Setelah membongkar makam para ulama, mengintervensi pengajian di Zaitunah, dan mendanai kaum militant, kini kaum Salafi Wahabi di Tunis mendoktrin ratusan wanita muslimah Tunis, untuk mau berjihad ke Suriah sebagai pekerja sex. Pemerintahan Islam pun berhasil mereka pengaruhi. Mufti Negara penentang jihad seksual malah dipecat.
Sepekan terakhir ini, topic terhangat yang ramai diperbincangkan public di Tunis adalah tentang jihad nikah. Yakni soal pengiriman sejumlah gadis Tunis ke Suriah guna memberikan pelayanan sexual kepada para pejuang di sana. Krennya lagi, mereka berangkat ke sana dalam status berjihad di jalan Allah.
Sebenarnya ini adalah isu lama. Saya juga mengetahuinya sejak awal tahun 2013 ini melalui media. Tetapi, banyak pihak yang menepis hal itu dan menganggapnya sebagai isu belaka.
Pekan lalu, opini public mulai berubah. Bahwa ini bukanlah isu isapan jempol belaka, melainkan kenyataan yang ada di depan mata. Terungkap setelah para “mujahidah’ itu pulang kampung - sebagian dari mereka dalam keadaan hamil - dan memberikan kesaksian di media lokal, baik koran maupun televisi.
Karena Doktrin Salafi
Lamia, 19 tahun, salah seorang korban asal kota Bizerte menuturkan kisahnya ke wartawan koran Shuruq. Perkenalannya dengan seorang ustad pada tahun lalu, adalah awal dari segalanya. Sang ustad mengajarkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Wanita tidak dibenarkan keluar rumah.
Sang ustad berhasil mengubah Lamia gaul menjadi Lamia militant. Dari semula gadis berbaju seksi menjadi muslimah yang tak lepas cadar. Istilahnya cuci otak. Hingga Lamia lebih loyal kepada sang ustad, daripada kedua orang tuanya sendiri.
Sekitar bulan Maret 2013, Lamia dibawa sang ustad ke Suriah. Perjalanan dilakukan secara illegal, melalui Ben Gazi, Libya. Di Ben Gazi inilah, Lamia dibawa ke sebuah penampungan. Di sana ia bertemu sejumlah gadis Tunisia lain yang senasib ; sama-sama siap berjihad ke Suriah. Di Ben Gazi pula ia dikenalkan pada seorang yang mengaku bernama Syekh Ayub, pendamping spiritual para gadis itu.
Dan petualangan seksual Lamia pun dimulai dari sini. Syekh Ayub adalah lelaki pertama yang ia layani..
Di kota Aleppo, Suriah, Lamia mengaku berhubungan seksual dengan puluhan pejuang anti pemerintah Assad. Di antara mereka, ada yang berasal dari Saudi, Somalia, Afganistan, Pakistan, Irak dan Libya. (Alhamdulillah ga ada nama Indonesia).
Di Aleppo pula, Lamia bertemu sejumlah wanita Tunis lain yg berprofesi sama, mereka berasal dari berbagai daerah di Tunis ; Gaserin, Kef, Binzert dan Sfax. Kata Lamia kepada wartawan, ada salah seroang dari mereka mencoba kabur, tetapi akhirnya tertangkap, disiksa hingga tewas oleh para pejuang. Ya Allah, habis manis sepah dibuang.
Awal September 2013 lalu, Lamia kembali ke Tunis dalam keadaan hamil 5 bulan. Benih lelaki mana yang membekas dalam rahimnya, ia tidak tahu. Nahasnya lagi, saat ini ia dan janinnya divonis AIDS.
Keluarganya hanya bisa pasrah. Koran Shuruq mengutip ucapan salah seorang keluarganya, bahwa “kami ingin penderitaan ini segera berakhir, dengan meninggalnya Lamia”. Wallahu A’lam.
Karena Doktrin Duit
Lamia hanyalah satu dari sekian puluh korban. Selain Lamia, Koran Shuruq juga mewawancarai beberapa yang lain. Di antaranya MS, 16 tahun, yang pergi ke Suriah karena ajakan kekasihnya, yang tiada lain seorang salafi militant. Ada lagi Sh, 13 tahun, berangkat ke Suriah karena ajakan seroang ibu-ibu tetangga yang berniqab. Ada lagi LK, 15 tahun, diajak kenalannya di Suriah.
Ada lagi seorang korban yang berangkat jihad ke Suriah karena menerima uang sebesar 10 ribu Dinar, setara 65 juta rupiah. Sesaat sebelum berangkat ke Suriah, ia menitipkan uang itu ke saudaranya.
Sekembalinya dari Suriah, ia mengandung. Kemudian, ia pun menggugurkan kandungannya di salah satu RS di kota Tunis, dengan biaya 500 dinar. Ia menggunakan uang tadi sebagai biaya rumah sakit.
Koran Shuruq melaporkan adanya pihak-pihak yang diduga mendanai proyek ini. Biaya pengiriman satu orang gadis mencapai angka 20 ribu dinar Tunis (setara 130 juta rupiah). Modus dalam menjerat korban diketahui ada 3 cara : (1) mereka dijanjikan nikah oleh para pemuda salafi sekembalinya nanti dari Suriah, (2) mereka diperisteri lebih dahulu oleh para syekh salafi secara siri, (3) mereka didoktrin melalui pengajian-pengajian terselubung.
Kisah-kisah petualangan seksual mereka, menghiasi pemberitaan sejumlah koran di Tunis pada hari-hari ini. Beberapa di antaranya juga ditayangkan di televisi local, seperti wawancara TV Tunisna dua hari lalu dengan seorang korban.
Pemerintah dan Wahabisasi
Adalah Syekh Usman Batikh, Mufti Negara Tunisia, sejak lama mengingatkan umat Islam di Tunis agar waspada dengan propaganda kaum Salafi Wahabi. Kata beliau, hati-hati dengan ajakan-ajakan jihad ke Suriah, baik untuk kaum laki-laki maupun kaum perempuan. “Itu bukan termasuk kategori jihad”, tegas beliau kepada public, sekitar bulan April 2013.
Tak lama berselang, pemerintah Tunis memecat Syekh Batikh dari jabatan Mufti. Ia kemudian digantikan oleh Syekh Hamidah Sa’id. Para pengamat mengaitkan pemecatan Syekh Batikh dengan pernyataannya yang melarang jihad ke Suriah.
Sebaliknya, sekelompok ulama salafi di Tunis gencar mengkampanyekan jihad ke Suriah. Mereka mengutip fatwa jihad nikah yang dilontarkan oleh Syekh Arifi, seorang ulama Saudi. Meski belakangan, lewat akun twiternya, Arifi membantah fatwanya ini.
Yang jelas, pemecatan Syekh Batikh semakin menguatkan tudingan public akan keterlibatan pemerinta Tunis yang saat ini dikuasai oleh Partai Nahdah. Setidaknya, pemerintah lagi-lagi melakukan pembiaran terhadap perilaku kaum Salafi Wahabi yang semakin mengacaukan kehidupan keberagamaan di Tunis. Mulai dari pembakaran makam para ulama, intervensi Zaitunah, pelatihan militer bagi masyarakat sipil, dan kini mendorong jihad sex ke Suriah. Entah apa lagi agenda mereka berikutnya.
Khatimah
Revolusi di Tunis menyisakan dilemma. Di satu sisi, kehidupan keberagamaan dan pendidikan Islam saat ini sedang bebas-bebasnya. Umat Islam di Tunis sedang merasakan nikmatnya kebebasan beribadah, kebebasan berjilbab, kebebasan mengaji…
Tetapi di sisi lain, belakangan ini semakin ketahuan, ideology agama yang sebenarnya dipegang penguasa. Ternyata mereka mendukung – atau setidaknya membiarkan Salafi Wahabi melakukan prilaku-perilaku yang terbukti meresahkan umat dan bertentangan dengan kemanusiaan.
Saya masih tetap berharap bahwa masa transisi Tunis dari revolusi menuju demokrasi berjalan dengan mulus, agar Tunis menjadi inspirasi bagi Islam politik di era modern ini (sebagaimana saya tulis dalam catatan terdahulu “Setelah Ikhwan Lengser, Harapan Tinggal ke Tunis”). Tapi pembiaran pemerintah terhadap sepak terjang dan kenakalan Salafi Wahabi selama ini, membuat harapan ini terasa masih jauh.
Kita lihat saja perkembangan berikutnya. Siapa tahu ini hanya kerikil-kerikil tajam yang akan mendewasakan pemerintahan Islam di Tunis. Wallahu A’lam. Salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, 23 September 2013