Ilmu agama dan ilmu kanuragan atau
kesaktian ibarat dua sisi mata uang bagi warga Nahdliyin--sebutan bagi
warga Nahdlatul Ulama (NU). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Sebab,
seorang ulama, kiai, atau penganjur kebenaran, harus dibekali kemampuan
lebih untuk menjaga diri ketika berdakwah.
Maka wajar kemudian kisah-kisah kiai legendaris NU selalu lekat dengan ilmu kanuragan. Banyak kiai NU yang selain dikenal memiliki ilmu agama mumpuni, juga dikenal sakti karena mengajarkan beladiri. Sebut saja nama almarhum Kiai Maksum Djahuri atau Gus Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Dari tangan Gus Maksum juga lah kemudian berdiri perguruan pencak silat NU, Pagar Nusa. Selain itu, kanuragan juga dibutuhkan semasa pergerakan kemerdekaan RI untuk melawan penjajah. Kisah kesaktian kiai dan santri pada masa perang kemerdekaan di Surabaya adalah contohnya.
Resolusi jihad NU menjadi pemicu meletusnya perang 10 November di Surabaya. Para pejuang kemerdekaan yang di dalamnya ada barisan pasukan Hizbullah--barisan para santri pondok pesantren yang dilatih perang untuk melawan penjajahan--menjadi kisah epik bagi para santri. Contohnya adalah kisah Kiai Amin dari Ciwaringin, Cirebon, Jawa Tengah.
Berikut ini kisah-kisah kiai legendaris NU yang dikenal memiliki kesaktian seperti dirangkum dari berbagai sumber:
Gus Maksum, kiai sekaligus pendekar
Tokoh sentral NU lainnya yang dikenal sakti adalah Kiai Abbas Buntet. Pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, itu selain mengajarkan kitab kuning juga mengobarkan semangat perjuangan mengusir penjajah Belanda.
Kiai Abbas adalah putra sulung Kiai Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25 Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan Kiai Abdul Jamil adalah putra dari Kiai Mutaad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.
Pada dasarnya Kiai Abbas adalah keturunan ulama. Karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri, Kiai Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu dia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan.
Setelah itu keluar daerah, yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU.
Dia juga belajar ke Mekkah dan kembali bersama-sama dengan Kiai Bakir Yogyakarta, Kiai Abdillah Surabaya dan Kiai Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah).
Bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet.
Ketika mengaji Kiai Abbas hanya beralaskan tikar. Namun demikian santri yang datang berjubel di langgarnya. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri. Keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.
Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Kiai Abbas mulai merintis perlawanan dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Dengan mengajarkan ilmu kanuragan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah.
Kiai Amin, Ciwaringin
Maka wajar kemudian kisah-kisah kiai legendaris NU selalu lekat dengan ilmu kanuragan. Banyak kiai NU yang selain dikenal memiliki ilmu agama mumpuni, juga dikenal sakti karena mengajarkan beladiri. Sebut saja nama almarhum Kiai Maksum Djahuri atau Gus Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Dari tangan Gus Maksum juga lah kemudian berdiri perguruan pencak silat NU, Pagar Nusa. Selain itu, kanuragan juga dibutuhkan semasa pergerakan kemerdekaan RI untuk melawan penjajah. Kisah kesaktian kiai dan santri pada masa perang kemerdekaan di Surabaya adalah contohnya.
Resolusi jihad NU menjadi pemicu meletusnya perang 10 November di Surabaya. Para pejuang kemerdekaan yang di dalamnya ada barisan pasukan Hizbullah--barisan para santri pondok pesantren yang dilatih perang untuk melawan penjajahan--menjadi kisah epik bagi para santri. Contohnya adalah kisah Kiai Amin dari Ciwaringin, Cirebon, Jawa Tengah.
Berikut ini kisah-kisah kiai legendaris NU yang dikenal memiliki kesaktian seperti dirangkum dari berbagai sumber:
Gus Maksum, kiai sekaligus pendekar
Bagi
warga Nahdliyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama/NU), nama Kiai
Maksum Djauhari atau Gus Maksum, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes)
Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, selain dikenal sebagai kiai juga dikenal
sebagai pendekar. Sebab selain pandai mengaji kitab kuning, kiai
nyentrik tersebut juga ahli dalam seni beladiri atau silat.
Dikutip dari Buku Antologi Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah NU, Karya Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, semasa kecil Gus Maksum tidak hanya diisi dengan rutinitas mengaji. Namun dia juga gemar mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa untuk berguru ilmu silat. Dari hasil pengembaraannya itulah beliau di masa dewasanya tampil menjadi pendekar legendaris di kalangan NU.
Penampilan Kiai NU ini terbilang nyentrik; berambut gondrong, jenggot dan kumis panjang, bersarung setinggi lutut, memakai bakiak, berpakaian seadanya dan tidak makan nasi. Di kalangan dunia persilatan, beliau dikenal sangat mahir dan menguasai berbagai aliran silat dengan sempurna.
Konon saking saktinya sampai rambut beliau tidak mempan dipotong, mulutnya bisa menyemburkan api, mahir menaklukkan jin, mampu melemparkan sapi seperti melemparkan sandal, tidak mempan disantet, tidak mempan senjata tajam, dan lain sebagainya.
Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 12 Januari 2003. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga, sebelah barat masjid lama Ponpes Lirboyo. Kiai yang lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada 8 Agustus 1944 itu juga merupakan pendiri perguruan silat NU Pagar Nusa yang kini semakin banyak anggotanya di seluruh Indonesia.
Dikutip dari Buku Antologi Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah NU, Karya Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, semasa kecil Gus Maksum tidak hanya diisi dengan rutinitas mengaji. Namun dia juga gemar mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa untuk berguru ilmu silat. Dari hasil pengembaraannya itulah beliau di masa dewasanya tampil menjadi pendekar legendaris di kalangan NU.
Penampilan Kiai NU ini terbilang nyentrik; berambut gondrong, jenggot dan kumis panjang, bersarung setinggi lutut, memakai bakiak, berpakaian seadanya dan tidak makan nasi. Di kalangan dunia persilatan, beliau dikenal sangat mahir dan menguasai berbagai aliran silat dengan sempurna.
Konon saking saktinya sampai rambut beliau tidak mempan dipotong, mulutnya bisa menyemburkan api, mahir menaklukkan jin, mampu melemparkan sapi seperti melemparkan sandal, tidak mempan disantet, tidak mempan senjata tajam, dan lain sebagainya.
Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 12 Januari 2003. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga, sebelah barat masjid lama Ponpes Lirboyo. Kiai yang lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada 8 Agustus 1944 itu juga merupakan pendiri perguruan silat NU Pagar Nusa yang kini semakin banyak anggotanya di seluruh Indonesia.
Kiai Abbas Buntet, Cirebon
Tokoh sentral NU lainnya yang dikenal sakti adalah Kiai Abbas Buntet. Pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, itu selain mengajarkan kitab kuning juga mengobarkan semangat perjuangan mengusir penjajah Belanda.
Kiai Abbas adalah putra sulung Kiai Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25 Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan Kiai Abdul Jamil adalah putra dari Kiai Mutaad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.
Pada dasarnya Kiai Abbas adalah keturunan ulama. Karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri, Kiai Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu dia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan.
Setelah itu keluar daerah, yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU.
Dia juga belajar ke Mekkah dan kembali bersama-sama dengan Kiai Bakir Yogyakarta, Kiai Abdillah Surabaya dan Kiai Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah).
Bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet.
Ketika mengaji Kiai Abbas hanya beralaskan tikar. Namun demikian santri yang datang berjubel di langgarnya. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri. Keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.
Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Kiai Abbas mulai merintis perlawanan dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Dengan mengajarkan ilmu kanuragan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah.
Kiai Amin, Ciwaringin
Kiai
NU lain yang juga dikenal memiliki karomah adalah Kiai Amin bin Irsyad
atau lebih akrab dikenal sebagai Kiai Amin Sepuh. Lahir pada hari Jumat,
24 Dzulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan
Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Konon Kiai Amin termasuk ahlul bait, dari
silsilah Syech Syarif Hidayatullah.
Seperti tradisi kiai-kiai NU lainnya, semasa kecil dia juga belajar ilmu agama dari satu pondok pesantren ke pesantren lainnya. Selain belajar ilmu agama, dia juga belajar ilmu kanuragan dari bapaknya sendiri, Kiai Irsyad yang wafat di Mekkah. Kemudian, setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dipindahkan ke pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha.
Setelah itu dia pindah ke pesantren di Jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan. Kemudian belajar ke Pesantren Kaliwungu Kendal, ke Pesantren Mangkang Semarang, ke Pesantren Bangkalan Madura di bawah asuhan Kiai Cholil. Di Bangkalan dia di bawah bimbingan Kiai Hasyim Asyari, yang mana pada waktu itu Kiai Hasyim masih tahassus (menyimak dan menggali pemikiran) kepada Kiai Cholil.
Ketika Kiai Hasyim pulang dan mengajar ke Tebuireng, Kiai Amin pun ikut bertahassus ke sana. Selanjutnya Kiai Amin belajar ke Mekkah. Berikutnya Kiai Amin menimba ilmu kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Setelah menyelesaikan tahassus, kemudian dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.
Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, Kiai Amin lalu meneruskan mengajar di pesantren. Pada masa penjajahan, pesantren selalu menjadi basis perlawanan. Para santri menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, dan tak jarang pula mereka menjadi garda depan melawan penjajah.
Selain dikenal sebagai ulama, Kiai Amin juga dikenal sebagai pendekar yang menguasai ilmu bela diri dan kanuragan. Ada kisah di kalagan warga Ciwaringin, dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Amin dan ulama lain di Cirebon ikut mengirim laskar ke Surabaya. Bahkan Kiai Amin sendiri ikut berangkat serta turut mengusahakan pendanaan untuk biaya keberangkatan.
Kiai Amin ini bagi warga Nahdliyin sangat legendaris. Konon dalam perang di Surabaya itu dia tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur. Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati meskipun dilempari bom sebanyak 8 kali.
Seperti tradisi kiai-kiai NU lainnya, semasa kecil dia juga belajar ilmu agama dari satu pondok pesantren ke pesantren lainnya. Selain belajar ilmu agama, dia juga belajar ilmu kanuragan dari bapaknya sendiri, Kiai Irsyad yang wafat di Mekkah. Kemudian, setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dipindahkan ke pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha.
Setelah itu dia pindah ke pesantren di Jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan. Kemudian belajar ke Pesantren Kaliwungu Kendal, ke Pesantren Mangkang Semarang, ke Pesantren Bangkalan Madura di bawah asuhan Kiai Cholil. Di Bangkalan dia di bawah bimbingan Kiai Hasyim Asyari, yang mana pada waktu itu Kiai Hasyim masih tahassus (menyimak dan menggali pemikiran) kepada Kiai Cholil.
Ketika Kiai Hasyim pulang dan mengajar ke Tebuireng, Kiai Amin pun ikut bertahassus ke sana. Selanjutnya Kiai Amin belajar ke Mekkah. Berikutnya Kiai Amin menimba ilmu kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Setelah menyelesaikan tahassus, kemudian dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.
Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, Kiai Amin lalu meneruskan mengajar di pesantren. Pada masa penjajahan, pesantren selalu menjadi basis perlawanan. Para santri menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, dan tak jarang pula mereka menjadi garda depan melawan penjajah.
Selain dikenal sebagai ulama, Kiai Amin juga dikenal sebagai pendekar yang menguasai ilmu bela diri dan kanuragan. Ada kisah di kalagan warga Ciwaringin, dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Amin dan ulama lain di Cirebon ikut mengirim laskar ke Surabaya. Bahkan Kiai Amin sendiri ikut berangkat serta turut mengusahakan pendanaan untuk biaya keberangkatan.
Kiai Amin ini bagi warga Nahdliyin sangat legendaris. Konon dalam perang di Surabaya itu dia tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur. Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati meskipun dilempari bom sebanyak 8 kali.
Karomah Kiai Hamid, Pasuruan
Kiai
Hamid Abdullah Basayban, Pasuruan, Jawa Timur, juga dikenal sebagai
kiai NU yang memiliki karomah. Suatu ketika di masa Pemerintahan Orde
Baru, Kiai Hamid diajak masuk ke partai pemerintah. Namun dia menyambut
ajakan itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat itu.
Namun ketika surat persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpennya, Kiai Hamid tetap menerima dan menandatanganinya. Anehnya pulpen yang disodorkan untuk tandatangan tersebut tidak bisa keluar tinta alias macet. Lalu digantilah dengan pulpen lain, tapi tetap tak mau keluar tinta dan seterusnya.
Namun ketika surat persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpennya, Kiai Hamid tetap menerima dan menandatanganinya. Anehnya pulpen yang disodorkan untuk tandatangan tersebut tidak bisa keluar tinta alias macet. Lalu digantilah dengan pulpen lain, tapi tetap tak mau keluar tinta dan seterusnya.
Karomah Gus Dur
Terakhir
adalah Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Semua warga NU pasti
mengenal figur satu ini karena pernah menjabat sebagai presiden. Namun
demikian, selain dikenal sebagai kiai yang mengajar kitab kuning, Gus
Dur juga dikenal sebagai politisi, budayawan, dan seniman. Bahkan Gus
Dur juga dikait-kaitkan dengan kesaktian.
Dalam
berbagai cerita, Gus Dur disebut-sebut memiliki karomah, salah satunya
diceritakan Khoirul, sopir pribadi Gus Dur. Dikutip dari www.nu.or.id,
kisah kesaktian Gus Dur ini dialami waktu di jalan raya.
Suatu
ketika, ia sedang berada di Majenang Cilacap mengantar Gus Dur dan
beberapa orang anggota rombongan dalam dua mobil. Saat itu sudah jam 12
siang dan Gus Dur mengajak pulang karena di rumah ada tamu yang harus
ditemuinya pada jam 13.00.
Ia
pun segera putar arah dan mobil rombongan di belakang mengikutinya di
belakang. Karena sudah ada janji, ia ngebut, tetapi tak yakin bisa
segera sampai di Ciganjur, tempat tinggal Gus Dur tepat waktu. Ia
berpikiran, paling-paling bisa sampai di Jakarta pukul 3 atau 4 sore
mengingat jaraknya sangat jauh. Rute yang harus dilalui masih sangat
jauh karena harus melewati kawasan Puncak yang jalannya kecil,
berliku-liku dan naik turun. Apalagi saat itu belum ada Tol Cipularang.
Ia
pun tetap menggeber mobilnya secepat yang bisa ia lakukan. Mobil
rombongan satunya di belakang tidak kelihatan, tampaknya sudah jauh
ketinggalan. Singkat kata, sampailah mobil itu di rumah Gus Dur dan ia
merasa lega selamat sampai di rumah. Ia menengok jam tangannya. Angka
yang masih diingatnya sampai sekarang, "pukul 13.12 menit". Jakarta
Cilacap hanya ditempuh dalam waktu 1 jam lebih sedikit.
Dan
Gus Dur tidak terlambat menerima tamunya yang juga baru saja sampai.
Rombongan mobil di belakangnya baru sampai di Ciganjur pukul 16.30, beda
empat jam lebih dari perjalanannya.
Sumber :muslimoderat.com