Recents in Beach

header ads

PEMERINTAH INGIN ZAITUNAH MENJADI SALAFI



Salah satu kegiatan pengajian di Masjid Zaitunah, Tunis

Saat Presiden Mohamed Mursi dari Partai Ikhwanul Muslimin masih berkuasa di Mesir, saya sering mendengar berita adanya upaya intervensi pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan Al Azhar. Bahkan kerap terdengar selentingan adanya upaya pemerintah untuk “menguasai” Al Azhar, dan mengganti dewan pimpinan Al Azhar dengan ulama-ulama lain yang “seideologi” dengan pemerintah.

Yang lebih berhak bertutur tentang hubungan IM dengan Al Azhar adalah tentunya teman-teman mahasiswa Indonesia di Mesir. Saya hanya mendengar “selentingan”, hehe..

Setali tiga uang, kisah serupa pun terjadi di Tunis saat ini. Ya, saat ini, ketika partai Nahdhah yang memiliki kesamaan ideology dengan Ikhwanul Muslimin, berkuasa di tampuk pemerintahan. Pemerintah sedang – dan masih terus – berusaha untuk menguasai dan mengendalikan Zaitunah, salah satu lembaga pendidikan tertua di Dunia Islam, sebagaimana halnya pemerintah Mesir era Mursi hendak menguasai Al Azhar.

Di antara indikasi yang paling kuat dan “disaksikan secara terbuka” oleh masyarakat adalah upaya salafisasi atau wahabisasi terhadap Zaitunah.  Di bidang pendidikan, pemerintah berusaha menutup kegiatan-kegiatan pengajian di Masjid Zaitunah, dengan alasan “kegiatan pendidikan keagamaan cukup dilakukan oleh kampus Universitas Zaitunah saja”.

Kegiatan pengajian talaqqi ala pesantren di Masjid Zaitunah dinamai Ta’lim Zaituni. Kegiatan ini telah berlangsung selama lebih seribu tahun, yakni sejak masjid ini berdiri tahun 732 Masehi, atau 2 abad sebelum Masjid Al Azhar berdiri. Ta’lim Zaituni yang merupakan cikal bakal Universitas Zaitunah ini juga telah menghasilkan sejumlah ulama terkemuka di dunia Islam, khususnya di kawasan Maghrib Arabi.

Saat ini, Ta’lim Zaituni memiliki puluhan cabang di berbagai propinsi, dengan jumlah santri tetap sebanyak 2000 (dua ribu) orang. (Peserta pengajian di Ta’lim Zaituni memang terdaftar secara resmi. Masa belajarnya adalah 4 tahun dan berijazah resmi).

Masjid dan Universitas Zaitunah adalah lembaga pendidikan yang berfaham Ahlu Sunnah wal Jama’ah, dengan mazhab Asy’ari dalam bidang akidah, dan Maliki dalam fiqh. Seperti halnya Al Azhar di Mesir, Zaitunah sejak dulu telah memproklamirkan diri sebagai lembaga yang mengusung wajah Islam yang moderat (wasathiyyah).

Keinginan pemerintah untuk menutup Ta’lim Zaituni ditolak secara tegas oleh para ulama. Dewan ulama Zaitunah yang dipimpin oleh Imam Besar Syekh Husein al Abidi secara gigih menolaknya.

Pemerintah tidak putus asa. It’s oke tidak ditutup, tapi pemerintah menyiapkan planning B : Ta’lim Zaituni “ditertibkan”.  Ada semacam peninjauan ulang terhadap kurikulum. Lagi-lagi para ulama pun menolak.  Pemerintah tetap ngotot. Muncul wacana pemecatan Syekh Abidi dari jabatan Imam Besar. Bahkan beliau dijerat sejumlah persoalan hukum. Persoalan semakin meluas. Secara terbuka, adu pendapat antara Kementerian Agama dengan Dewan Ulama disaksikan public melalui media cetak dan elektronik.

Merasa sulit meluluhkan para masyayikh, pemerintah menyiapkan strategi lain. Pemerintah giat mengundang ulama dari luar Tunis, yang nota bene berfaham salafi dan disponsori Saudi Arabia. Bulan Februari 2013, pemerintah mengundang Syekh Nabil ‘Iwadi, tokoh salafi yang terkenal dari Kuwait. Nabil diberi kesempatan menyampaikan pengajian, juga beberapa acara televise. Koran-koran local meresponnya dengan isu salafisasi.

Akhir April hingga awal Mei lalu, pemerintah menggelar semacam pengajian intensif(daurah) di Masjid Zaitunah, selama 3 minggu. Nara sumbernya adalah para ulama dari Saudi dan beberapa ulama local yang berfaham salafi. Para masyayikh Zaitunah tidak berdaya menolak, karena ini acara Kementerian Agama. Lagi-lagi public menilai, ini wahabisasi Zaitunah.

Bulan Juni, pemerintah menggelar serangkaian acara tablig akbar di berbagai tempat. Sejumlah ulama salafi dari luar negeri, didatangkan ke Tunis. Salah satunya Sykeh Muhammad Hasan (Mesir). Di kota Tunis, tablig akbar digelar di stadion el Menzah yang berkapasitas lima puluh ribu.

Pada saat yang sama, pemerintah nampak longgar bertindak terhadap perilaku kaum salafi, yang doyan membakar kuburan para ulama dan situs-situs bersejarah. Bahkan mereka juga menyerang para ulama Zaitunah secara fisik, sebagaimana dialami oleh Syekh Abdul Fatah Moro, salah seorang ulama kharismatik di Tunis. (Kisah ini pernah saya tuturkan dalam Surat dari Tunis ke-7, tanggal 3 Febr 2013, berjudul "Salafi Bongkar Kuburan Wali").

Kelonggaran sikap pemerintah juga sangat nampak, yakni dengan membiarkan sejumlah da’i dan khatib jumat yang biasa menuduh kelompok-kelompok lain sebagai ‘kafir’ atau ‘ahli bid’ah calon penghuni neraka’, dan lain-lain. Para da’I ini, ya tiada lain adalah ulama salafi yang diizinkan pemerintah untuk menjadi khatib Jumat. Oya, di Tunis, tidak sembarang orang bisa menjadi khatib Jumat. Melainkan harus melalui penunjukan resmi dari pemerintah.  

***
Fenomena kemunculan salafi di Tunis yang demikian pesat saat ini, menambah deretan alasan mengapa kaum oposisi sekuler semakin gigih menyuarakan penggulingan pemerintahan yang sah. Kaum Muslim di Tunis yang selama lebih 50 tahun hidup di alam sekuler yang serba ‘menghalalkan’, tiba-tiba harus berhadapan dengan faham salafi yang serba ‘mengharamkan’, hehe..

Akankah Masjid dan Universitas Zaitunah bertahan dari serangan kaum Salafi? Sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab saat ini. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.  Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 28 Agustus 2013