Masjid Sidi Abdul Qodir, dulu dan kini. Foto diambil dari situs media di Tunis
Spirit Revolusi 2011 mendorong umat Islam di Tunis untuk mengembalikan sejumlah identitas Islam yang pernah hilang diberangus oleh sistem yang sekuler. Salah satunya, Masjid Sidi Abdul Qodir di kawasan kota tua Tunis “dikembalikan’ perannya sebagai Masjid lagi, setelah sekian lama dijadikan sebagai gedung pertunjukan kesenian dan hiburan malam. Tetapi, persoalan hukum dan tentangan kaum sekuler masih menjadi hambatan.
Waktu menunjukkan pukul 12.30. Kumandang adzan dzuhur terdengar bersahutan dari sejumlah Masjid di kawasan kota tua Tunis. Maklum, di kawasan pemukiman padat ini, jarak antara satu Masjid dengan Masjid lain sangat berdekatan.
Satu per satu jema’ah memasuki sebuah Masjid di Nahj Diwan, jalan sempit yang berlokasi tak jauh dari Masjid Zitouna. Aku salah satunya. Di pintu Masjid, aku sempat membaca plang Masjid yang terukir di dinding usang. Masjid Sidi Abdul Qodir, dibangun pada abad ke-12 Masehi.
Masjid Sidi Abdul Qodir?! Jantungku berdegup kencang. Langkahku terhenti sejenak. Aku kembali mengamati tulisan itu, khawatir salah baca. Ya, benar. Ini Masjid Sidi Abdul Qadir. Masjid berusia 8 abad yang di dalamnya ada zawiya (padepokan) dan makam Sidi Abdul Qadir, seorang ulama Tunis pada masa silam. Masjid ini pula menjadi salah satu lokasi para santri Zitouna dahulu belajar agama.
Tetapi ketika pemerintahan sekuler berkuasa di Tunis, Masjid ini ‘disulap’ menjadi gedung kesenian : tempat pertunjukan teater, tari-tarian dan hiburan malam…!
***
“Baru sekitar 8 bulanan Masjid ini baru bisa dipake shalat lagi”, tutur seorang jema’ah warga Tunis yang kusapa usai shalat. “Orang-orang sekuler dulu, sering membuat acara kesenian di sini. Di tempat kita shalat tadi”, tutur pria setengah baya itu.
Wow, baru 8 bulan. Pantas karpet warna biru yang menghampar di ruangan shalat seluas kira-kira 120 meter persegi itu masih nampak baru dan harum. Karpet itu diperoleh dari iuran warga sekitar yang sejak lama menanti bisa shalat di Masjid yang mereka hormati itu.
Kemudian aku berjalan menuju pelataran terbuka yang berlokasi di samping Masjid. Gulungan tikar usang dan papan triplek menumpuk di salah satu pojok. Nampak kurang terawat. Di seberang pelataran, ada pintu ke arah ruangan zawiya dan makam. Sempat kepikir mau masuk ke sana, tapi tidak pede, hehe. Lain kali saja kalau ada teman, pikirku.
***
Kendati telah berfungsi kembali sebagai Masjid, status Masjid ini masih belum jelas hingga hari ini. Masih disengketakan oleh pihak pegiat kesenian dengan pihak Kementerian Agama Tunis. Para pegiat kesenian yang dipimpin oleh Abdul Ghani ben Toreh mengaku telah lama mengantongi izin dari Kementerian Budaya untuk menggunakan Masjid itu sebagai gedung kesenian. Pada bulan Ramadhan tahun 2011, ben Toreh dan kawan-kawannya masih menggelar acara music-musik dan tari di dalam Masjid ini.
Sejak beberapa tahun terakhir, Kementerian Agama Tunis berusaha ‘merebut’ Masjid ini guna dikembalikan perannya sebagai tempat ibadah. Hal ini sebagaimana surat resmi yang dilayangkan oleh Menteri Agama Dr. Bou Bakar Akhzury, pada tanggal 4 Januari 2008, kepada Menteri Kebudayaan. Tanggal 11 Mei 2011, atau 4 bulan setelah revolusi bergulir, Menteri Agama berikutnya, Dr Aroussi Meizuri, kembali menyurati Menteri Kebudayaan, terkait hal yang sama. Tanggal 24 Januari 2012, Menteri Agama Dr Nourdin Khadimi mengirim surat yang ketiga. Isinya tetap sama, bahkan lebih tegas. Bahwa pagelaran music dan pertunjukan teater di dalam Masjid, adalah bentuk penghinaan terhadap kehormatan Masjid itu sendiri. Inna iqamat al hafalat al musiqiyah wa al ansyitoh al masrahiyah fihi yu’addu intihakan lihurmat al masjid.
Mufti Negara, Syekh Usman Batikh pun turun tangan. Tanggal 22 Maret 2013, beliau menyatakan bahwa bangunan Masjid tidak boleh dialihfungsikan ke fungsi lain yang bertentangan dengan ajaran agama.
Masih belum ada respon, pada 26 April 2013, Menteri Agama Nurdin Khadimi kembali melayangkan surat. Dengan didukung oleh warga sekitar Masjid, pihak Kementerian Agama pun membuka Masjid itu seraya mempersilahkan masyarakat untuk menjadikannya kembali sebagai tempat shalat hingga hari ini.
***
Aku berdiri di depan pintu Masjid Sidi Abdul Qodir, pertengahan Desember 2013
Apakah dengan demikian persoalan telah selesai? Oh, ternyata tidak. Pada tanggal 02 Agustus 2013, Pengadilan Tingkat Pertama (al Mahkamah al Ibtidaiyyah) Tunis memenangkan kubu para seniman pimpinan Abdul Ghani ben Toreh. Artinya, gugatan dan permohonan Kementerian Agama Tunis untuk mengembalikan Masjid Sidi Abdul Qodir sebagai tempat ibadah, tidak dikabulkan. Sebaliknya, ben Toreh dan kawan-kawan seprofesinya, masih berhak menggunakan Masjid ini sebagai tempat hiburan. Alasan pengadilan, benToreh memiliki dokumen-dokumen dan serfitikat yang sah.
Harian ad Dhamir menulis, “Meski shalat lima waktu dan shalat Jumat telah terselenggara di Masjid ini, suatu saat nanti pengadilan akan mengeksekusi putusannya”.
Wah, Kementerian Agama dan umat Islam harus mengatur strategi baru. Jangan sampai nanti lagi shalat, tiba-tiba datang ben Toreh dan kawan-kawan, langsung masuk masjid dan menggelar pertunjukan tari perut..Na’udzubillah. salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, 27 Desember 2013