Soal:
Bagaimana hukum membaca Alquran yang nadham (lafadz) nya hanya terdapat dalam Alquran bagi orang yang berhadats besar dengan niat zikir ?
Jawaban :
Hukum membaca Alquran yang nadhamnya hanya dalam Alquran bagi orang yang berhadats besar dengan niat zikir boleh, sementara pendapat yang menyatakan tidak boleh maka itu pendapat dha’if.
Penjelasan :
Ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang boleh diniatkan sebagai zikir adalah ayat-ayat yang nazamnya tidak hanya terdapat dalam al-qur’an saja, tetapi ayat-ayat yang juga dipakai untuk zikir, seperti bacaan
إنا لله وإنا إليه راجعون , dsb.
Sementara ayat-ayat yang nazamnya “hanya” terdapat dalam al-qur’an, maka tidak boleh diniatkan sebagai zikir.
Oleh karena itu kami dari pihak lajnah bahtsul masa-il mudi mesjid raya samalanga berinisiatif untuk menghadirkan referensi dari kitab klasik mu’tabarah dengan tujuan untuk meyakinkan para pembaca sekalian bahwa ayat-ayat yang boleh diniatkan sebagai zikir bukan hanya ayat-ayat yang ma’ruf dipakai sebagi zikir, tetapi ayat-ayat yang nazamnya “hanya” terdapat dalam al-qur’an pun bisa diniatkan sebagai zikir.
Salah satu referensi yang berkaitan dengan masalah diatas adalah kitab syarqawi ‘ala al-tahrir, karyasyeikh Abdullah al-syarqawy. Beliau menjelaskan bahwa dalam uraian yang terdapat dalam kitab tahrir, syeikh zakaria al-anshary menjelaskan bahwa terdapat rincian yang menyebabkan hukum membaca alqur’an bagi wanita yang sedang mengalami menstruasi berbeda. Rinciannya adalah jika si wanita meniatkan sebagai al-qur’an, maka hukumnya haram. Sementara jika ia tidak meniatkannya sebagai al-qur’an, maka tidak mengapa.
Namun permasalahannya, menurut syeikh zakaria al-anshary rincian tersebut hanya berlaku pada ayat yang nazam (lafadz)nya tidak hanya terdapat dalam al-qur’an saja, tetapi juga lafadz tersebut terdapat dalam selain al-qur’an. Seperti lafadz yang kita ucapkan saat mushibah menimpa إنا لله وإنا إليه راجعون . Sementara ayat yang lafadznya hanya terdapat dalam al-qur’an, maka hukum membacanya haram secara muthlaq, baik diniatkan sebagai zikir atau tidak. Berikut kutipan matan kitab tahrir, hal. 85, jilid. 1, cet. haramain :
Beranjak dari pernyataan inilah, maka syeikh Abdullah al-syarqawy menjelaskan dalam kitab hasyiah syarqawy ‘ala al-tahrir bahwa pendapat tersebut adalah dha’if (lemah). Adapun pendapat yang kuat adalah tidak ada perbedaan antara lafadz yang hanya terdapat dalam al-qur’an dan lafadz yang tidak hanya terdapat dalam al-qur’an.
Berikut kutipan matan kitab hasyiah syarqawy ‘ala al-tahrir, hal. 85, jilid. 1, cet. haramain :
kesimpulannya, ayat yang boleh diniatkan sebagai zikir bukan hanya ayat yang lafadznya tidak khusus terdapat dalam al-qur’an, tetapi ayat yang lafadznya “hanya” terdapat dalam al-qur’an juga boleh diniatkan sebagai zikir.
Bagaimana hukum membaca Alquran yang nadham (lafadz) nya hanya terdapat dalam Alquran bagi orang yang berhadats besar dengan niat zikir ?
Jawaban :
Hukum membaca Alquran yang nadhamnya hanya dalam Alquran bagi orang yang berhadats besar dengan niat zikir boleh, sementara pendapat yang menyatakan tidak boleh maka itu pendapat dha’if.
Penjelasan :
Ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang boleh diniatkan sebagai zikir adalah ayat-ayat yang nazamnya tidak hanya terdapat dalam al-qur’an saja, tetapi ayat-ayat yang juga dipakai untuk zikir, seperti bacaan
إنا لله وإنا إليه راجعون , dsb.
Sementara ayat-ayat yang nazamnya “hanya” terdapat dalam al-qur’an, maka tidak boleh diniatkan sebagai zikir.
Oleh karena itu kami dari pihak lajnah bahtsul masa-il mudi mesjid raya samalanga berinisiatif untuk menghadirkan referensi dari kitab klasik mu’tabarah dengan tujuan untuk meyakinkan para pembaca sekalian bahwa ayat-ayat yang boleh diniatkan sebagai zikir bukan hanya ayat-ayat yang ma’ruf dipakai sebagi zikir, tetapi ayat-ayat yang nazamnya “hanya” terdapat dalam al-qur’an pun bisa diniatkan sebagai zikir.
Salah satu referensi yang berkaitan dengan masalah diatas adalah kitab syarqawi ‘ala al-tahrir, karyasyeikh Abdullah al-syarqawy. Beliau menjelaskan bahwa dalam uraian yang terdapat dalam kitab tahrir, syeikh zakaria al-anshary menjelaskan bahwa terdapat rincian yang menyebabkan hukum membaca alqur’an bagi wanita yang sedang mengalami menstruasi berbeda. Rinciannya adalah jika si wanita meniatkan sebagai al-qur’an, maka hukumnya haram. Sementara jika ia tidak meniatkannya sebagai al-qur’an, maka tidak mengapa.
Namun permasalahannya, menurut syeikh zakaria al-anshary rincian tersebut hanya berlaku pada ayat yang nazam (lafadz)nya tidak hanya terdapat dalam al-qur’an saja, tetapi juga lafadz tersebut terdapat dalam selain al-qur’an. Seperti lafadz yang kita ucapkan saat mushibah menimpa إنا لله وإنا إليه راجعون . Sementara ayat yang lafadznya hanya terdapat dalam al-qur’an, maka hukum membacanya haram secara muthlaq, baik diniatkan sebagai zikir atau tidak. Berikut kutipan matan kitab tahrir, hal. 85, jilid. 1, cet. haramain :
ومحله اذا كان مما يوجد نظمه فى غير القرآن كقوله عند المصيبة انا لله وانا اليه راجعون والا فيحرم مطلقا
Beranjak dari pernyataan inilah, maka syeikh Abdullah al-syarqawy menjelaskan dalam kitab hasyiah syarqawy ‘ala al-tahrir bahwa pendapat tersebut adalah dha’if (lemah). Adapun pendapat yang kuat adalah tidak ada perbedaan antara lafadz yang hanya terdapat dalam al-qur’an dan lafadz yang tidak hanya terdapat dalam al-qur’an.
Berikut kutipan matan kitab hasyiah syarqawy ‘ala al-tahrir, hal. 85, jilid. 1, cet. haramain :
( قوله ومحله ) أى ما ذكر من التفصيل بين القصد وعدمه وهذا ضعيف والمعتمد أنه لافرق بين ذلك وبين ما لايوجد نظمه أى لفظه الا فيه كآية الكرسى وسورة الاخلاص.
kesimpulannya, ayat yang boleh diniatkan sebagai zikir bukan hanya ayat yang lafadznya tidak khusus terdapat dalam al-qur’an, tetapi ayat yang lafadznya “hanya” terdapat dalam al-qur’an juga boleh diniatkan sebagai zikir.