Beliau
 lahir pada  tahun 433 H jauh sebelum eranya Imam Nawawi maupun Rofi’i 
bahkan sebelum imam Ghozali. Beliau mendapat karunia umur panjang hingga
 160 tahun, namun demikian tak satu anggota badanpun yang mengalami 
gangguan. Ketika beliau ditanyai karunia yang demikian beliau menjawab: 
“Aku selalu berusaha menjaga anggota badanku sejak kecil tidak pernah 
aku gunakan dalam kemaksiatan. Karenanya Alloh menjaganya pada saat aku 
memasuki usia senja.”
Pada tahun 447 menjabat sebagai qodhi di kota Ashfihan. Dengan jabatanya beliau menebarkan keadilan dan kebenaran ke seluruh pelosok negeri hingga dikenal luas. Kesibukan dan tugasnya sebagai Qodhi tidak melupakan semangat taqorrub dan ibadahnya pada Alloh SWT. Setiap hari sebelum keluar dari rumah beliau melakukan sholat dan membaca Alqur’an.
Begitupun
 dalam melaksanakan tugas dengan teguh berpegang pada kebenaran tanpa 
hawatir akan celaan dan cercaan orang, tiada mengenal kompromi ketika 
harus menegakkan kebenaran  sekalipun itu harus dibayar dengan mahal dan
 taruhan jabatan.
Keteguhan
 hati beliau dalam membela kebenaran didukung oleh kelapangan sisi 
ekonomi. Tentang kekayaan beliau ini ada riwayat yang menyebutkan bahwa 
beliau memiliki sepuluh orang karyawan yang husus mendapat tugas untuk 
membagikan zakat dan shodaqohnya pada para mustahiqqin, dimana 
masing-masing membagikan seribu dua puluh lima dinar. Orang-orang sholeh
 dan para cendikia mendapat prioritas s4hingga mereka merasakan betul 
kemurahan Abi syuja’.
Kekayaannya
 yang demikian tidak menjadikanya lalai dan hanyut dalam kenikmatan. 
Kebeningan hatinya selalu mengusik untuk terus berpikir apa makna dari 
kehidupan dunia yang fana ini? Sampai ahirnya beliau memilih untuk hidup
 dalam kezuhudan yang jauh dari gemerlap dan indahnya dunia. Ashfihan 
yang telah banyak memberikan warna baginya beliau tinggalkan dan 
mengembara menuju kota madinah Almunawwaroh. Di sana beliau mengabdikan 
hidupnya untuk melayani kebutuhan makam sang idolanya,   Rosululloh SAW.
 Menyapu masjid, membersihkan dinding makam menyalakan lampu dan 
sebagainya. Semua dijalani dengan penuh rasa puas dan bangga, sehingga 
pada suatu ketika orang-orang Ashfihan yang telah mengenalnya berziarah 
dan menyaksikan beliau di sana terperanjat dan menyapa: “wahai qodhi Abi
 Syuja!” beliau menjawab dengan tersenyum: “ ketahuilah saya bukan lagi 
Qodhi saya hanyalah seorang tukang sapu makam Rosululloh SAW”
Rutinitas
 sebagai penjaga dan tukang sapu makam beliau lakukan hingga ahir hayat 
beliau. Layaklah kiranya kalau kemudian salah satu karya beliau menjadi 
demikian luas dan manfaat hingga hampir-hampir menjadi kitab wajib bagi 
semua yang ingin mendalami ilmu agama. Nafa’ana Allohu bihi wabi’ulumih amin
Sumber-sumber: Tausyeh ‘ala ibn Qosim:http://fafank-irfan.blogspot.com/2010/12/biografi-ulama-pengarang-kitab-kitab.html
 


 
 
