Masyarakat di daerah Banten mengenal sebuah cerita rakyat yang mengisahkan seorang tokoh bernama Pangeran Aryadillah. Dalam kehidupan nyata masyarakat Banten, keberadaan tokoh ini didukung oleh adanya dua makam di lokasi berbeda yang diyakini sebagai makam Pangeran Aryadillah. Makam pertama terletak di Banten dan yang satu lagi terdapat di Palembang.
Lebih dari sekedar itu, sampai saat ini pun meninggalnya Pangeran Aryadillah melahirkan silang pendapat. Sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa Sang Pangeran memang sudah meninggal, tetapi sebagian masyarakat yang lain menganggap bahwa Pangeran Aryadillah belum meninggal melainkan ngahyang ke alam gaib.
Menurut cerita ini, Pangeran Aryadillah merupakan putra seorang raja di Banten. Akan tetapi, ia sendiri tidak tahu siapa ayahnya itu. Ia kemudian bercerita kepada Hasnudin. Setelah mendengar penuturan Pangeran Aryadillah, Hasnudin meminta dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya memang anak seorang raja Banten. Hasnudin menyuruh Aryadillah untuk merontok seluruh daun beringin dari pohonnya tanpa tersisa sehelai pun. Aryadillah menyanggupi permintaan Hasnudin kemudian bertapa di bawah pohon beringin yang akan dirontokkan seluruh daunnya itu. Dalam pertapaannya itu, ia meminta bantuan kepada ibu dan kakeknya agar kesaktiannya bisa merontokkan seluruh daun pohon beringin itu.
Tidak lama kemudian, dengan kesaktian yang dimilikinya, pohon beringin itu ditiup oleh dirinya hingga seluruh daunnya rontok. Tidak ada daun yang rusak atau tertinggal di pohonnya walaupun hanya selembar. Setelah berhasil menjawab tantangan Hasnudin, Aryadillah akhirnya diakui sebagai anak raja Banten dan namanya menjadi Pangeran Aryadillah.
Setelah dirinya diakui sebagai anak raja Banten, Pangeran Aryadillah diberi tugas oleh ayahnya untuk mengusir semua dedemit yang ada di sekitar keraton. Setelah itu, ia pun pergi ke perairan Teluk Banten untuk melakukan tugas yang sama sehingga petilasannya sampai sekarang dikenal dengan sebutan Karang Hantu. Selain berhasil menaklukkan para dedemit, Pangeran Aryadillah pun berjasa dalam menaklukkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang dan bersama-sama dengan Maulana Yusuf berhasil menghancurkan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran.
Ketika Maulana Muhammad Nasrudin menjadi penguasa Banten, kesaktiannya diperlukan oleh sultan yang berencana hendak menyerang Palembang. Atas perintah Maulana Muhammad, ia berangkat ke Palembang untuk menaklukkan negeri tersebut. Akan tetapi, di tempat inilah pasukan yang dipimpinnya mengalami kekalahan hingga dirinya gugur. Oleh karena kesaktian yang dimiliki oleh dirinya, sebenarnya Sang Pangeran tidaklah gugur melainkan menghilang dan masuk ke alam gaib. Sampai sekarang, tempat yang diyakini sebagai makam Sang Pangeran oleh sebagian masyarakat Banten selalu diziarahi untuk mendapatkan berkahnya.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi masyarakat Banten, peranan Sunan Gunung Jati dalam proses berdirinya Kesultanan Banten kurang begitu menonjol. Hal ini bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa masyarakat Banten selalu merujuk kepada Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan Banten. Hal yang sebaliknya terjadi di Cirebon bahwa baik Kesultanan Banten maupun Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa di Cirebon hubungan antara kedua kesultanan ini begitu harmonis. Akan tetapi, ketika Sunan Gunung Jati telah meninggal dunia, hubungan tersebut menjadi kurang begitu harmonis. Selain itu, Kesultanan Banten justru semakin berkembang dan menjelma menjadi sebuah pusat kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian barat.
Sementara Kesultanan Cirebon secara perlahan-lahan mengalami kemunduran karena tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan kerajaan yang ada di sekitarnya, yakni Banten dan VOC di sebelah barat, serta Mataram di sebelah timur. Nah, kondisi inilah yang melahirkan sebuah cerita yang kemudian dijadikan landasan pembenaran bahwa majunya Banten karena memang simbol kekuasaan Cirebon telah berpindah ke Banten.