Memakemkan Sifat Nabi pada Sang Pemimpin
Oleh Saiful Asyhad
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PUPW) sudah tinggal dalam hitungan hari. Sementara, rakyat yang memiliki suara tampaknya masih adem ayem. Ini kontras dengan pasangan capres dan cawapres yang terus gembar-gembor dengan janji-janji dalam kampanye di media massa. Kampanye yang dilakukan tim sukses masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) juga makin terlihat gebyarnya meski tak seramai kampanye dalam pemilu legislatif.
Di tengah suasana ayem melempem itu, bijak kiranya jika kita sebagai bangsa turut sedikit memeras otak dan nurani untuk menentukan pilihan dalam PUPW 5 Juli nanti. Salah satu yang harus dipikirkan adalah bagaimana sosok pemimpin bangsa. Apa kriteria yang harus melekat pada diri pribadi pemimpin itu? Memang, Undang-undang tentang PUPW sudah mematoknya dan itu sudah jelas diketahui umum. Namun, menurut saya, ada empat kriteria pakem yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin di tingkatan apa pun. Keempat kriteria itu harus benar-benar mematri dalam diri pemimpin. Jika tidak, maka dijamin kepemimpinannya akan gagal, baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Shiddiq
Tolok ukur pertama seorang pemimpin adalah jujur. Kalau dalam istilah orang Jawa, pemimpin itu adalah orang yang bisa digugu dan ditiru orang banyak sebab segala tindakannya memang sinkron dengan hati nuraninya. Apa pun yang dilakukannya, maka itulah kata hatinya. Bukan mendua atau berstandar ganda. Tidak pula lain di bibir lain di hati.
Kriteria ini menjadi penting sekali, apalagi untuk saat ini. Karena, yang masih banyak berkembang di masyarakat adalah rasa curiga. Itu sebagai akibat dari ketidakjujuran pemimpinnya di masa lalu. Misalnya, sang pemimpin dengan suara lantang berseru, ”Mari kita biasakan hidup sederhana.” Kalimat itu selalu diucapkan di berbagai tempat dan kesempatan bertemu dengan rakyatnya. Tapi, bagaimana pelaksanaan hidup sederhana itu dalam keluarga pemimpin itu sendiri? Ternyata sangat jauh dengan nasihat yang dia dengung-dengungkan di masyarakat. Dia biarkan anak cucunya menghambur-hamburkan uang di arena balap mobil, olah raga menembak dengan peralatan yang harganya puluhan juta, dan lain-lain, yang sama sekali tidak mengakar di masyarakat. Bahkan, dia sendiri dengan pongahnya mengadakan syukuran ulang tahun dengan perayaan yang gemerlap, gebyar, dan cenderung mubazir.
Tentu saja, rakyat yang dipimpinnya hanya tersenyum sinis melihat kontrasnya kata dan perbuatan pemimpinnya itu. Lama-lama rakyat tidak menaruh hormat lagi pada sang pemimpin karena dirasa tidak patut diteladani sama sekali. Bahkan, akhirnya timbul rasa benci pada sang pemimpin. Kalau sudah demikian, maka tunggu saja kehancuran sang pemimpin.
Fathonah
Kriteria kedua adalah cerdas. Artinya, seorang pemimpin dituntut memiliki otak yang brilian, pandangan yang luas, dan cakrawala pengetahuan yang global. Sang pemimpin boleh saja berasal dari lokal, tapi wawasannya harus global. Pemikirannya tidak hanya sebatas demi kepentingan sesaat dan segelintir orang-orang sekelilingnya, tapi demi kepentingan jangka panjang dan untuk sebesar-besar rakyatnya.
Dengan kecerdasannya, maka pemimpin bisa memberikan keputusan yang cepat dan tepat karena pikiran dan hatinya menyatu pada hal-hal yang benar. Dia pun mampu berimprovisasi dalam aktivitas kepemimpinannya sehingga bawahannya tidak merasa diperintah atau dititah. Dia akan disegani dan dihormati rakyatnya karena telah mampu mempergunakan segala potensi dirinya, termasuk akalnya yang cerdas, demi kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Inner power yang begitu dahsyat itulah yang mengantarkan seorang pemimpin pada kesuksesannya dalam memimpin.
Amanah
Pakem berikutnya adalah sang pemimpin harus membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar orang yang dapat dipercaya, mampu mengemban amanat rakyat, serta tidak sedikit pun terlintas dalam hatinya untuk berkhianat. Apa saja kewajiban yang diembannya bukan dirasakannya sebagai beban, tapi merupakan tantangan yang menggairahkan.
Mengapa bisa begitu? Semuanya itu karena sang pemimpin itu mampu menggunakan wewenangnya dengan baik dan benar untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Hatinya ikhlas ketika menjalankan tugas apa pun yang harus diselesaikannya. Baginya, sekujur badan baru boleh istirahat jika semua kewajiban telah diselesaikan dengan baik. Pemimpin yang amanah pantang menyerah dalam menunaikan tugas walau seberat gunung sekali pun. Maka, jangan heran jika kesuksesan pemimpin salah satunya adalah karena jiwa amanahnya tersebut.
Tabligh
Terakhir, pemimpin yang baik harus pula bersikap transparan. Dia mau menyampaikan segala informasi kepada rakyatnya. Dengan begitu, rakyat menjadi gamblang dan jernih dalam menyikapi pemimpinnya. Rakyat tidak merasa dibodohi atau dibohongi karena pemimpinnya pelit informasi. Jika sikap positif rakyat sudah muncul, maka sangat mudah bagi seorang pemimpin mengerahkan seluruh potensi orang-orang yang dipimpinnya untuk bahu membahu dalam menuju cita-cita bersama.
Keempat kriteria pakem itu layak untuk dipikirkan dan direnungkan saat ini. Karena, sebentar lagi PUPW sudah berada di depan mata. Sudah saatnya rakyat memperhatikan keempat pondasi kepemimpinan para nabi itu untuk direfleksikan pada kelima pasangan kandidat presiden dan wakilnya. Jika ada satu pasangan yang paling mendekati keempat kriteria pakem tadi, maka itulah yang paling pas untuk dicoblos pada 5 Juli nanti.
Selamat berpikir dan berenung panjang dan dalam. Semoga ada satu pasangan capres-cawapres yang menurut hati nurani paling tepat menjadi pemimpin kita bersama. Dan itulah yang menjadi patokan sebelum melangkah ke bilik suara. Ingat, kita juga mengemban amanat Tuhan untuk melahirkan pemimpin yang amanah pula.
Oleh Saiful Asyhad
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PUPW) sudah tinggal dalam hitungan hari. Sementara, rakyat yang memiliki suara tampaknya masih adem ayem. Ini kontras dengan pasangan capres dan cawapres yang terus gembar-gembor dengan janji-janji dalam kampanye di media massa. Kampanye yang dilakukan tim sukses masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) juga makin terlihat gebyarnya meski tak seramai kampanye dalam pemilu legislatif.
Di tengah suasana ayem melempem itu, bijak kiranya jika kita sebagai bangsa turut sedikit memeras otak dan nurani untuk menentukan pilihan dalam PUPW 5 Juli nanti. Salah satu yang harus dipikirkan adalah bagaimana sosok pemimpin bangsa. Apa kriteria yang harus melekat pada diri pribadi pemimpin itu? Memang, Undang-undang tentang PUPW sudah mematoknya dan itu sudah jelas diketahui umum. Namun, menurut saya, ada empat kriteria pakem yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin di tingkatan apa pun. Keempat kriteria itu harus benar-benar mematri dalam diri pemimpin. Jika tidak, maka dijamin kepemimpinannya akan gagal, baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Shiddiq
Tolok ukur pertama seorang pemimpin adalah jujur. Kalau dalam istilah orang Jawa, pemimpin itu adalah orang yang bisa digugu dan ditiru orang banyak sebab segala tindakannya memang sinkron dengan hati nuraninya. Apa pun yang dilakukannya, maka itulah kata hatinya. Bukan mendua atau berstandar ganda. Tidak pula lain di bibir lain di hati.
Kriteria ini menjadi penting sekali, apalagi untuk saat ini. Karena, yang masih banyak berkembang di masyarakat adalah rasa curiga. Itu sebagai akibat dari ketidakjujuran pemimpinnya di masa lalu. Misalnya, sang pemimpin dengan suara lantang berseru, ”Mari kita biasakan hidup sederhana.” Kalimat itu selalu diucapkan di berbagai tempat dan kesempatan bertemu dengan rakyatnya. Tapi, bagaimana pelaksanaan hidup sederhana itu dalam keluarga pemimpin itu sendiri? Ternyata sangat jauh dengan nasihat yang dia dengung-dengungkan di masyarakat. Dia biarkan anak cucunya menghambur-hamburkan uang di arena balap mobil, olah raga menembak dengan peralatan yang harganya puluhan juta, dan lain-lain, yang sama sekali tidak mengakar di masyarakat. Bahkan, dia sendiri dengan pongahnya mengadakan syukuran ulang tahun dengan perayaan yang gemerlap, gebyar, dan cenderung mubazir.
Tentu saja, rakyat yang dipimpinnya hanya tersenyum sinis melihat kontrasnya kata dan perbuatan pemimpinnya itu. Lama-lama rakyat tidak menaruh hormat lagi pada sang pemimpin karena dirasa tidak patut diteladani sama sekali. Bahkan, akhirnya timbul rasa benci pada sang pemimpin. Kalau sudah demikian, maka tunggu saja kehancuran sang pemimpin.
Fathonah
Kriteria kedua adalah cerdas. Artinya, seorang pemimpin dituntut memiliki otak yang brilian, pandangan yang luas, dan cakrawala pengetahuan yang global. Sang pemimpin boleh saja berasal dari lokal, tapi wawasannya harus global. Pemikirannya tidak hanya sebatas demi kepentingan sesaat dan segelintir orang-orang sekelilingnya, tapi demi kepentingan jangka panjang dan untuk sebesar-besar rakyatnya.
Dengan kecerdasannya, maka pemimpin bisa memberikan keputusan yang cepat dan tepat karena pikiran dan hatinya menyatu pada hal-hal yang benar. Dia pun mampu berimprovisasi dalam aktivitas kepemimpinannya sehingga bawahannya tidak merasa diperintah atau dititah. Dia akan disegani dan dihormati rakyatnya karena telah mampu mempergunakan segala potensi dirinya, termasuk akalnya yang cerdas, demi kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Inner power yang begitu dahsyat itulah yang mengantarkan seorang pemimpin pada kesuksesannya dalam memimpin.
Amanah
Pakem berikutnya adalah sang pemimpin harus membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar orang yang dapat dipercaya, mampu mengemban amanat rakyat, serta tidak sedikit pun terlintas dalam hatinya untuk berkhianat. Apa saja kewajiban yang diembannya bukan dirasakannya sebagai beban, tapi merupakan tantangan yang menggairahkan.
Mengapa bisa begitu? Semuanya itu karena sang pemimpin itu mampu menggunakan wewenangnya dengan baik dan benar untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Hatinya ikhlas ketika menjalankan tugas apa pun yang harus diselesaikannya. Baginya, sekujur badan baru boleh istirahat jika semua kewajiban telah diselesaikan dengan baik. Pemimpin yang amanah pantang menyerah dalam menunaikan tugas walau seberat gunung sekali pun. Maka, jangan heran jika kesuksesan pemimpin salah satunya adalah karena jiwa amanahnya tersebut.
Tabligh
Terakhir, pemimpin yang baik harus pula bersikap transparan. Dia mau menyampaikan segala informasi kepada rakyatnya. Dengan begitu, rakyat menjadi gamblang dan jernih dalam menyikapi pemimpinnya. Rakyat tidak merasa dibodohi atau dibohongi karena pemimpinnya pelit informasi. Jika sikap positif rakyat sudah muncul, maka sangat mudah bagi seorang pemimpin mengerahkan seluruh potensi orang-orang yang dipimpinnya untuk bahu membahu dalam menuju cita-cita bersama.
Keempat kriteria pakem itu layak untuk dipikirkan dan direnungkan saat ini. Karena, sebentar lagi PUPW sudah berada di depan mata. Sudah saatnya rakyat memperhatikan keempat pondasi kepemimpinan para nabi itu untuk direfleksikan pada kelima pasangan kandidat presiden dan wakilnya. Jika ada satu pasangan yang paling mendekati keempat kriteria pakem tadi, maka itulah yang paling pas untuk dicoblos pada 5 Juli nanti.
Selamat berpikir dan berenung panjang dan dalam. Semoga ada satu pasangan capres-cawapres yang menurut hati nurani paling tepat menjadi pemimpin kita bersama. Dan itulah yang menjadi patokan sebelum melangkah ke bilik suara. Ingat, kita juga mengemban amanat Tuhan untuk melahirkan pemimpin yang amanah pula.