penting pasti akan rukun sebab di akhir silaturahmi mereka tutup dengan saling memaafkan. Hasilnya, tidak ada dendam di hati. Tidak ada lagi perasaan ganjil yang mengganjal di kalbu. Tidak ada pula saling lempar hujatan di media massa. Juga tidak ada saling gugat di pengadilan. Alhasil, terang dan tenanglah hatinya setelah silaturahmi itu.

Rakyat pun pasti akan terenyuh perasaannya melihat elit-elit politik negara ini berpelukan seraya bermaafan. Apalagi, disertai tetesan air mata yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam karena diliputi rasa sesal atas kesalahan yang telah mereka lakukan terhadap sesama. Kawula alit juga akan kesengsem sikap ksatria pemimpinnya yang mau mengakui kesalahan dan langsung bermaafan seketika itu. Sungguh, itu adalah suri teladan yang sangat baik yang elit suguhkan bagi kalangan grass root.