GERAKAN PEREMPUAN ISLAM :
Antara Konservatifisme dan Upaya Menuju Aksi Praksis Kesetaraan dalam Islam
Lies Marcoes – Natsir
Amina Wadud dan Hatum Surucu
Ada dua fenomena menarik (meski salah satunya sangat menyedihkan yang terjadi dibelahan Barat (Amerika dan Eropa) yang berlangsung hamper secara bersamaan minggu lalu. Hatum Harucu perempuan Turki kelahiran Jerman mati ditembak keluarganya di Berlin atas nama melindungi nama baik keluarga atau biasa disebut praktik honour killing. Dia adalah korban ke 6 di anatara 200.000 penduduk Turki di Jerman. Surucu, 23 tahun, telah menjalani perkawinan perjodohan dengan sepupunya 6 tahun lalu dan memperoleh seorang anak laki-laki. Upaya keluarga untuk menyatukannya tak kunjung berhasil dan akhirnya dia lari bersama anak laki-lakinya. Dan ia diketemukan mati dengan bekas tembakan bertubi-tubi di kepala dan mukanya. Polisi mendapatkan bukti bahwa ia dibunuh atas nama tradisi itu. Reaksi atas kejadian terakhir ini sunguh luar biasa. Ini dapat mempersatukan dan mempertemukan berbagai kalangan dan aliran dalam gerakan perempuan Muslim dan sekuler untuk bersama-sama mengagendakan aksi untuk menghentikan perbuatan biadab atas nama agama.
Di Amerika Serikat, Aminah Wadud, asisten professor studi Islam di Departemen Filsafat and Studi Islam Virginia Commontwelth University memimpin khutbah dan menjalankan salat Jum’at dimana makmumnya campuran lelaki dan perempuan. Alasan Aminah selain karena tidak ada larangan pasti perempuan tidak boleh jadi imam ia dan sponsornya Muslim Wake Up dan Muslim Women’s Freedom Tour ingin bergerak lebih jauh lagi. Isu pembebasan perempuan dalam Islam seharusnya telah sampai ke praksis melampaui tataran wacana. Dan pelaksanaan shalat Jum’at ini adalah sebuiah aksinya.
Dari dua fenomena itu kita melihat sebuah trend di mana isu perempuan dalam Islam telah mulai bergerak dari tataran teoretis dan wacana ke tingkat praksis. Tragedi Harucu telah menggerakan kalangna perempuan melampaui berbagai sekat aliran ideologi dan primordial, sementara tindakan Amina yang kemudian dikenal dengan peristiwa “Historic Jum’a” merupakan sebuah pencerahan ditingkat aksi yang akan berlanjut denagn aksi serupa pada Jumat berikutnay dengan menghadirkan seorang aktivis muslimah lainnya Asra Q Nomani. Perempuan India-amerika ini menulis buku “An Islamic Bill of Rights for Women the Bedroom”. Melalui buku ini dia mengadvokasikan “extramarital sexual intercourse, adultery, fornication (sex without marriage), "pleasurable sexual experience," zina and abortion for all Muslim and all non-Muslim women of the whole world.
Upaya Melawan Konservativisme
Tidak bisa disangkal, trend konservativisme agama terutama Islam sedang terjadi dibelahan dunia manapun. Terlepas dari apapun penyebabnya, dampak konservativisme itu paling nyata dirasakan kaum perempuan. Dibeberapa negara di Eropa perdebatan dan bahkan ketegangan terjadi yang berkaitan dengan isu jilbab, perkawinan paksa atau pembatasan ruang gerak perempuan di ruang public oleh keluarga. Negara dipaksa untuk tunduk pada keyakinan dan aturan agama yang seringkali sangat konservatif oleh komunitas muslim atas nama HAM dan demokrasi meskipun hasilnya seringkali melanggar hak hak kaum perempuan. Trend konservativisme ini juga melanda negara negara dengan penduduk Muslim yang selama ini dikenal cukup moderat seperti Indonesia dan Malaysia. Persuasi keagamaan yang bersifat memaksa seperti pemaksaan perempuan menggunakan jilbab, larangan perempuan menjadi pemimpin atau larangan perempuan bekerja akhir akhir ini secara sporadis muncul sebagai isu di sini (Indonesia dan Malaysia).
Meskipun fatwa itu dikeluarkan oleh lembaga lembaga yang punya legitimasi seperti MUI, akan tetapi dampak buruk yang secara nyata mengungkung dan membatasi perempuan di Indonesia ternyata (belum) terlalu mengkhawatirkan seperti yang terjadi di negara negara lain. Budaya Indonesia yang menempatkan perempuan Indonesia secara kultural dalam posisi yang lumayan lebih baik dibandingkan dengan nasib saudara saudaranya di negara Muslim lain merupakan anugerah yang tak bisa dibantah. Akan tetapi, kuatnya kencenderungan konservativisme secara global, munculnya kelompok kelompok militan Islam yang secara sistematis melancarkan aksi dan kampanye yang untuk membatasi gerak kaum perempuan atas nama agama di Indonsia terutama di kota kota besar, gencarnya kampanye mereka melalui media mereka sendiri, dan politisisi agama yang seringkali menyudutkan perempuan, secara matematis seharusnya berdampak cukup buruk kepada kaum perempuan Muslim Indonesia.
Pada kenyatannya, konservativisme yang muncul di Indonesia tak sejalan secara linier dengan semakin terbatasnya ruang gerak kaum perempuan Islam atau perempuan pada umumnya. Hal ini secara pasti dan penuh percaya diri dapat kita klaim sebagai hasil dari investasi bertahun tahun yang dikembangkan secara kolaboratif anatar aktivis perempuan Mulsim dan sekuler yang bahu membahu mengatasi berbagai persoalan ini.
Di mulai dengan program penguatan hak politik perempuan melalui hak penguasaan tubuh dan seksualitas perempuan yang dikembangkan program Fiqh An Nisa P3M pada tahun 1997. Program ini sangat fundamental karena P3M bukan saja bekerja melalui dan hanya memanfaatkan pesantren tetapi justru bekerja langsung dengan tradisi yang dimiliki pesantren yaitu institusi kyai dan kitab kitab yang menjadi sumber rujukan menyangkut relasi lelaki dan perempuan. Eksperimen Fiqh an-Nisa P3M ini secara langsung juga mengoreksi pendekatan kalangan feminis sekuler yang kala itu tidak memperhitungkan agama sebagai faktor konstruksi gender. Upaya pembongkaran konstruksi gender yang dilakukan kalangan feminis dengan pendekatan feminsime dan HAM saat itu juga banyak membuahkan resistensi.
Upaya yang dilakukan Fiqh An-Nisa P3M dimulai dengan: MEMBANGUN PEMBACAAN TEKS yang menggunakan metodologi yang juga dikenali di pesantren yaitu ushul fiqh (legal jurisprudence theory). Penggalian metodologi ini pun dikembangkan sebagai koreksi dan alternative atas metodologi yang telah lebih dahulu dikembangkan kalangan feminis Muslim Indonesia yang saat itu mengadopsi teori teori feminisme Muslim dari Negara Islam lain seperti Pakistan.
Bekerja di tigal level secara sekaligus: level wacana bekerja dengan kyai dan melakukan pembongkaran teks, di level organisasi sipil Islam utamanya NU dan level akar rumput, seperti kelompok majelis taklim dimana pandangan baru itu disosialisasikan.
Bekerja dengan kalangan universitas untuk kajian dan memproduksi policy yang dapat mempengaruhi kebijakan Negara.
Inklusifitas isu: Isu gender bukan hanya isu perempuan melainkan isu keadilan dan demokrasi. Mengabaikan isu perempuan adalah mengabaikan nilai nilai kedailan yang diperjuangkan Islam.
Strategi ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lembaga lembaga lain dengan tema tema yang lebih spesifik. Seperti Fatayat yang mengembangkan program LKP2 di 26 provinsi. Atas kerja keras pribadi Maria Ulfah telah melahirkan sebuah buku yang dapat memberi kemungkinan untuk melakukan aborsi dengan tetap mendapatkan support dari ajaran agama. Rahima yang melakukan upaya penyadaran kritis dampak politisasi syariat Islam terhadap perempuan, PUAN yang membuka layanan konsultasi dan women crisis center di pesantren, PSW yang me-mainstreamkan gender kepada para penceramah agama dan Fahmina yang memadukan isu demokrasi dan gender dalam training mereka untuk kalangan kyai dan sekaligus untuk kalangan aktivis perempuan berbasis sekuler.
Upaya melibatkan kyai utamanya kyai muda terus menerus dilakukan untuk menubuhkan kesadan kritis dari dalam mereka sendiri berdasarkan referenmsi yang mereka kuasai merupakan startegi jitu yang mneyebabkan isu gender dan Islam mendapatkan tempatnya secara kontekstual dalam perkembangan Islam di Indonesia.
Pemikiran/wacana/discourse tentang gender dan Islam yang menyebar secara merata dan sisitematis merupakan dampak yang paling nyata yang dapat membendung konservativisme di Indonesia. Ini adalah sebuah prestasi yang berasal dari investasi yang hampir tak dapat dikejar oleh negara-negara berpenduduk Mulsim manapun di Dunia.
Contoh Upaya Praksis:
Kampanye anti poligami yang dilakukan jaringan perempuan Islam –ICS pada muktamar NU di Solo. Kampanye ini mendapat pemberitaan yang sangat luas dan berhasil mengangkat kembali isu perempuan dan Islam yang pada muktamar itu hampir tidak dibicarakan dalam muktamar itu dengan alasan “perempuan bukan lagi issu” .
Kampanye anti trafficking dikembangkan melalui pendekatan HAM dan gender yang menggunakan perspektif agama telah dikembangkan di Cirebon. Model ini merupakan sumbangan sangat besar dalam penaggulangan trafficking sekaligus merupakan koreksi atas pendekatan yang selama ini dilakukan secara parsial yang memisahkan secara sangat rigit program itu kedalam program prevention, prosecution and rehabilitation. Model integratif ini hanya dimungkin berkembang karena investasi jaringan Islam dan gender selama ini dalam mengembangkan jaringan yang mempertemukan elemen pesantren, perguruan tinggi, media dan unsur-unsur gerakan/advokasi. Satu catatan lain adalah tersedianya kyai-nyai yang telah memiliki pengetahuan dan perspektif gender serta kesadaran kritis yang memihak kepada kaum perempuan sebagai korban.
Antara Konservatifisme dan Upaya Menuju Aksi Praksis Kesetaraan dalam Islam
Lies Marcoes – Natsir
Amina Wadud dan Hatum Surucu
Ada dua fenomena menarik (meski salah satunya sangat menyedihkan yang terjadi dibelahan Barat (Amerika dan Eropa) yang berlangsung hamper secara bersamaan minggu lalu. Hatum Harucu perempuan Turki kelahiran Jerman mati ditembak keluarganya di Berlin atas nama melindungi nama baik keluarga atau biasa disebut praktik honour killing. Dia adalah korban ke 6 di anatara 200.000 penduduk Turki di Jerman. Surucu, 23 tahun, telah menjalani perkawinan perjodohan dengan sepupunya 6 tahun lalu dan memperoleh seorang anak laki-laki. Upaya keluarga untuk menyatukannya tak kunjung berhasil dan akhirnya dia lari bersama anak laki-lakinya. Dan ia diketemukan mati dengan bekas tembakan bertubi-tubi di kepala dan mukanya. Polisi mendapatkan bukti bahwa ia dibunuh atas nama tradisi itu. Reaksi atas kejadian terakhir ini sunguh luar biasa. Ini dapat mempersatukan dan mempertemukan berbagai kalangan dan aliran dalam gerakan perempuan Muslim dan sekuler untuk bersama-sama mengagendakan aksi untuk menghentikan perbuatan biadab atas nama agama.
Di Amerika Serikat, Aminah Wadud, asisten professor studi Islam di Departemen Filsafat and Studi Islam Virginia Commontwelth University memimpin khutbah dan menjalankan salat Jum’at dimana makmumnya campuran lelaki dan perempuan. Alasan Aminah selain karena tidak ada larangan pasti perempuan tidak boleh jadi imam ia dan sponsornya Muslim Wake Up dan Muslim Women’s Freedom Tour ingin bergerak lebih jauh lagi. Isu pembebasan perempuan dalam Islam seharusnya telah sampai ke praksis melampaui tataran wacana. Dan pelaksanaan shalat Jum’at ini adalah sebuiah aksinya.
Dari dua fenomena itu kita melihat sebuah trend di mana isu perempuan dalam Islam telah mulai bergerak dari tataran teoretis dan wacana ke tingkat praksis. Tragedi Harucu telah menggerakan kalangna perempuan melampaui berbagai sekat aliran ideologi dan primordial, sementara tindakan Amina yang kemudian dikenal dengan peristiwa “Historic Jum’a” merupakan sebuah pencerahan ditingkat aksi yang akan berlanjut denagn aksi serupa pada Jumat berikutnay dengan menghadirkan seorang aktivis muslimah lainnya Asra Q Nomani. Perempuan India-amerika ini menulis buku “An Islamic Bill of Rights for Women the Bedroom”. Melalui buku ini dia mengadvokasikan “extramarital sexual intercourse, adultery, fornication (sex without marriage), "pleasurable sexual experience," zina and abortion for all Muslim and all non-Muslim women of the whole world.
Upaya Melawan Konservativisme
Tidak bisa disangkal, trend konservativisme agama terutama Islam sedang terjadi dibelahan dunia manapun. Terlepas dari apapun penyebabnya, dampak konservativisme itu paling nyata dirasakan kaum perempuan. Dibeberapa negara di Eropa perdebatan dan bahkan ketegangan terjadi yang berkaitan dengan isu jilbab, perkawinan paksa atau pembatasan ruang gerak perempuan di ruang public oleh keluarga. Negara dipaksa untuk tunduk pada keyakinan dan aturan agama yang seringkali sangat konservatif oleh komunitas muslim atas nama HAM dan demokrasi meskipun hasilnya seringkali melanggar hak hak kaum perempuan. Trend konservativisme ini juga melanda negara negara dengan penduduk Muslim yang selama ini dikenal cukup moderat seperti Indonesia dan Malaysia. Persuasi keagamaan yang bersifat memaksa seperti pemaksaan perempuan menggunakan jilbab, larangan perempuan menjadi pemimpin atau larangan perempuan bekerja akhir akhir ini secara sporadis muncul sebagai isu di sini (Indonesia dan Malaysia).
Meskipun fatwa itu dikeluarkan oleh lembaga lembaga yang punya legitimasi seperti MUI, akan tetapi dampak buruk yang secara nyata mengungkung dan membatasi perempuan di Indonesia ternyata (belum) terlalu mengkhawatirkan seperti yang terjadi di negara negara lain. Budaya Indonesia yang menempatkan perempuan Indonesia secara kultural dalam posisi yang lumayan lebih baik dibandingkan dengan nasib saudara saudaranya di negara Muslim lain merupakan anugerah yang tak bisa dibantah. Akan tetapi, kuatnya kencenderungan konservativisme secara global, munculnya kelompok kelompok militan Islam yang secara sistematis melancarkan aksi dan kampanye yang untuk membatasi gerak kaum perempuan atas nama agama di Indonsia terutama di kota kota besar, gencarnya kampanye mereka melalui media mereka sendiri, dan politisisi agama yang seringkali menyudutkan perempuan, secara matematis seharusnya berdampak cukup buruk kepada kaum perempuan Muslim Indonesia.
Pada kenyatannya, konservativisme yang muncul di Indonesia tak sejalan secara linier dengan semakin terbatasnya ruang gerak kaum perempuan Islam atau perempuan pada umumnya. Hal ini secara pasti dan penuh percaya diri dapat kita klaim sebagai hasil dari investasi bertahun tahun yang dikembangkan secara kolaboratif anatar aktivis perempuan Mulsim dan sekuler yang bahu membahu mengatasi berbagai persoalan ini.
Di mulai dengan program penguatan hak politik perempuan melalui hak penguasaan tubuh dan seksualitas perempuan yang dikembangkan program Fiqh An Nisa P3M pada tahun 1997. Program ini sangat fundamental karena P3M bukan saja bekerja melalui dan hanya memanfaatkan pesantren tetapi justru bekerja langsung dengan tradisi yang dimiliki pesantren yaitu institusi kyai dan kitab kitab yang menjadi sumber rujukan menyangkut relasi lelaki dan perempuan. Eksperimen Fiqh an-Nisa P3M ini secara langsung juga mengoreksi pendekatan kalangan feminis sekuler yang kala itu tidak memperhitungkan agama sebagai faktor konstruksi gender. Upaya pembongkaran konstruksi gender yang dilakukan kalangan feminis dengan pendekatan feminsime dan HAM saat itu juga banyak membuahkan resistensi.
Upaya yang dilakukan Fiqh An-Nisa P3M dimulai dengan: MEMBANGUN PEMBACAAN TEKS yang menggunakan metodologi yang juga dikenali di pesantren yaitu ushul fiqh (legal jurisprudence theory). Penggalian metodologi ini pun dikembangkan sebagai koreksi dan alternative atas metodologi yang telah lebih dahulu dikembangkan kalangan feminis Muslim Indonesia yang saat itu mengadopsi teori teori feminisme Muslim dari Negara Islam lain seperti Pakistan.
Bekerja di tigal level secara sekaligus: level wacana bekerja dengan kyai dan melakukan pembongkaran teks, di level organisasi sipil Islam utamanya NU dan level akar rumput, seperti kelompok majelis taklim dimana pandangan baru itu disosialisasikan.
Bekerja dengan kalangan universitas untuk kajian dan memproduksi policy yang dapat mempengaruhi kebijakan Negara.
Inklusifitas isu: Isu gender bukan hanya isu perempuan melainkan isu keadilan dan demokrasi. Mengabaikan isu perempuan adalah mengabaikan nilai nilai kedailan yang diperjuangkan Islam.
Strategi ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lembaga lembaga lain dengan tema tema yang lebih spesifik. Seperti Fatayat yang mengembangkan program LKP2 di 26 provinsi. Atas kerja keras pribadi Maria Ulfah telah melahirkan sebuah buku yang dapat memberi kemungkinan untuk melakukan aborsi dengan tetap mendapatkan support dari ajaran agama. Rahima yang melakukan upaya penyadaran kritis dampak politisasi syariat Islam terhadap perempuan, PUAN yang membuka layanan konsultasi dan women crisis center di pesantren, PSW yang me-mainstreamkan gender kepada para penceramah agama dan Fahmina yang memadukan isu demokrasi dan gender dalam training mereka untuk kalangan kyai dan sekaligus untuk kalangan aktivis perempuan berbasis sekuler.
Upaya melibatkan kyai utamanya kyai muda terus menerus dilakukan untuk menubuhkan kesadan kritis dari dalam mereka sendiri berdasarkan referenmsi yang mereka kuasai merupakan startegi jitu yang mneyebabkan isu gender dan Islam mendapatkan tempatnya secara kontekstual dalam perkembangan Islam di Indonesia.
Pemikiran/wacana/discourse tentang gender dan Islam yang menyebar secara merata dan sisitematis merupakan dampak yang paling nyata yang dapat membendung konservativisme di Indonesia. Ini adalah sebuah prestasi yang berasal dari investasi yang hampir tak dapat dikejar oleh negara-negara berpenduduk Mulsim manapun di Dunia.
Contoh Upaya Praksis:
Kampanye anti poligami yang dilakukan jaringan perempuan Islam –ICS pada muktamar NU di Solo. Kampanye ini mendapat pemberitaan yang sangat luas dan berhasil mengangkat kembali isu perempuan dan Islam yang pada muktamar itu hampir tidak dibicarakan dalam muktamar itu dengan alasan “perempuan bukan lagi issu” .
Kampanye anti trafficking dikembangkan melalui pendekatan HAM dan gender yang menggunakan perspektif agama telah dikembangkan di Cirebon. Model ini merupakan sumbangan sangat besar dalam penaggulangan trafficking sekaligus merupakan koreksi atas pendekatan yang selama ini dilakukan secara parsial yang memisahkan secara sangat rigit program itu kedalam program prevention, prosecution and rehabilitation. Model integratif ini hanya dimungkin berkembang karena investasi jaringan Islam dan gender selama ini dalam mengembangkan jaringan yang mempertemukan elemen pesantren, perguruan tinggi, media dan unsur-unsur gerakan/advokasi. Satu catatan lain adalah tersedianya kyai-nyai yang telah memiliki pengetahuan dan perspektif gender serta kesadaran kritis yang memihak kepada kaum perempuan sebagai korban.