Recents in Beach

header ads

CINTA TUHAN

Cinta Tuhan, cinta sesama
19 Juli 2007 22:42:54


Oleh: Muhammad Soffa Ihsan

Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia, mari menyitir kisah seorang sufi, Abu Ben Adhim. Suatu malam, Abu Ben Adhim terbangun dari mimpinya yang indah.


Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?" Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan." "Adakah namaku di situ?" kata Abu. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia." Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abu Ben Adhim diatas semua nama.

Abu Ben Adhim mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan.

Baik Abu Ben Adhim maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya.

Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, "Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku." Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum." Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, "Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku." Ketika hamba-hamba-Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, "Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya." (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah).

Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf, bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.

Abu Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, "Sejak dahulu katak dapat melakukannya!" Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, "Lalat dapat melakukannya lebih baik." Muridnya bertanya, "Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?" Ia menjawab, "Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya."

Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, kaum sufi banyak menyerap dari berbagai hikmah yang bisa diteladani demi meningkatkan kemuliaan diri (tahdzib al-akhlaq). Prinsip sufistik selaras sabda Nabi Muhammad:”ambilah hikmah dari mana datangnya.” Kaum sufi juga belajar jalan cinta dari kisah Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami."
Dengan marah Musa menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?" Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang."

Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. "Saya lapar sekali," katanya kepada Musa. "Berilah aku makanan." Musa berkata, "Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan." Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.

Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, "Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan."

"Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa," kata Musa.

"Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku."

Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.

Dalam Al-Quran juga ada perintah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yangmenghinakan."(QS.Al-Nisa’,36-37)

Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari "shadaqa", yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. "Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan," sabda Nabi Muhammad SAW.

Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.

Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul, Turki.

Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.

Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, "Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut.."

Penulis adalah redaktur Majalah MataAir






Oleh: A. Mustofa Bisri

Marilah kita sambut bulan suci Ramadan seolah-olah baru sekali ini datang kepada kita.Ya, meski secara rutin ia datang setiap tahun dan setiap kali datang kita menyambutnya dengan ucapan "Marhaban ya Ramadan" .....


.....hingga di spanduk-spanduk, kadang-kadang -justru mungkin karena kerutinannya- kita kurang dapat meresapi gairah apa yang ada dalam diri kita saat menyambutnya. Ini pada gilirannya akan mengurangi, kalau tidak malah menghambarkan makna sucinya.

Bulan Ramadan adalah bulan saat kitab suci Alquran diturunkan. Bahkan menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, shuhuf Nabi Ibrahim, Taurat Nabi Musa, Injil Nabi Isa, Zabur Nabi Daud, semuanya turun pada bulan Ramadan.

Kitab suci adalah firman Allah kepada hamba-hamba-Nya, umat manusia yang tinggal di bumi ini boleh jadi tidak tampak -karena terlampau kecil- bila dilihat atau dibandingkan dengan bintang-bintang dan planet-planet di peta alam semesta. Bahwa Allah Yang Maha Besar berkenan memfirmani hamba-hamba-Nya yang tinggal di bumi yang begitu kecil, tentulah sudah cukup untuk membuat hamba-hamba yang mengerti tidak berhenti menunduk takzim dan bersyukur kepada-Nya.

Firman Agung, Alquran yang suci itu, turun di tanah suci dan di bulan suci Ramadan. Karena itu, sudah selayaknya kita menyambut bulan suci ini dengan takzim dan mengisinya dengan memperbanyak menyimak firman-Nya itu (bukan sekadar berlomba cepat membaca teksnya). Syukur bersamaan atau seiring dengan itu, kita melakukan evaluaasi diri dengan bercermin pada nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya.

Kita hadirkan rekaman perilaku kita masing-masing yang mengaku muslim beriman ini selama 11 bulan yang lalu, sambil bercermin kepada kitab suci yang kita imani itu. Kemarin -selama 11 bulan- kita terlalu sibuk dengan berbagai urusan dan mungkin tidak sempat melakukan evaluasi diri (kecuali mungkin diri orang lain). Marilah di bulan khuysuk ini, kita teliti kesibukan-kesibukan itu.

Jangan-jangan banyak kesibukan yang asal kesibukan atau tidak jelas kesibukan apa dan untuk apa. Padahal sering kesibukan-kesibukan itu telah menyita banyak energi, waktu, dan pikiran kita. Bahkan tak jarang melahirkan kekecewaan-kekecewaan dan duka meski tak membuat kita kapok.

Kita bisa meneliti rekaman kehidupan kita 11 bulan itu dengan jujur karena bulan suci Ramadan adalah bulan khusus kita dengan Allah. Bulan khusus Allah untuk kita. Hanya kita yang tahu kadar keikhlasan kita dan hanya Allah yang tahu pahala apa dan sebesar apa yang akan di anugerahkan kepada kita. Lebih-labih, keuntungan positif dari penelitian diri ini tidak untuk siapa-siapa. Hanya bagi kita sendiri.

Barangkali ada langkah-langkah kita selama ini yang tidak hanya menyimpang, bahkan bertentangan dengan firman-Nya, kita bisa mencatatnya untuk kita sesal-tobati dan kita lurus-perbaiki kemudian. Atau ada langkah-langkah kita yang sudah tepat sebagaimana ditunjukkan firman-Nya, kita pun dapat melanjutkannya dengan lebih baik.

Kita kaji ulang konsep-konsep kita dalam hidup selama ini untuk kita cocokkan dengan firman-Nya, dari konsep kita tentang Allah, tentang agama, tentang manusia, tentang hidup, hingga tentang ibadah. Siapa tahu justru karena salah konsep, kita pun salah melangkah. Misalnya, kita melakukan amal yang kita kira patut, ternyata menurut firman-Nya sama sekali tidak pantas, atau kita ingin dan menganggap suatu perbuatan kita mendapat ridha Allah alih-alih murka-Nya yang kita dapat. Naudzu billah.

Marilah kita sambut bulan suci Ramadan seolah-olah baru kali ini datang. Kita perbarui penyikapan kita terhadapnya, satu dan lain hal agar kita tidak terjerumus ke dalam rutinitas yang hambar. Kita sambut dengan kegairahan hamba yang ingin mengambil manfaat sebesar-besarnya dari bulan suci anugera-Nya ini.

Marilah kita puasa seolah-olah baru kali ini kita puasa. Kita lakukan qiyamullail, beribadah malam hari, seolah-olah selamanya kita belum pernah melakukannya. Kita baca diri kita dan firman-Nya seolah-olah kita baru saja mendapatkan bacaan baru. Semoga dengan demikian kita benar-benar mendapatkan manfaat yang optimal dari anugerah bulan suci ini bagi peningkatan kualitas diri kita, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah-Nya.

Selamat Datang Ramadan! Selamat Berpuasa, wahai Saudara-saudaraku kaum muslimin!



Maaf-Memaafkan
17 Nopember 2006 21:12:02


Oleh: A. Mustofa Bisri

Maaf, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisa berarti, “Pembebasan seseorang dari hukuman (tututan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; bisa pula berarti: permintaan ampun, atau dengan kata lain: permintaan pembebasan dari hukuman (tuntutan denda, dan sebagainya).”



Meminta maaf atau memberi maaf itu adalah perbuatan yang mulia. Orang yang mau mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah seorang ksatria. Orang yang suka memberi maaf adalah orang yang berjiwa besar. Begitu menurut pitutur orang-orang tua.

Agama sendiri-paling tidak menurut pemahaman saya- juga menganggap mulia dan menganjurkan kepada perbuatan itu: meminta dan memberi maaf itu.

Menurut sebuah hadis shahih, Nabi Muhammad saw. Pernah menganjurkan agar siapa yang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain, baiknya itu menyangkut kehormatan atau apa saja, segera menyelesaikannya di dunia ini, sehingga tanggung jawab itu menjadi bebas (bisa dengan menebus, bisa dengan meminta halal, atau meminta maaf). Sebab nanti di akherat sudah tidak ada lagi uang untuk tebus menebus. Orang yang mempunyai tanggungan dan belum meminta halal ketika dunia, kelak akan diperhitungkan dengan amalnya: apabila dia punya amal saleh, dari amal salehnya itulah tanggungannya akan ditebus; bila tidak memiliki, maka dosa atas orang yang disalahinya akan ditimpakan kepadanya, dengan ukuran tanggungannya. (Lihat misalnya, jawahir al-Bukhori, hlm. 275, hadis nomer: 353 dan shahih Muslim, II/430).

Karena memohon ampun kepada Tuhan berarti pembebasan dari hukuman (siksa neraka), dan memohon maaf kepada orang juga menjadi syarat dari pengampunan Tuhan, maka konon kiat setan paling mutahir untuk menjerumuskan manusia adalah: “membenarkan” semua tindakan dan ucapan manusia sehingga tidak pernah merasa bersalah. Dengan demikian, manusia tidak akan memohon ampun atau meminta maaf.

Apabila meminta maaf begitu penting, maka memberi maaf Allah Yang Maha Pengampun bahkan tersebut salah satu cirri orang takwa dan muhsin yang dicintai-Nya (Q.s ali imron: 133-4).

Soal maaf memaafkan yang kelihatannya sederhana itu, tiba-tiba menjadi persoalan yang agak pelik, unik dan ‘canggih’ ketika ada kasus-kasus seperti: kasus mahasiswa muadzin sebuah mesjid kampus dituduh melecehkan ayat Kursi, seorang artis yang dianggap memplesetkan Bismillah, penanggung jawab tabloid dan seorang ‘dukun moderen’ yang dituduh merendahkan Nabi Muhamad, sastrawan kenamaan yang tidak mau mengakui segala kesalahannya tempo doeloe, dan terakhir seorang petinggi negara sangat popular, yang konon memplesetkan Al-fatihah.

Contoh-contoh diatas, kecuali kasus sang sastrawan, hamper sama satu dengan yang lain. Kalau pun ada perbedaan adalah pada kadar kesalahan dan kedudukan masing-masing yang bersangkutan. Kalau saya membuat rangking kesalahan, ditinjau dari agama (Islam) sesuai pemahaman saya, maka yang paling ringan adalah kesalahan si penanggung jawab tabloid. Dia jelas tidak bermaksud menghina dan sudah minta maaf secara tulus. Kemudian si ‘dukun modern’ yang juga sudah meminta maaf. Berikutnya adalah si mahasiswa. Lalu si artis dan si petinggi. Kedua yang terakhir ini telah bermain-main dengan Ummul-Kitab, ‘Induk Al-Qur’an’.

Rata-rata mereka semua telah menyatakan maaf. Yang aneh sikap kitab -terutama yang mengaku beragama Islam- terhadap mereka terkena kasus itu. Utuk kasus yang hampir sama itu, ternyata sikap kita tidak sama. Ada kasus yang membuat kita ngamuk setengah mati, seperti ngamuknya orang yang tidak beragama. (Bahkan ada orang orang yang sudah dianggap pemimpin agama, dengan berani mengatakan minta maaf tidak cukup). Baru puas setelah dihukum berapa tahun. Ada yang terhadapnya kita adem ayem saja. Sudah datang ‘kiai resmi’, meminta maaf, dan selesai masalah. (Padahal kesalahannya terhadap Tuhan; apa ‘kiai resmi’ itu mewakili Tuhan di Indonesia). Ada pula dianggap tidak bersalah sama sekali. Jangankan menuntutnya, membicarakan kasus saja orang tidak berani. Sungguh sikap mendua yang sangat menggelikan.

Apa betul perlakuan yang berbeda itu disebabkan oleh kedudukan masing-masing ? kalau demikian apakah kita lupa akan hadis shahih tetang pencuri itu ? (Di zaman Nabi saw, seorang dari kalangan terhormat kedapatan mencuri). Ini tentulah skandal. Maka orang-orang pun meminta para sahabat dekat Nabi untuk ‘membicarakan’-nya dan memintakan ampunan bagi si ‘pencuri terhormat’ itu. Ketika sahabat dekat itu matur kepada Nabi ternyata Nabi marah besar, “Apakah kamu hendak membicarakan ketentuan yang sudahdtitentukan Allah ?Demi Allah, “kata Nabi”, “seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri, pasti akan aku potong juga tangannya. Rusaknya kaum sebelum sekalian adalah disebabkan karena apabila orang kecil yang mencuri, mereka menghukumnya; dan apabila orang besar yang mencuri mereka biarkan saja !”).

Tak kalah pelik dan menarik adalah kasus sastrawan kenamaan yang tak mau meminta maaf itu. Sastrawan ini waktu PKI dan Lekra masih jaya, dianggap telah ikut menindas rekannya yang tidak sealiran. Membantai kreatifitas para seniman yang tidak sepaham. Kini zaman berubah dan keadaan terbalik, rekan-rekanya yang dulu digencet dan kini relatif jaya, ada yang mempersoalkan kesalahannya masa lalu itu; gara-gara si sastrawan mendapatkan hadiah penghargaan oleh lembaga asing.

Menurut mereka yang mempersoalkan, sungguh aneh: sastrawan yang pernah berbuat sewenang-wenang terhadap hak asasi kok mendapat penghargaan sama dengan tokoh yang memperjuangkan hak asasi. Mereka ini mengaku rata-rata tidak mendendam dan sudah memaafkan si sastrawan, apalagi yang bersangkutan sudah menerima hukuman 10 tahun dibuang. Namun mereka masih menuntut agar si sastrawan meminta maaf. Lho kan mereka sudah memaafkan, lalu meminta maaf apalagi dan kepada siapa lagi ? “dia sudah meminta maaf kepada sejarah !” kata seorang dari mereka; “Kami tidak berhak memaafkan kesalahan orang yang bersalah kepada sejarah”.

Terus terang ini kosa kata baru bagi saya. Meminta maaf kepada sejarah ? Bagaimana sejarah bisa memaafkan kesalahan ? Apakah apabila tokoh-tokoh Nazi, fasis jepang, dan kolonialis Belanda, misalnya sudah meminta maaf atas dosa-dosa yang lampau, sejarah memaafkan: mau menghapuskan atau melupakan dosa-dosa itu ? Menurut saya, sejarah itu tidak kenal ampun. Seribu kali tokoh-tokoh Nazi, misalnya, menggumumkan meminta ampun kepada dunia sekalipun, sejarah tak akan sudi melupakan kekejaman mereka. Catatan sejarah tidak mungkin dihapus oleh siapapun dan oleh apapun.

Kalau masalahnya penyelewengan sejarah, bukankah itu sudah menjadi ‘pekerjaan’ manusia menyelewengkan untuk ‘memberi pekerjaan’ kepada manusia lurus untuk meluruskannya ?

Ternyata soal maaf memaafkan bisa juga tidak sederhana, terutama jika sudah melebar, menyangkut dimensi sosial.


Tradisi Lebaran, Tradisi Melebur Dosa
18 Oktober 2006 13:09:19


Oleh: A. Mustofa Bisri

Pada akhir-akhir bulan ramadhan, menurut pengetahuan saya, mukmin yang baik umumnya akan mempergiat pendekatannya kepada Allah dengan memperbanyak ibadat, tadarus Al-Qur’an, i’tikaf, dan berbuat baik kepada sesama. Entah itu dilakukan karena ingin “menjaring” lailatul Qadr, yang konon mungkin jatuh pada akhir-akhir bulan ramadhan, atau karena “meratapi” perginya bulan ampunan yang suci, atau justru itu didorong oleh kewatakan yang semakin menebal dalam diri.


Tapi, marilah kita lihat kegiatan kebanyakan kita pada akhir-akhir bulan suci ini. Kesibukan mudik yang memacetkan jalan, ibu-ibu yang tiba-tiba seperti pengusaha kue, para penjahit yang lembur siang malam, pasar dan supermaket yang sesak, lalu-lalangnya parsel dirumah-rumah para “Bapak”, iklan tayangan teve yang aduhai, dan teruskan sendiri. Semuanya seperti dalam kemaruk massal meng-hayubagyo datangnya lebaran. Hari terbuka dari puasa sebulan. Dan puncaknya Lebaran itu sendiri. Seolah-olah, itulah hari gembira, dimana jor-joran pakaian dan makan pun “direstui” agama.

Persis seperti itu menjelang berbuka puasa sehari yang diinting-inting sejak pagi, kemudian dipuasai habis-habisan ketika magrib. Semua orang seperti gregetan setengah mati dengan makanan dan minuman yang tak terjangkau di siang harinya. Bahkan, mungkin ada yang menyesal kenapa ususnya terbatas kapasitasnya makanan masih banyak yang belum tersikat, perut sudah keburu kenyang.

Kaum Muslimin memeng berhak gembira pada hari buka dan Lebaran. Namun, gembira orang muslim kan juga mesti gembira yang islami. Katanya masuk Islam mesti kaaffah, total. Kalau kaffah, ya tidak hanya salatnya, puasanya, ibadatnya saja yang Islam kan ?! Lalu, gembira yang Islami itu yang bagaimana ?

Gembira yang Islami ya gembira yang wajar. Gembira yang penuh syukur. Gembira yang tidak menafikan, apalagi melecehkan, adanya keprihatinan. Pendek kata, gembira yang tidak umbar-umbaran.

Kaum muslimin memeng patut bergembira yang menggangap puasa Ramadhan sebagai ujian patut bergembira karena ketulusan. Yang kemarin dengan iklas menjalankan perintah Allah berpuasa dan njungkung, semata-mata karena Allah, dibulan Ramadhan, patut bergembira karena, disamping telah berhasil ngelenggi pahala, dosa-dosanya yang udah lewat diampuni oleh Allah sebagaimana dijamin oleh Rasulullah saw. Sendiri. (Man shama Ramadlaana imaanan wahtisaaban, ghufira lahu maa taqaddama mindzanbihi).

Lalu, apa kaitannya itu semua dengan tradisi Lebaran kita yang khas selama ini ?

Saya tak tahu kapan tradisi yang khas dan menarik itu mulai mengalami “distorsi” ? Tapi, saya pernah -dan masih- menduga, semula tradisi lebaran di kita ini sangat elok. Suatu tradisi yang menunjukan kearifan para leluhur kita yang memuliakannya.

Rekonstruksi pemikirannya kira-kira begini. Setelah puasa dan njungkung sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan ikhlas, hanya memburu ridho Allah, dosa-dosa kita pun diampuni.

Namun, seperti diketahui, dosa yang diampuni itu hanya yang berhubungan langsung dengan Allah. Masih ada dosa lain yang berkaitan dengan sesama kita, antar kita, dimana ampunan Allah bergantung pada pemaafan masing-masing kita yang bersangkutan. Apabila anda saya sakiti atau saya zalim dan anda tidak memaafkan saya, Allah pun tidak akan mengampuninya sampai anda mau memaafkan saya.

Nah, untuk menyempurnakan ketidakberdosaan kita setelah Ramadhan itu, ditradisikanlah silahturahmi misal, saling mengujungi, dan saling memaafkan. Halal Bihalal. Sini menghalalkan dan memaafkan situ, situ menghalalkan dan memaafkan sini.

Dengan demikian pada Lebaran itu diharapakan semua macam dosa pun lebur dan kita kembali sebagaimana fitrah kita, mulus tanpa dosa.

Sedangkan makanan dan kue-kue lebaran, kiranya hanyalah merupakan ubo rampe. Karena ada kunjung-menggunjungi, patutnya hidangan disediakan sebagai penghormatan kepada tamu yang hendak berkunjung. Pahalanya terletak pada penghormatan tamu itu, atau pada niat sedekah atau hadiah yang mengiringnya. Demikian pula, agaknya, soal pakaian dan lain sebagainya.

Jadi, inti tradisi ini- wallahua’lam—yaitu silaturahmi saling memaafkan bagi penghapusan dosa antar sesama, setelah dosa terhadap Allah diampuni.

Sekali lagi, saya tidak tahu sejak kapan tradisi ini bergeser oleh rampe-nya. Sejak kapan kita menjadikan yang ubo rampe menjadi inti perhatian kita dan intinya menjadi sekedar ubo rampe.

Saya khawatir jangan-jangan-oleh pengaruh entah apa-sikap dan perhatian kita dalam banyak hal, memang sudah terbalik-balik. Yang penting kita remehkan, yang remeh kita pentingkan. Yang mudah kita persulit, yang sulit kita sepelekan. Yang mulia kita hinakan, yang brengsek kita puja. Yang kaya kita santuni, yang miskin kita abaikan. Dan seterusnya dan sebagainya.

Seperti soal dosa antar sesama itu. Dari segi kerasnya dan sulitnya dimintakan maaf, mestinya menuntut perhatian yang lebih dari kita. Mestinya, kita harus ektra hati-hati. Apalagi bila diingat rata-rata kita -khususnya manusia Indonesia- ini bukanlah pengampunan yang murah hati, dan sekaligus bukan peminta maaf yang rendah hati. Kalo jothakan, kalaupun mau wawuh, wawuh-nya nunggu saat baik, saat lebaran.

Baru lebaran, orang mau merendahkan meminta maaf dan berbesar hati memaafkan kesalahan. Jadi bila kesempatan Lebaran ini tidak dipergunakan untuk saling memaafkan, sungguh sangat rugi dan mengkhawatirkan.

Kita tentu tidak ingin menjadi pailit kelak dikemudian, seperti digambarkan oleh Rasulullah saw. Dalam hadits shahih yang sering disitir para mubalig dalam acara halal bihalal itu, “inna ‘I muslisa min ummanatii man ya’ti yauma ‘I qiyamati...” (H.r. Muslimin dari Abu Hurairah). “orang yang benar-benar pailit-diantara umatku-ialah orang yang di hari kiamat dengan membawa (seabrek) pahala salat, puasa dan zakat, tapi (sementara itu) ia datang setelah (di dunia) mencaci ini, Maka diberikanlah pahala-pahal kepada si ini dan si itu. Jika habis pahala-pahalanya kebaikannya sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya maka diambilah dosa-dosa mereka (yang pernah dizalimi) dan ditimpakan kepadanya, kemudian dicampakanlah ia ke api neraka” Nauzubillah !

Ternyata mulut, tangan kaki, perut dan angota tubuh kita yang biasa kita gunakan untuk beribadat, bersujud, berzikir, berpuasa, memberikan zakat, dapat membuat kita pailit kelak. Tidak hanya menghabiskan modal pahala yang kita tumpuk sepanjang umur kita, tapi bahkan dapat menarik kepada kita kerugian orang lain. Ini semua tentunya gara-gara kita terlalu meremehkan dosa dan kesalahan terhadap sesama.

Apabila kita memuliakan Tuhan, seharusnyalah tidak meremehkan apa yang dimuliakan Tuhan. Termasuk yang memuliakan Tuhan iyalah manusia. Apabila kita mengagungkan Allah, seharusnyalah kita menyepelekan apa yang menganggap agung oleh Allah-seperti dapat kita pahami, wallahu a’lam, -dari hadis populer diatas- adalah hubungan baik antara sesama kita, hamba-Nya ini.

Selamat Hari Raya Fitri. Semoga Allah menerima segala amal dan mengampuni segala dosa kita. Mudah-mudahan, setelah berpuasa dengan segala pantangan pada halal-halal-di bulan Ramadhan, kita dapat terus “berpuasa”-dengan pantangan pada hal-hal yang haram- termasuk dan terutama mengekang diri dari penyakit dan menzalimi sesama hamba-Nya, baik dengan mulut, tangan, atau kekuasaan.

Dan, maafkan lah saya, lahir batin !


Memburu Lailatul Qadr
4 Oktober 2006 12:14:56


"Sungguh Aku telah menurunkannya (Alquran) pada Malam Qadr (Lailatul Qadar) dan tahukah kau apa itu Malam Qadr? Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu malaikat-malaikat, termasuk Malaikat Jibril turun dengan izin Tuhan mereka untuk segala urusan. Penuh kedamian malam itu hingga terbitnya fajar".


Di atas adalah terjemahan bebas saya atas surat Al-Qadr. Rangkaian kata lailatul qadar diulang tiga kali dalam tiga ayat dan dua yang terakhir tidak diganti dengan kata ganti sebagaimana lazimnya dalam bahasa Arab. Ini "sama dengan pengulangan lafal Allah dalam surah Al-Ikhlas". Menurut ahli tafsir menunjukkan penting dan agungnya malam itu. Apalagi ada shieghah atau gaya pertanyaan, "Tahukah kau apa itu Malam Qadr?" di situ.

Kemudian pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Alquran dengan firman berikutnya, Malam Qadr lebih baik dari seribu bulan. Dari banyak riwayat hadis, dapat diketahui bahwa "lebih baik dari seribu bulan" artinya, amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih afdal dan lebih bernilai daripada amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada seribu bulan yang tak ada Malam Qadar. Dengan istilah lain dalam ayat lain (Q. 44: 3) , malam itu disebutkan sebagai malam penuh berkah.

Bermula dari surah ke-97 Alquran inilah istilah lailatul qadar menjadi sangat populer, termasuk pada kita ini. Hampir setiap bulan Ramadan, khususnya saat memasuki paro keduanya, orang (Islam) selalu membicarakannya sebagai semacam "buruan" atau tumpuan berbagai harapan.

Bagi mereka yang suka "potong kompas", tentu sangat tertarik membicarakan pendapat ulama tentang kapan tepatnya malam itu.

Kebetulan sejak dulu, ulama sudah membicarakan dan dari kalangan mereka muncul banyak versi. Ada yang mengatakan, Lailatul Qadar itu terdapat pada malam 10 terakhir Ramadan. Ada yang mengatakan pokoknya pada malam tanggal ganjil: 21, 23, 25, 27, atau 29. Ada lagi yang memastikan tanggal 21. Ada yang memastikan tanggal 27.

Tentu saja yang paling beruntung dan pasti menjumpai lailatul qadar adalah mereka yang "memburu"-nya pada setiap malam di seluruh bulan Ramadan. Berbahagialah mereka yang pada malam istimewa itu sedang berbuat atau beramal baik. Karena mereka akan mendapatkan pahala senilai beramal baik 1.000 bulan. Sayang, akhir-akhir ini banyak orang yang memburu dan berharap menemukan lailatul qadar hanya sebagaimana orang menunggu-nunggu pembukaan undian dan menganggap sebagai anugerah tiban yang dibayangkan berupa materi atau keberuntungan duniawi lainnya.


Keuntungan Materi

Kita misalnya, sering mendengar orang mengatakan, "Wah, saya baru saja mendapat lailatul qadar". Kemudian ternyata yang dimaksud orang tersebut tak lain adalah keuntungan materi .

Boleh jadi hal itu terjadi karena kondisi kita yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang didominasi kepentingan materi dan perhitungan untung-rugi, ditambah kentalnya budaya instan yang melekat. Surah Al-Qadr yang menjelaskan keiistimewaan malam pada saat mana Alquran itu turun, telah membuat banyak orang Islam "termasuk mereka yang sangat jarang membaca Alquran" sibuk memburu lailatul qadar. Sementara itu, Alquran sendiri yang diturunkan pada saat istimewa itu terus diperlakukan tidak semestinya.

Padahal bila orang lebih cermat menyimak, insya Allah akan melihat bahwa Surah Al-Qadr itu "wallahu a'lam bish-shawab" meski berbicara tentang keistimewaan malam, tidak terlepas kaitannya dengan keistimewaan Alquran.

Oleh banyak pemiliknya, kaum muslim, Alquran lebih sering diperlakukan sebagai azimat. Ditaruh dalam almari kaca agar terlihat indah dan sekaligus tidak tersentuh. Kalaupun dibaca, dibaca dengan semangat sebatas agar memperoleh berkah dan ganjaran membaca. Banyak sekali orang Islam yang membaca kitab sucinya itu dengan ekspresi untuk memenuhi target khatam sebulan atau setahun sekian kali. Dan, mungkin lebih banyak lagi yang sama sekali tidak membaca Alquran.

Sudah demikian, semua orang Islam selalu mengatakan bahwa Alquran adalah kitab suci dan pedoman hidupnya. Sungguh musykil orang yang memiliki kitab suci dan diakui sebagai pedoman hidupnya, ternyata tidak memahami kitabnya itu; apalagi tidak membacanya.

Maka, herankah kita bila melihat banyak kaum muslim yang perilakunya seperti mereka yang tidak mempunyai pedoman hidup sama sekali? Herankah kita bila di negeri kita yang mayoritas muslimin ini, pergaulan hidupnya seperti yang kita saksikan sampai sekarang ini?

Ataukah, seperti kebiasaan kita berspekulasi, kita hanya akan mengadang lailatul qadar dan tanpa mempersiapkan diri dalam laku Qurani?



I'tikaf
22 September 2006 13:49:47


Salah satu ibadat yang tak begitu berat, yang sangat dianjurkan dan besar sekali pahalanya adalah I’tikaf, orang hanya perlu masuk dan berdiam diri di mesjid- menurut ulama fiqih, sebentar pun jadi- dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan.


Beri’tikaf di mesjid, bertafakur mendekatkan diri kepada Allah merupakan mendekatkan diri kepada Allah merupakan salah satu kelanggengan Nabi dan para Mukmin pendahulu kita, umumnya di bulan Ramadhan. Mereka bahkan nabi yang begitu dekat dengan Allah, memerlukan beri’tikaf disela-sela kegiatan keseharian yang rata-rata masih dalam lingkup ibadat. Seringkali bahkan mereka menetap beberapa lama di mesjid, sehingga harus dikirimi makanan oleh keluarga mereka. Terutama di sepuluh hari terakhir Ramadhan, Nabi saw.- sebagaimana diceritakan oleh istri beliu sendiri, Sayyidatina Aisyah- mengkhususkan waktu untuk beri’tikaf dimesjid.

Boleh jadi di zaman sibuk dan modern ini, beri;tikaf terasa tidak popular. Bagaimana di dunia yang bersemboyan waktu adalah uang’ begini, orang sudi meluangkan waktu untuk berdiam di mesjid seperti pengangguran? Bahkan menganjurkannya saja mubaliq pun kayanya sungkan.

Namun, bukankah justru di zaman dimana aktifitas kejasadan dan kebendaan mendominasi kehidupan seperti sekarang, kita sangat memerlukan paling tidak sesekali meliburkan diri dari kerutinan pemanjaan jasad. Memberi bagian rohani kita untuk berkomunikasi sendiri dengan Al-Khaliq, menyerap cahaya dari Nur-Nya yang agung bagi kepentingan janji pertemuan kita kelak dengan-nya.

Ya, sejenak dalam kehidupan keseharian-disela-sela kesibukan memakmurkan bumi- berdiam diri dirumah Tuhan, bertakafur dan bersendiri dengan Tuhan, agaknya sangat kita perlukan. Sungguh tidak masuk akal bila untuk perjalanan singkat, rencana cermat kita buat, segala daya, pikiran dan waktu kita kerahkan untuk membekalinya; sementara untuk perjalanan panjang mengahadap-Nya, kita tidak mengambil kesempatan apa saja yang kita harapkan dapat membantu mempermudah dan memperlancarnya.

Bukankah kita perlu pengenalan, syukur keakraban, yang cukup terhadap. Siapa kita kelak menghadapnya? Ataukah kita tak peduli kita tak dianggap atau diabaikan-Nya.


KOMENTARandi nurdin (pendil) menulis:
opini yang ringan namun sangat menyentuh jika kita renungkan, memang akibat kita tidak pandai memfilter budaya kapitalisme global hampir saja hubungan dengan Tuhan kita dikerdilkan. sehari-hari kita dikondisikan dalam hidup berorientasi pada dunia saja dan mengabaikan kehidupan kekal kelak. oleh karena itu mari kita mulai dalam bulan ramadhan (menurut saya tdk hanya dalam bulan ramadhan) ini untuk lebih menyeimbangkan komposisi orientasi hidup kita salah satunya melalui i'tikaf. syukronronny eko susanto (ronny) menulis:
mungkin karena kita mempunyai anggapan bahwa Allah itu Maha Mengerti sehingga kita sering bermain2 dengan pengampunan.....(ironi dengan semakin maraknya formalisasi agama)
mungkin perlu sosok yang egois dan kaku untuk "kembali " kepada orientasi Ruh, dan membentur2 "kepala" kebendaan....maukah anda..?tunggul djundanto (tunggul) menulis:
Ini rasanya bukan untuk dikomentari, tapi mesti dicoba dilaksanakan. Pasalnya, memulai sesuatu yang baru pastinya sulit utk dilakukan. Tapi bagaimanapun, ini penting setidaknya bagi saya sendiri (yang merasa tidak pernah siap untuk kelak menghadap-Nya)Fikri Sulthoni (Fikri) menulis:
sifat manusia terkadang menyepelekan. ibadah yang ringan seperti i'tikaf sangat jarang sekali dilakukan. padahal ibadah ini berpahala sangat besar. Rahmat Allah begitu besar, dan manusia sering kali mengingkari.hamam nasirudin (hamam) menulis:
M A S J I D (Manusia Akan Segar Jika I'tikaf Di masjid

Gebyar iming-iming itu Ujian
13 September 2006 11:21:07


Oleh: A. Mustofa Bisri

Menurut penciptanya sendiri, manusia itu memang menyenangi kehidupan dunia dan cenderung mengabaikan akhirat. (Baca misalnya Surat Al-Qiyaamah: 20). Bahkan manusia, seperti juga difirmankan penciptanya Azza wa Jalla, terpedaya dan menganggap baik kesenangan mereka terhadap wanita, anak, melimpahnya harta mas—picis-rojobrono, kuda (mobil), perkutut, ternak, sawah ladang, dan seterusnya. Pokoknya kesenangan hidup di dunialah. (Baca misalnya Surat Ali Imran: 14)


Ini semua ditambah “perangai dasar” manusia seperti kecenderungan untuk berlebih-lebih, suka segera enak, egois, pelupa dan sebagainya, membuat kecenderungan mereka untuk semata-mata menikmati kesenangan hidup didunia menjadi keniscayaan. Dan oleh karenanya, tidak aneh apabila hedonisme mendapat pasaran di kalangan mahluk yang bernama manusia ini.

Kecenderungan untuk semata-mata menikmati kesenangan hidup, sudah sejak dulu menjadi “paham” manusia. Jauh sebelumnya mereka mengenal istilah-istilah materialistic, konsumerisme, hedonisme dan sebagainya.

Tokoh-tokoh semacam firaun cs, Qarun, Abu Jahal cs misalnya, merupakan beberapa gelintir diantara mereka yang sebenarnya mengikuti “paham” ini. “Paham” ini yang, percaya tidak percaya atau tidak, menjadikan manusia mirip ternak atau bahkan melebihinya.

Firaun yang sampai mengaku tuhan dan membunuhi rakyatnya; kaum ‘Aad, Tsamud, Sodom dan sebagainya yang angkuh dan tidak tahu malu; kaum jahiliyah yang bangga terhadap berhala dan harta; mereka yang seenaknya merampas hak orang lain, yang tega membunuh saudara, yang sudah terhormat masih suka nyelonong, yang sudah kaya malah semakin serakah, yang dengan bangga membabati kekayaan negara; suami yang tak risi menjual istrinya, ibu tega menjual diri atau anaknya; mereka yang senang menjilat yang kuat dan menginjak yang lemah dan seterusnya; itu semua ‘kan gara-gara “paham” itu tadi.

Bagi ummat Muhamad saw. Yang mengimani hari akhir dan memandang dunia ini hanyalah mazra’atul akhirarah, kecenderungan dari dalam diri dan gebyar iming-iming dari luar yang menunjangnya adalah fitnah dan cobaan atau tidak. Bisa lulus ijian atau tidak. Isu itu semua tentunya tergantung faktor-faktor dalam dan luar tadi.

Tapi tampaknya kebanyakan ummat Muhammad mudah-mudahan tidak-pun larut terseret arus hedonisme itu, secara sadar atau tidak, akibat kuat godaan dari “dalam” atau pengaruh dari “luar”. Kalau tidak lebih cenderung semata-mata menikmati hidup didunia yang paling tidak lebih cenderung menikmatinya daripada kepingin menikmati hidup akherat. Jika kadar kecenderungan itu sama, lumayanlah.

Coba saja lihat mereka ketika mereka berdo’a dengan do’a “paten” mereka-do’a “sapu jagat” yang mereka sukai sekali ‘kan sedang memohon kesenangan di dunia dan di akhirat.

Hasanah, baik, didunia diartikan bahagia, sejahtera, pendek kata senang-senangnya di dunialah. Padahal bahagia, sejahtera, senang, di dunia’ kan belum tentu baik di dunia (hasanah fid-dunya). Sebab tentunya tidak bisa disebut hasanah fid-dunya jika itu mengakibatkan syyi-ah fil-akhirah, kesengsaraan dihari kemudian.

Jadi do’a ampuh itu paling tidak menurut saya, justru untuk menagkal kecenderungan semata-mata menikmati kesenangan hidup didunia. Wallahu a’lam bis-shawab.
Lalu, kalau kita hendonisme itu jelek dan berakibat buruk dan kebanyakan ummat Muhammad saw. Benar terjerat, secara sadar atau tidak, pola hidup itu, siapa yang bertanggung jawab ? Lho, kok tanya ? Ya mereka sendiri. Terutama mereka yang mengaku pewaris-pewaris Nabi. Nabi akan sudah mewariskan “tongkat penuntun”, dikemanakan ‘tongkat” itu kok cari-cari tongkat lain atau jalan tanpa pernuntun sama sekali. Cari dan kenali tongkat itu.
Wah, kok seperti khotbah yah ? memang !


KOMENTARtunggul djundanto (tunggul) menulis:
weleh...weleehh..
ampuh tenan ki. Semoga kito sedoyo ndak terseret arus hedoniisasi itu.

wassalamu 'alaikum,
cucundaMUHAMMAD AZHARI, SH (HARI) menulis:
berpeganglah kepada "tongkat" keadilan, karena hanya keadilan yang dapat mensejahterakan masyarakat.
Berdo'a lah untuk akhirat, karena sejak lahir di dunia kita tidak membawa apa-apa, kalaupun ada, hanya sementara, nikmatilah kesementaraan itu, hingga sampai waktunya kita pulang, oleh karenanya ber do'a lah untuk akhirat

Malu
8 Juni 2006 23:30:07


Oleh: A. Mustofa Bisri

Barangkali hanya kita di antara mahluk Allah di bumi ini, yang memiliki perasaan malu. Kalaupun ada binatang atau tumbuh-tumbuhan yang konon bisa “malu”, agaknya karena kita saja yang menganggapnya begitu.


Tetapi di kalangan manusia sendiri pun, tampaknya tidak seluruhnya memiliki perasaan malu itu. Lihatlah di sekeliling kita saja. Dengan mudah akan terlihat orang yang tak merasa risi merampas hak sesamanya; ada orang yang tak sungkan-sungkan memakan daging saudaranya; ada orang yang tega memperkosa ibunya; membunuh anaknya; ada orang yang dengan santai mempertontonkan aibnya; dan seterusnya.

Kita mengenal paling sedikit tiga malu: malu kepada orang lain; malu kepada diri sendiri; dan malu kepada Tuhan. Kalau malu kepada orang lain sudah tidak kita punyai, malu kepada diri sendiri dan Tuhan apalagi.

Sebab bagi kita yang tidak begitu mempertimbangkan pandangan diri dan pandangan Tuhan, umumnya masih seuka mempertimbangkan pandangan orang lain. Bahkan pandangan orang lain inilah yang justru sering menjadi motor utama gerak-gerik dan perilaku. Kita berbuat mulia atau menyembunyikan borok sendiri, karena dipandang orang. Kita sopan di depan orang dan liar dalam kesendirian.

Mereka yang selingkuh, minta suap dan korupsi, misalnya, mungkin masih sedikit punya perasaan malu terhadap orang lain. Karena biasanya mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Paling sedikit tidak ingin perbuatannya diketahui banyak orang. Berbeda misalnya, dengan mereka yang terang-terangan merampok dan merampas hak orang lain.

Namun jelas, semua itu sudah tidak lagi mempunyai rasa malu kepada diri sendiri dan Tuhan.

Saya pernah membaca sebuah hadis Nabi Muhammad swa yang mengatakan, “Apabila kamu tidak malu, berbuatlah sekehendak hatimu!” Artinya tentu saja, tidak malu kepada orang, diri sendiri dan Tuhan.

Maka malu sebenarnya merupakan bagian dari iman, kalau tidak ya iman itu sendiri.

Semoga ibadah kita, disamping kemuliaan-kemuliaan lainnya mampu mendidik kita menjadi manusia-manusia sejati yang memiliki perasaan malu. Amin.


KOMENTARK u s w a n t o (K u s) menulis:
Manusia adalah makhluk yang sempurna, Allah menganugerahi manusia akal agar mampu memilah yang hak dan yang bathil.
Para nabi mewariskan pada ummatnya untuk menjadikan malu sebagai perhiasan hidupnya, hiasan yang membawa kebaikan kepada pemiliknya, menjadi istiqomah pemiliknya, sehingga meninggalkan perbuatan keji & mungkar untuk mendapatkan surgaNYA.
Rasa malu yang sudah hilang mengakibatkan hilangnya seluruh kebaikan manusia.
Oleh karenannya jadikan rasa malu itu suatu budaya, sehigga KORUPSI AKAN TIDAK ADA. PERSELIKUHAN TIDAK ADA, DEMO PEKERJA TIDAK ADA dan perbuatan jelek lainnya akan sirna YANG ADA HANYA KEBAIKAN-KEBAIKAN PERILAKU MANUSIA. Abdul Latief (latief) menulis:
memang orang punya rasa malu(Al-hayaa minal iman. tapi para pejabat sudah putus uart malunya sehingga i tak punya rasa malu pada tuhannya apalagi pada dirinya,orang lain dsb.lihatlah para pelaku korup.malu mah kagak ada klo ada gak mungkin lah sampaek terjadi begini makanya kita klo bisa sosialisasikan budaya malu mulai dari atasa sampai bawah. dari batasan mana sih malu kita yang akan memulai orang untuk bisa sadar.(aku ni di lihat gak si)ary sunarto (ary) menulis:
Untuk menumbuhkan MALU, manusia mesti sadar diri berasal darimana, sedang apa di dunia saat ini dan akan kemana setelah mati. Hanya manusia yang sadar diri, yang tahu dengan tegas mana hak pribadi dan hak orang lain. Sehingga MALU yang membedakan hak pribadi dengan hak orang lain.Wasis, S.T. (SIS) menulis:
Ya Alloh berilah kami orang-orang muslim seluruhnya ini malu untuk berbuat yang melanggar aturan-Mu & Rosul-Mu (sehingga tidak jadi berbuat yang melanggar aturan Alloh & Rosul-Nya). Ya Alloh berilah pula kepada kami orang-orang muslim seluruhnya ini keberanian & kemampuan untuk melaksanakan aturan-Mu & Rosul-Mu, aamiin.yudi setiadi (yudi) menulis:
Seperti kita baru terlahir didunia,pasti dalam beberapa menit saja pastilah orangtua akan menutupi seluruh bagian dari tubuh kita.Artinya mulai sejak lahir orangtua kita sudah menumbuhkan budaya malu.Kenapa itu tidak tertanam sampai kini ?kae rembulane (a.srie) menulis:
malu itu karena mungkin terjadi kerusakan pada konsep diri kita,lha wong ....kita ini makhluk paling sempurna yang diciptakan kebumi kok masih malu,mestinya kita punya kesadaran bahwa konsep diri kita sudah jauh melampaui kita.tidakkah kita akan terus ambless ketika yang ada di otak kita cuma malu..malu... dan maluuuuu,dan kita rasa cukuuuupsri puri surjandari (puri) menulis:
Tuhan telah memberikan kita malu, tapi jarang sekali kita menampakkan rasa malu ini. Akibatnya, orang ga malu korupsi, ga malu bohong... yodi akbar (AKBAR) menulis:
assalammualaiku wr.wb

sebenarnya saya ingin bertanya kepada gusmus beberapa hal yg saya masih tidak mengerti. tapi saya bingung mencari kolom untuk tanya jawab.


saya ada beberapa pertanyaan atau pendapat. mohon penjelasannya dari gusmus. karena ilmu agama saya masih tahap belajar saya takut tersesat.

1. beberapa bulan yg lalu mungkin gusmus pernah mendengar tenteng lia eden yg mengaku sebagai utusan tuhan dan anaknya mengaku sebagai titisan nabi muhammad begitu juga dengan aliran salamullah, madi dan lain2.
apakah yg menyebabkan kelompok tersebut mempunyai klaim seperti tersebut.

2. saya pernah melihat acara di suatu stasiun tv swasta tentang pengusiran roh halus seperti kuntilanak,gondoruwo,tuyul dan lain2. yg di lakukan oleh ustadz atau dgn kata lain orang pintar dalam beragama.
yang saya mau tanyakan adalah apakah perbuatan si ustadz itu termasuk dakwah (siar agama ) sebab menurut saya itu seperti praktek perdukunan.

3.dan satu lagi acara di stasiun tv swasta tentang pengobatan rohani yg umumnya di sebut ru' iyah , dgn cara di doakan si pasien agar penyakit nya sembuh .
yg saya herankan si yg penyembuh nya berdalih bahwa penyebab penyakit si pasien di sebabkan ada nya roh jahat seamacam jin, setan atu apalah gitu. setahu saya yg nama nya penyakit kan di turunkan oleh allah swt dan dia angkat nya pun atas seijin dia.

4. saya pernah membaca di suatu website tepatnya www.swaraislam.com. disitu termuat alquran adalah kitab agama paling porno. ini atas pendapat dari tokoh agama terkenal. mungkin gusmus pernah mendengar tentang pendapat si tokoh ini dan mungkin juga gusmus tahu akan si tokoh ini .
yg jadi pertanyaan saya atas dasar apa si tokoh ini berpendapat bahwa alquran adalah kitab agama paling porno ini sama saja melecehkan agama islam.
jujur gusmus saat saya membaca artikel ini di website tersebut hati saya panas seprti bergejolak karena kitab suci saya khusus nya yg saya junjung tinggi di lecehkan oleh orang yg pasti nya lebih dalam ilmu pengetahuan agama nya di bandingkan dengan saya

mohon penjelasannya gusmus agar saya lebih paham dalam agama DADANG ISMAIL (DADANG) menulis:
mengapa malu ..? kepada siapa, maling boleh asal tidak ketahuan begitu juga korupsi, perselingkuhan kan biasa, malu sama siapa ya ..??? kan tidak ada yang tahu !!! (oh........ masih ada Tuhan toh ...)ibnoe djaza (kinoi) menulis:
Istighfar mas dadang....guru saya bilang, "jangan pernah meremehkan dosa kecil, karena tidak ada dosa besar kecuali berawal dari yang kecil itu.

Berdoa
4 Mei 2006 14:30:19


Oleh: A. Mustofa Bisri


Anda pernah berdo’a? Sebagai orang yang beriman, pastilah Anda, bukan hanya pernah, tapi sering berdo’a. bahkan boleh jadi do’a sudah merupakan ‘pekerjaan’ rutin.


Lalu apa saja yang Anda baca dalam berdo’a? Atau permohonan apa sajakah yang bisa Anda panjatkan? Mohon selamat? Rezeki? Masuk surga? Dihindari dari api neraka? Bahagia dunia akhirat?

Pernahkah Anda berdo’a secara khusus kepada Allah sehubungan dengan kepentingan yang mendesak? Ditagih utang kanan-kiri, misalnya? Bagaimana pengalaman Anda selama ini; berapakah prosentase do’a Anda yang makbul?

Memang, disamping membaca Al-Qur’an, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah merupakan suatu amalan yang sangat dianjurkan terutama dalam bulan suci Ramadhan.

Berdo’a, selain merupakan salah satu ibadat yang dipujikan, adalah sarana kita untuk memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Memiliki dan Mahamurah. Allah berfirman dalam kitab sucinya, “Ud’uunil astajib lakum” (Berdo’alah kamu kepada-ku, maka Aku akan mengabulkan untukmu.”) (Q.s. 40: 60).

Berdo’a, secara langsung atau tidak, juga bisa berarti pengakuan hamba akan kelemahannya dihadapan Tuhan Penciptanya.

Kalau dikalangan sufi banyak yang menolak berdo’a – karena bagi mereka, berdo’a sama saja dengan meragukan pengetahuan Tuhan terhadap hajat dan aspirasi hamba-hambaNya – bagi kita berdo’a justru merupakan tradisi misal yang luar biasa. Boleh jadi karena umumnya kita ini banyak mempunyai kepentingan dan keinginan – sedangkan tangan kita untuk meraihnya terbatas – berdo’a lalu menjadi amalan ibadat favorit. Apalagi dijaman yang tidak semakin menjanjikan terpuasinya aspirasi ini. Lihatlah, dimana-mana orang berdo’a. tidak hanya sendiri-sendiri. Seringkali beramai-ramai seperti ‘mendemonstrasi’ Tuhan saja. Mulai dari memohon hujan; memohon selamat dari banjir dan bencana alam; memohon kemenangan tim olah raga yang kurang latihan; memohon agar jagonya jadi lagi; hingga ber-istighatsah memohon agar organisasinya tidak digoyang OTB, organisasi tanpa bentuk.

(Cara berdo’a pun macam-macam. Do’a yang bersifat instansional biasanya juga dengan gaya bahasa laporan dinas atau laporan komendan kepada inspektur upacara; misalnya begini, “Ya Allah ya Tuhan kami; hari ini kami semua berkumpul di bangunan yang baru saja selesai dengan biaya… untuk melepas kontingen olah raga kami yang akan berjuang membela nama baik tanah air kami ke negeri orang. Ya Tuhan, berilah kemenangan kepada mereka, sehingga mereka dapat meraih medali sebanyak-banyaknya atas ridho-Mu ya Allah…” Atau begini, “Ya Allah ya Tuhan kami; hari ini kami memperingati hari ulang tahun organisasi kami….dan seterusnya.: atau, “Ya Allah ya Tuhan kami dalam pemilu yang akan dating….dan seterusnya.” Atau….).

Pertanyaan penting yang sering mengusik kemudian ialah: kita ini sudah berdo’a sekian lama – minta ini minta itu untuk diri kita sendiri atau untuk kepentingan umum – namun kok sepertinya tak ada tanda-tanda do’a kita dikabulkan-Nya? Bahkan kita sudah berdo’a di saat-saat suci, ketika berpuasa, seperti sekarang ini dan tampaknya do’a kita hanya seperti angin lalu saja.

Apakah etika berdo’a kita yang belum benar sehingga Allah belum berkenan mendengarkan do’a kita, atau bagaimana? Atau seperti kata ulama yang cukup menghibur itu: setiap do’a pasti dikabulkan, cuma kapan dan berupa apa hanya Allah sendiri yang menentukan dan mengetahuiNya. Wallahu a’lam.

Orang-orang Bashrah (Irak) tempo deoloe pernah mengajukan pertanyaan seperti itu kepada zahid mereka yang terkenal, Ibrahim bin Adham (hidup sekitar abad VIII Masehi) dan apa jawabannya? Tokoh sufi itu menjawab, “Itu disebabkan karena hati kalian mati dalam sepuluh hal:
(1) Kalian mengenal Allah, tapi tidak menunaikan hak-hak-Nya;
(2) Kalian membaca kitab Allah, tapi tidak mengamalkannya;
(3) Kalian mengaku mencintai Rasul Allah saw, tapi tidak mengikuti sunnahnya;
(4) Kalian mengaku membenci setan, tapi selalu menyetujuinya;
(5) Kalian yakin mati itu pasti, tapi tak pernah mempersiapkannya;
(6) Kalian bilang takut neraka, tapi terus membiarkan diri kalian ke sana;
(7) Kalian bilang mendambagan surga, tapi tak pernah beramal untuknya;
(8) Kalian sibuk dengan aib-aib orang lain dan mengabaikan aib-aib kalian sendiri;
(9) Kalian menikmati anugerah-anugerah tuhan, tapi tidak mensyukurinya;
(10) Kalian setiap kali mengubur jenazah-jenazah, tapi tak pernah mengambil pelajaran darinya.”

Nah, apakah jawaban Ibrahim bin Adham ini ada gunanya buat Anda yang suka berdo’a?
Selamat berdo’a!


KOMENTARK u s w a n t o (K u s) menulis:
Alhamdulillah..!, ini benar-2 pelajaran bagi saya untuk introspeksi diri.
Ya ALLAH berilah aku petunjukMU, aamiinKHURIN NIHAYAH (KHURIN) menulis:
Bapak saya mewasiati, kalau doamu belum terkabul sekarang, itu merupakan simpanan diakherat nanti, karena Allah telah berjanji untuk selalu mengabulkan doa makhluknya. Amin, tetapi saya pernah berdoa dengan hasil yang sangat tidak disangka dan jauh diluar perkiraan saya. Allahu Akbar. Ketika akan menunaikan rukun islam kelima, saya berdoa kepada ALLah agar dijauhkan menstruasi pada saat hari - hari pentingnya, lha kok bulan berikutnya saya hamil, padahal menurut dokter saya tidak mungkin mempunyai anak lagi karena memang ada masalah dengan rahim saya. Allahu Akbar, jadi saya pergi haji dalam keadaan hamil 7 bulan dan semuanya dapat terlaksana dengan mudah dan lancar. Semoga Allah menjadikan haji saya mabrur. Permohonan saya dijauhkan dari mens ternyata di bonusi putri. Luar biasa.umi iLyatun (melia) menulis:
saya yg terbiasa sendirian sejak kecil, memikirkan sendiri, menganalisa sendiri, mengamati sendiri, berpikir sendiri, menjalani sendiri, melihat sendiri, mendengar sendiri, memendam sendiri, menulis sendiri, dan berkeinginan sendiri, cukup mengerti atas pentingnya kedekatan dengan Allah, saya merasakan benar pentingnya do'a kehadirat Allah, Allah bagai pelindung saya setiap saat, Allah penjaga saya setiap saat, Allah teman saya setiap saat, Allah tempat saya curhat setiap saat, Allah tempat berdialog saya setiap saat, Allah tempat bergantung saya setiap saat, Allah pacar saya setiap saat, Allah tempat saya menangis, tempat meminta,, menghujat, melapor, komplain, kritik, kadang2 tanpa sadar saya lupa bersyukur, saya sombong, saya lupa kehadiranNYA, saya tidak memupuk cinta saya padaNYA, padahal saya tahu hanya Dia satu2nya yg membuat alam semesta ini dengan sempurna, yg membuat kompleksnya Aturan main tubuh manusia, detailnya komponen 'jiwa' dan 'pemikiran' manusia, terperincinya jaringan hidup yg tak mampu suatu makhluk pun bisa, tak akan mungkin, tapi duh... ya Allah kenapa manusia lemah sekali dalam menggapai untuk tetap konsisten menapaki di jalanMU, aku yg satu diantara sekian merasa lelah dg cobaan ini, setiap terperosok, saya selalu merasa sangat bersalah kepadaMU, tetapi kenapa saya lemah sekali untuk tidak mengiyakan itu. saya takut neraka dan tahu pedihnya adzab tersebut tapi saya selalu dosa, saya mengenalmu tetapi selalu mengabaikan hak2mu, saya membaca kitabmu tetapi selalu menodainya, saya mencintai rosul bahkan kadang2 menangis merindukan kehadirannya tetapi selalu terbuai cinta org2 disekitar saya, saya membenci setan tetapi selalu bertingkah seperti setan berujud manusia, saya tahu mati dan kehidupannya seperti apa tapi selalu cuek dan gak mau tahu serta sama sekali tidak mempersiapkannya, saya tahu neraka dan takut sekali padanya seakan2 Allah hanya mencipta neraka tanpa surga saking takutnya sama neraka tapi apa yg saya perbuat.... saya selalu melakukan hal2 yg penghuni neraka lakukan, saya bilang disela2 kebetean saya bahwa saya mencintai Allah tetapi saya menduakanNYA, saya mengaku hambanya tetapi saya seperti merasa saya bisa menghujatNYA, saya keras kepala, saya nggak tahu diri, saya fasiq, saya bersalah, saya pendosa, saya nggak komitm,en dg diri saya, dg cinta saya, dg janji saya, dg ucapan saya, semua bulsheet, ini mungkin sebab mengapa ALLah tidak segera mengabulkan permintaan saya yg segunung itu, ini pula yg membuat Allah malah membenamkan saya kejurang yg lebih dalam, ini pula yg mencabut cinta kasih ALlah kepada saya selama ini karena Dia tahu saya org yg mudah takabur, mudah lupa, mudah memalingkan muka dari kasihsayangNYA, itu tidak lain karena.... saya yg kurang sabar dg kehadiran terkabulnya permintaan saya, karena saya yg kurang cerdas memahami petunjuk2 Allah yg abstrak, karena saya buta mata hati, karena sy yg keras hati, karena saya yg sombong, Allah takut saya melupakanNYA, Allah takut saya tidak mencintaiNYA, Allah ingin saya terus menatapnya, tapi kadang perasaan yg menyebabkan saya harus lebur dengan kehidupan manusiawi yg menyebabkan saya menjauhi kehidupan ilahiyah, Allah lebih tahu saya kedepannya seperti apa makanya saya tak segera mendapatkan apa yg saya cita2kan, apa yg saya do'a2kan, apa yg saya impikan, karena takut saya berubah, karena sayangnya, tetapi saya harus menyeimbangkan dunia dan akhirat saya, saya juga harus menghadapi lima musuh keimanan saya, org islam yg gak suka saya, setan yg selalu tipu daya saya, nafsu yg selalu mengegelincirkan saya, org kafir yg gak suka agama saya, dan org beriman gak suka hal2 ttg saya. saya lemah dan haryus memikirkan ini semua sendirian, sekali lagi... sendirian. bukankah saya lahir sendiri, berikrar kpd Allah juga sendiri, dan ntar mati dan menemuiNYA sendiri, oh.... berat sekali kehidupan saya dan keberlangsungan iman saya, cobaan yg bertubi2 seakan2 membuat saya tak mampu untuk terus di belakang Muhammad dan melestarikan 'cintanya' kpdNYA. ya Allah bimbinglah saya, ajarilah saya, istiqomahkanlah saya di jalanMU, dan buatlah saya selalu ikhlash memeluk agamaMU, dan tumbuhkanlah selalu cinta dalam sanubariku, rahmatilah saya dengan kasih sayangmu, kumpulkanlah saya bersama org2 yg sabar yg engkau ridho terhadap meraka, amiiiiinnnnn.m.fuad hanif mumtazia (hanif) menulis:
Memang betul sepuluh hal tersebut, ibarat pesawat jet sepuluh hal itu adalah bahan bakarnya, jadi wajar saja kalau umpamanya doa kita tidak sampai-sampai. lha wong bahan bakarnya saja kurang atau bahan bakarnya sudah ndak murni banyak termanipulasi oleh nafsu duniawi tidak murni bentuk kemesraan seorang hamba dengan Gustinya, tapi bagaimanapun juga doa itu pasti dikabulkan, entah kapan itu bukan urusan kita dan seseorang sudah dapat berdoa saja merupakan manusia yang terpilih oleh Allah SWT untuk bercengkrama denganNYA, marilah kita bersam haturkan syukur Alhamdulillah kepda Allah atas izin dan ridhoNYA untuk berdoa, bercurhat pada Allah, bgaimana tidak kita yang asalnya dari barang "ino" kemudian diangakat derajatnya untuk beribdah dalam bentuk doa. Alhamdulillah, matur suwun ya Allah.M.FAIZIN (FAIZ) menulis:
saya pernah mengalami situasi kritis, dimana semua orang yang saya anggap dekat mulai menjauh, maka ketika itu saya merasakan betapa saya tidak bisa mengelak kalau saya hanya bisa mengadu kepada tuhan.
semua teman, sahabat, kekasih bahkan keluarga takbisa menjamin akan bisa selalu disisi untuk menjaga dan membantu kita mengatasi suatu masalah. hanya Allah SWT lah yang sanggup menjamin dan membuat kita tenang karna kita tau dia selalu ada untuk hambanya.
ya Allah maafkan saya, maafkan hambamu ini yang lebih sering lupa kepadamu, yaa Allah ingatkanlah saya sebagai hambamu yang lemah. sungguh tiadalah yang pantas untuk aku mintai petunjuk, kecuali engkau yang maha pengasih lagi maha penyayang.
semoga aku ter masuk hambamu yang akan diberi pengampunan segala dosa dan mendapat syafaat dari nabi muhammad SAW pada hari kiamat nanti.amin....hamam nasirudin (hamam) menulis:
insya allah gus, sebenarnya setiap orang menyadari bahwa mereka harus berdoa,karena adanya harapan didalam benak mereka ,tentunya allah haruslah menjadi rujukan tempat mengadukan segala sesuatunya,kemudian saya teringat salah satu hal yang penting juga dalam berdoa,yaitu waktu dan tempat doa,saya hanya ingin menulis tentang sepertiga malam yang terakhir ,bukankah allah menawarkan kepada hambanya yang sholih untuk meminta kepada-Nya, berbicara mengenai hamba yang sholeh tentu merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kriteria yang memenuhi apa yang disebutkan oleh ibrahim bin adham,mengapa, karena tidak mungkin orang yang tidak bertaqwa kepada allah,serta mengharapkan keridloan-Nya mau-maunya merasakan dinginnya malam dan waktu dimana lagi enak-enaknya tidur. Syafiudin (udin) menulis:
"Berdo’alah kamu kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan untukmu.”..Begitu Maha Murahnya Allah bagi hamba-hambanya. Namun, hamba2 seperti apakah yang berhak mendapat kemurahan itu? Saya ialah satu di antara orang yang sangat mengharapkannya. Tapi jika melihat 10 syarat itu, berat rasanya memperjuangkan apa yang kita minta kepadaNya. Ya Allah, saat ini saya punya 1 keinginan, ialah menjadi orang yang sanggup memenuhi 10 syarat di atas. Bejibun kesalahan dan dosa saya perbuat. Kesadaran terkadang juga muncul dalam diri. Saya juga ingat pesan2 ulama bahwa ampunan Allah jauh lebih besar dari murkanya. Tapi, untuk orang seperti saya, bagaimana caranya agar Allah mendengar dan mengabulkan do'a saya. Sungguh berat rasanya. Saya merasa tidak pantas berdo'a, karena saya malu atas dosa-dosa yang saya lakukan. Tapi jika saya tidak berdo'a, sampai kapan keburukan2 akan saya lakukan. Duh Gusti...aku tidak punya apa2 selain dosa dan kehinaan sehingga pantas untuk panjatkan doa kepadaMu. Aku menyadari dosa, tapi aku sulit menjauhkan darinya. Aku ingin lepas dari belenggu2 dosa. Aku hanya ingin memperbaiki diri yang sungguh dipenuhi aib ini. Duh Gusti....adakah Kau dengar keluh kesah ini?achmad madalih (nasqi) menulis:
berdo'a merupakan suatu keharusan, karena dengan berdo'a kita dapat selalu dekat dengan Allah SWT, usaha yang maksimal tanpa diiringi dengan do'a terasa kurang lengkap. Karena dengan berdo'a saya merasa yakin bahwa apa yang kita kerjakan akan mendapat ridho Allah, aminachmad madalih (nasqi) menulis:
saya pernah berdo'a, dan Allah mengabulkan do'a saya, Amin. itu terjadi tahun 1988, pada saat itu saya baru lulus dari SMK, karena ingin membantu ortu maka saya langsung mencari kerja, maka saya melamar pada 1 perusahaan, alhamdulillah saya diterima, karena sebelumnya saya berdo'a pada tengah malam (kira2 jam 03.00 pagi) setelah shalat tahajud, alhamdulillah besoknya saya langsung diterima kerja," Amin ya Rabbal Alamin."Norman RInaldy (Aldy) menulis:
Masya Allah.aku malu ..doaku selalu tak lebih lama dari menghirup kopi pagi..padahal aku lemah selemah lemahnya di hadapanNya, penuh noda dan dosa. aku lupa ketika aku gemabira dan aku gusar bila doa tak kunjung diterima di kala susah.......duuuuuuuuuuhhhhhhhh Gustiiiiiii :((( ampuni aku.al faqier husn el abhiedien fadlan attubaniey (abhiedien) menulis:
YA ALLAH CURAHKANLAH RAHMAN RAHIM-MU DARI SGALA DOAKU...AMIN..YA RABBAL ALAMIN....Singgih Wahyudiyana (Singgih) menulis:
Duh .... Gusti... betapa bebalnya hati ini. Ampuni kami. jangan Engkau masukkan Kami golongan yang ingkar akan NikmatMu.
Duh .. Gusti... Betapa bebalnya hati ini... yang terkadang tidak mengerti bahasa jawaban atas Do'aku kepada Mu.
Duh... Gusti .... Ampuni Kami

Quran
18 Oktober 2005 22:02:42


Oleh: A. Mustofa Bisri

Juga di negeri ini; memperingati peristiwa Nuzuulul Quran --seperti memperingati peristiwa-peristiwa penting lainnya-- merupakan tradisi yang sudah berjalan sejak lama. Biasanya peringatan Nuzulul Quran diperingati di mesjid-mesjid agung ibu kota hingga kecamatan, bahkan desa-desa.


Acara inti peringatan-peringatan itu biasanya berupa ceramah agama yang mengupas tentang Quran dari berbagai aspek, utamanya tentu saja tentang sejarah turunnya Quran itu sendiri. Kupasan tentang ayat Iqraa bismi Rabbika hampir selalu bisa kita dengar dari mubalig atau ustadz yang mengisi acara “Uraian Nuzulul Quran”.

Di samping itu, media massa pun seperti lazimnya, juga mengagendakan acara peringatan dengan caranya sendiri. Yang selalu mengganggu pikiran dan menjadi tanda tanya bagi saya selama ini ialah: sebenarnya sepenting apakah Quran itu di mata mereka? Apakah mereka menganggap Quran itu sebagai ‘hanya’ bacaan mulia, sebagai pusaka keramat, semacam kitab fiqh atau buku kumpulan peraturan, atau –seperti yang sering kita dengar dari kaum muslimin sendiri:-- merupakan pedoman hidup umat Islam.

Bila Quran dipandang sebagai pedoman atau panduan hidup umat Islam, pertanyaannya adalah: apakah umat Islam –termasuk ustadz dan mubaligh yang sering mengisi acara uraian hikmah Nuzulul Quran itu-- sudah bisa membacanya? Bila sudah, seberapa jauh mereka memahaminya dan sejauh manakah pemahaman mereka itu telah melandasi atau mewarnai amaliyah mereka?

Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi logis muncul, melihat fenomena kehidupan dan perilaku umat Islam saat ini. Benarkah mereka yang mengorupsi uang negara itu berpedomankan Quran? Benarkah mereka yang merampas hak rakyat itu berpedomankan Quran? Benarkah mereka yang mengabaikan atau mengkhianati amanat yang mereka terima itu berpedomankan Quran? Benarkah mereka yang mengotori busana Nabi Muhammad SAW dan menodai bulan suci dengan tindakan brutal itu berpedomankan Quran? Benarkah mereka yang menganggap diri paling benar sendiri itu berpedomankan Quran? Benarkah mereka yang nyrimpung saudaranya sendiri itu berpedomankan Quran? Kalau mau Anda bisa memperpanjang daftar pertanyaan ini.

Masih mending bila mereka yang mengaku berpedomankan Quran itu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Quran. Ini tidak; banyak di antara mereka yang justru melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perintah Quran. Masih mending bila Quran menyuruh mereka “pergi ke barat” misalnya, lalu mereka tidak “pergi ke barat”. Ini tidak, mereka itu justru “pergi ke timur”.

Quran mengajarkan sikap adil dan menghormati hukum; sementara banyak orang yang mengaku berpedomankan Quran tidak hanya tidak adil, tapi juga melecehkan hukum. Quran menyerukan agar manusia saling menghargai dan tidak menghina sesama, tapi –Anda melihat sendiri—betapa banyak orang yang mengaku berpedomankan Quran terus merendahkan dan menghina sesama. Quran menyatakan bahwa orang-orang yang beriman bersaudara dan –Anda melihat sendiri—banyak orang yang mengaku beriman dan berpedomankan Quran justru menganggap saudaranya sendiri sebagai musuh. Pendek kata kita masih belum menyaksikan banyak tuntunan mulia Quran dipraktekkan oleh mereka yang mengaku berpedomankan Quran, tapi justru sebaliknya.

Tidak itu saja; bahkan kita menyaksikan betapa banyak orang yang menggunakan ayat-ayat Quran hanya untuk meraih kepentingan duniawi sesasaat. Malah ada yang berani membawa-bawa Quran untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru mengaburkan makna luhur Quran.

Kadang-kadang saya berpikir, dari pada sibuk mengurusi label halal dan minyak babi, mengapa MUI tidak melakukan kegiatan yang lebih kreatif misalnya mengadakan survey tentang umat Islam Indonesia kaitannya dengan kitab suci mereka. Satu dan lain hal agar kita tahu persis, misalnya: dari berjuta-juta umat Islam di Indonesia ini berapa persen yang membaca Quran setiap hari? Dari sekian juta yang membaca Quran itu berapa persen yang memahami kandungannya? Dari sekian banyak yang yang memahami kandungan Quran itu, berapa persen yang menghayatinya? Dari sekian banyak yang menghayati Quran itu, berapa persen yang mengamalkannya?

Dengan diperolehnya data-data mengenai hal itu, langkah-langkah reformasi keberagamaan umat Islam berikutnya insya Allah akan lebih mudah. Bukankah Quran merupakan pedoman utama keberagamaan umat Islam?!

Sekian orang yang sudah jelas memahami Quran, misalnya, dapat diminta membantu sekian banyak saudaranya yang belum memahaminya untuk dapat berusaha berperilaku Qurani, dengan cara mengamalkannya. (Kita membeli radio, tv, atau komputer misalnya, bisa dipastikan kita mampu mengoperasikannya, meski kita tidak membaca buku panduannya? Mengapa? Karena begitu sering kita menyaksikan mereka yang mengopersikannya). Mereka yang memahami Quran dituntut tidak hanya fasih membaca dan menerangkan kehebatannya, tapi lebih dari itu hendaknya dapat membantu saudara-saudaranya untuk mengamalkan kandungan mulianya melalui keteladanannya.
Wallahu a’lam.


Ramadan
22 September 2005 23:55:19


RAMADAN
Oleh: A. Mustofa Bisri

Banyak orang Islam yang menyambut kedatangan bulan Ramadan. Ini menunjukkan bahwa di mata mereka bulan ini memang bulan istimewa. Mereka menyebutnya Bulan Suci. Meski demikian, tidak semua orang yang menyambutnya dengan ‘gairah’ itu mempunyai pandangan yang sama terhadapnya.


Minimal saya sendiri memandang bulan suci Ramadan lebih sebagai salah satu anugerah Allah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya hamba-hamba Allah yang ‘sibuk’ di akhir zaman ini seandainya tidak dianugerahi Ramadan. Satu bulan istimewa di antara 12 bulan yang nyaris didominasi kerutinan yang monoton dalam kehidupan kita.

Bila kita mau jujur kepada diri sendiri, maka sebenaranya dalam 11 bulan yang lain, kita hampir tidak mempunyai waktu untuk berakrab-akrab dengan diri kita sendiri dan Tuhan kita. Dalam 11 bulan umur kita itu, apa saja kita lakukan kecuali bersendiri dengan agak khusus bersama diri sendiri dan Tuhan. Kesibukan kita yang begitu dahsyat --yang menurut anggapan kebanyakan kita-- bagi kepentingan pribadi kita, jarang kita konfirmasikan dengan diri kita sendiri apakah memang demikian.

Alhamdulillah, dengan kemurahanNya, Allah menganugerahkan satu bulan khusus yang lain dari pada yang lain. Satu bulan yang kondusif bagi berakrab-akrab dengan diri kita sendiri dan melakukan pendekatan yang lebih intens kepadaNya. Kita dapat melakukan evaluasi atas apa yang kita lakukan –secara pribadi maupun sosial-- dalam 11 bulan yang lain dengan lebih cermat.

Sebagai umat beragama, kita misalnya, bisa mempertanyakan kepada diri kita sendiri apakah sikap keberagamaan kita selama ini memang sudah sesuai dengan yang seharusnya, seperti yang diajar-contohkan Nabi Muhammad SAW, sang pembawa agama itu sendiri? Apakah semangat keberagamaan kita sudah mukhlis, murni dilandasi keinginan mendapatkan rida Allah atau masih tercampur nafsu, atau bahkan justru hanya murni didorong nafsu? Kalau murni ingin mendapat rida Allah, apakah ini juga didukung pemahaman yang utuh terhadap apa saja yang membuat Allah rida? Bagi yang merasa meneruskan risalah Rasulullah SAW, apakah sudah benar-benar memahami risalah itu sendiri? Bila sudah, apakah juga dalam melakukan hal itu juga menggunakan metodenya sehingga benar-benar dapat merahmati alam semesta?

Dalam bulan istimewa ini, kita pun dapat merenungkan konsep dan pemahaman kita sendiri tentang banyak hal yang selama ini sudah kita percaya dan ikuti. Misalnya –dan khususnya-- konsep dan pemahaman kita tentang Allah SWT; tentang Rasulullah SAW; tentang manusia; tentang ibadah; dan hal-hal lain yang sangat menentukan perjalanan dan peruntungan hidup kita di dunia ini dan terutama dalam kehidupan abadi di akherat.

Untuk mendapatkan rida Allah –atau dalam bahasa sehari-hari: untuk menyenangkan Allah—tentu kita harus memahami dan mengenalNya. Paling tidak mengetahui apa yang membuatNya rida dan yang tidak. Untuk mengetahui ini, jalan kita hanya satu; yaitu dari utusanNya, Rasulullah SAW. Baik yang berupa firmanNya di Quran maupun sabdanya. Marilah kita ambil contoh yang kecil; dalam firmanNya di Al-Quran, Allah antara lain menyatakan bahwa Ia sangat dekat dengan kita. Aqrabu min hablil wariid, lebih dekat katimbang urat leher kita sendiri. Sementara RasulNya SAW mengajarkan kepada kita agar kita tidak berteriak kepadaNya, karena kita tidak berhadapan dengan orang tuli tapi dengan Yang Mahamendengar. Namun apa yang kita lakukan selama ini untuk –katanya—mendapat rida Allah? Kita bukan hanya berteriak, tapi malah menggunakan pengeras suara saat memanggil-manggilNya.

Allah berfirman RasulNya: “Qul in kuntum tuhibbuunaLlaha fattabi’uunii yuhbibkumuLlah…” Katakanlah, “Jika kalian benar mencintai Allah, ikutilah aku; maka Allah akan mencintai kalian. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah itu Maha Indah dan menyenangi keindahan; Maha Baik dan menyukai kebaikan; Maha Lembut menyukai kelembutan. Dan Rasulullah SAW pun mencontohkan keindahan, kebaikan, dan kelembutan. Bahkan menurut isteri tercinta beliau sendiri, perilaku Rasulullah adalah Quran itu sendiri. Lalu bagaimana dengan kita selama ini?

Dalam firmanNya, Allah menjelaskan bahwa kita –manusia—diciptakanNya dari laki-laki dan perumpuan dan menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa untuk saling mengenal, saling menghormati. Ditegaskan pula bahwa yang paling baik di antara kita adalah yang paling takwa. Sementara menurut RasulNya SAW, takwa ada di dalam dada.

Nah; marilah kita gunakan bulan suci yang istimewa ini untuk –di samping berpuasa dan beribadah-- melakukan dialog dengan diri kita sendiri. Menggeledah diri sendiri bagi peningkatan kualitasnya di bulan-bulan lainnya mendatang. Dalam ukuran pendek, 24 jam itulah umur kita dan dalam ukuran yang lebih panjang ya 12 bulan itulah. Sangat pendek.

“Wal ‘ashri innal insaana lafii khusrin illalladziina aamanuu wa’amilusshaalihaati watawaashau bilhaqqi watawaashau bishshabri.” Demi waktu asar (alangkah pendeknya asar!), sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali mereka yang beriman, beramal shalih, serta saling mewasiatkan kebenaran dan mewasiatkan kesabaran.

Selamat Berpuasa Ramadan!



KOMENTARAzam Muhammad (Azam) menulis:
Rindu Ramadan
Rindu bertabur Cahaya
satu bulan penuh
Andai Satu Tahun

RIndu Ramadan
Rindu akan Allah
Rindu akan Rasul
Rindu bertemu
Satu bulan penuh
Andai satu Tahun
Andai
Malang, 27 September 2005ahmad musthofa haroen (ofa) menulis:
salam takzim.
saya merasa berdosa (tanpa maksud mencampuri urusan Tuhan) kalau saya tak memeberi komentar atas artikel yang sudah ditulis panjenenganipun Gus Mus--yang tentu saja ditulis dengan penuh kesulitan karena didasari dengan kesungguhan dan ketulusan.

ramadlan sendiri bagi saya tak lebih dari penunaian perkara wajib semata. jujur, saya belum merasakan esensi ramadhan seperti yang Gus Mus tulis. hanya saja saya punya anggapan bahwa setiap agama harus punya "bahasa" dan "cara ungkap" sendiri yang bersifat khos. saya tak tahu apakah puasa saya hanya lapar/ju' dan dahaga/'atsh belaka. itu belum begitu penting. saya ingin mengurai kenapa ramadhan harus "diungkapkan" dengan ritus semacam itu.

sungguh benar apa yang Gus Mus katakan dalam artikel tersebut. hanya saja saya yakin seyakin-yakinnya baha puasa memiliki pengertian yang berpendar tergantung si Shaaim-nya. jelas, puasa ramadhan bagi industri hiburan di tv akan berbeda dengan puasanya kiai-kiai yang ada di desa-desa itu. begitu seterusnya.

wassalamari setia budi (ari) menulis:
Assalamualaikum wr.wb
Romadhon memang merupakan bulan yang tanpa kita sadari selain bulan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. merupakan bulan yang menjadikan kita akan lebih akrab dengan keluarga dan kondisi sekitar, karena kebaikan yang akan selalu kita sebarkan.
membaca tuisan Gus Mus sangat bodoh bagi mereka yang setelah membaca tidak memahami kebesaran dan kenikmatan bulan yang penuh segalahnya in

Tawassuth dan Tatharruf
15 September 2005 20:34:11


Oleh: A. Mustofa Bisri

Sudah selayaknya umat Islam menjadi ummatan wasatha, umat tengah-tengah, sebagaimana diisyaratkan kitab suci mereka Al-Quran Q. 2: 143). Rasul mereka, Nabi Muhammad saw tidak hanya mengajarkan tapi juga senantiasa mencotohkan sikap dan perilaku tengah-tengah. Tawassuth wal I’tidal.


Sikap Tawassuth wal I’tidal, tengah-tengah dan jejeg akan mempermudah kita untuk berlaku adil dan istiqamah, dua hal sangat mulia sekaligus sulit yang sering diseru-tegaskan Al-Quran. Untuk menjadi orang yang adil dan istiqamah akan lebih sulit lagi –kalau tidak mustahil-- bagi mereka yang tidak membiasakan sikap dan perilaku tawassuth wal i’tidal.

Kebalikan dari tawassuth wal i’tidal ialah tatharruf, ekstrim, berlebih-lebihan. Dari segi pengerahan energi, tatharruf kiranya jauh lebih banyak memerlukan energi dibanding tawassuth; seperti halnya meninggalkan maksiat tentu lebih tidak ribet mengerahkan energi katimbang melakukan maksiat. Hidup sederhana alias tawassuth jauh lebih sederhana katimbang hidup mewah, berlebih-lebihan.

Tapi entah mengapa manusia justru lebih suka yang ribet dan sulit yang memerlukan banyak mengeluarkan energi dan beresiko, katimbang yang gampang dan aman. Yang halal, misalnya, begitu banyaknya dibanding yang haram, tapi orang cenderung mencari yang haram yang jelas beresiko.Jangan-jangan ini ‘perangai turunan’. Segala yang ada di sorga dihalalkan untuk Bapak Adam dan ibu Hawa dan hanya satu yang diharamkan, lho kok beliau-beliau tertarik kepada yang satu itu.

Manusia juga cenderung bersikap tatharruf dari pada tawassuth. Padahal tatharruf mempunyai resiko yang sering kali sangat berat dan parah. Makan-minum berlebihan, beresiko sakit; senang dan benci berlebihan, beresiko tidak bisa adil dan obyektif; menyenangi dunia berlebihan, beresiko melupakan akherat; mengagumi pendapat sendiri, beresiko ujub dan takabbur; bahkan ibadah yang berlebihan, beresiko bosan dan tidak bisa istiqamah.

Celakanya lagi, dunia sekarang ini sepertinya ‘dikuasai’ oleh dua ‘ideologi’ berlawanan yang sama-sama tatharruf, ibarat hitam dan putih. Yang satu diwakili oleh George W. Bush dan satunya lagi oleh Osama bin Laden. Masing-masing merasa paling benar dan menganggap yang lain mutlak salah. Karena masing-masing merasa paling benar, maka dalil mereka pun sama: Laisa waraa-al haqqi illal baathil, di balik yang benar hanya ada yang salah. Yang benar adalah kami dan yang salah adalah mereka. Dan yang salah harus dibasmi. Bush bilang, siapa yang tak ikut Amerika adalah teroris dan harus dihancurkan. Sementara Osama menganggap siapa yang tidak memusuhi Amerika adalah jahannam yang mesti dibom. Masing-masing pun memperlihatkan keganasannya kepada yang lain. Dan sikap tatharruf seperti ini, rupanya juga sudah menjalar di negeri kita. Resiko dari ini, Anda sendiri dapat ikut merasakannya.

Apakah itu merupakan bagian dari azab Allah kepada manusia akhir zaman ini? Soalnya seperti disebutkan dalam Al-Quran, ada model siksa yang berupa: “… yalbisakum syiyaa-an wayudziiqa ba’dhakum ba’sa ba’dh..”, “mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik yang berseberangan lalu mencicipkan keganasan sebagian kalian kepada sebagian yang lain..” (Q. 6: 65)

Waba’du; dalam dunia yang seperti ini, bukankah sangat relevan apabila kita kembali ke MataAir, kepada ajaran dan contoh agung kita Nabi Muhammad SAW bagi mengembangkan sikap dan perilaku tawassuth wal I’tidaal sebagai ummatan wasathaa dalam upaya rahmatan lil’aalamiin?

Wallahu a’lam.

RUMPUT » Dunia Santri


Maulid Nabi
26 Maret 2007 23:32:25


Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.


Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi --orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub --katakanlah dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.

Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Dia lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

***

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang "pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul Adha).

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba' (kitab sejenis Barzanji). Bisa juga ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah hasanah dari para muballigh kondang.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syqfa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

(A Khoirul Anam/www.nu.or.id)





KOMENTARyanto (yanto) menulis:
tapi kok makna sekarang semakin tereduksi ya.. orang belum belajar secara menyeluruh kenapa tuh pada muludan padahal tempo doeloe sebagai pembakar semangat sekarang malah mengalami dekadensi alias penurunan hanya sekedar ritus tanpa makna. coba sekarang lihat mereka melakukan diba'an hanya sekedar ikut-ikutan makna didalam bacaannya jarang dikaji apa maneh dipahami lan dihayati untuk diamalkan sebegai bentuk spirit memperkuat barisan umat Islam yang tertindas dan termarginalkan. untuk sekarang perlu adanya perubahan mendasar terhadap pola pikir hanya sekedar membiasakan kegiatan tapi belum mengkobarkan semangat nubuwwah dalam kehidupan.wijiwilopo (wiji) menulis:
waduh...jadi ingat rumah guss
belum belikan anak ku mainan...
take me homeMuhamad Zainul Alfat (Inu) menulis:
Assalamualaikum wr. wb
Allahuma sholli ala sayyidina Muhammad
Dengan maulid kita tingkatkan cinta kepada Rasulullah SAW,semakin mengenalnya dan semakin bisa meneladaninya
Wassalamualaikum wr. Wb.Muhamad Zainul Alfat (Inu) menulis:
Assalamualaikum wr. wb
Allahuma sholli ala sayyidina Muhammad
Dengan maulid kita tingkatkan cinta kepada Rasulullah SAW,semakin mengenalnya dan semakin bisa meneladaninya
Wassalamualaikum wr. Wb.wahyudi (wahyudi) menulis:
Sholawahu ala muhammad...
sholawahu alaihi wa salim...

Rindu kami padamu ya rosul...
rindu tiada terkira...
beradab jauh...darimu ya rasul
seakan dikau disini..

cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suwarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja...
(bimbo)

Pada suatu hari, ada seorang arab badui yang mendatangi rasulluah saw. dia bertanya,"ya rasul kapankah kiamat tiba?"
Rasul saw menjawab,"Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menghadapinya?"
Arab badui,"Demi allah, shalat saya masih kurang, shodaqoh saya masih kurang, pendek kata amal ibadah saya masih kurang. Tapi, saya mencintai engkau ya rasulullah." Rasulullah saw menjawab,"Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai".Adi Septario (Rio) menulis:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad
Jika kita memaknai Maulid Nabi seperti pemahaman yang diulas diatas,InsyaAllah umat Islam saat ini mampu bangkit dari keterpurukan ( baik keterpurukan Akidah, Akhlaq serta keterpurukan dalam hal Duniawi ).Karena jika kita mau mempelajari dengan sungguh-sungguh kisah Rasullullah SAW, maka akan kita memperoleh banyak pelajaran hidup yang bermanfaat.Serta membawa kita menuju keselamatan dunia & akhirat.Amin amin amin ya Robbal Alamin.Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


Dakwah dan Amar Makruf
28 Agustus 2005 10:13:47


Oleh: A. Mustofa Bisri

Mungkin bangsa kita adalah bangsa yang –paling tidak termasuk-- paling suka bikin istilah dan sekaligus mengacaukan istilah-istilah. Ada istilah-istilah yang sudah lazim dikacaukan menjadi tidak lazim dan sebaliknya yang tak lazim dilazim-lazimkan. Dan tidak jarang orang mempergunakan istilah tanpa mengerti maknanya, hanya karena ikut-ikutan sesuatu yang sudah populer sebagai istilah. Latah mungkin memang sudah menjadi salah satu perangai bangsa ini.


Kadang-kadang lucu. Ada tiga orang berdebat mengenai politik; yang satu pengertiannya tentang politik adalah A, yang satu mengartikan politik sebagai B, sementara bagi yang satunya lagi, politik ialah C. Maka perdebatan mereka pun ngalor-ngidul tidak karuan juntrungnya. Begitu juga halnya dengan istilah-istilah populer yang lain seperti agama, Islam, jihad, pemerintah, negara, nasionalis, Yahudi, zeonis, pruralisme, sekuler, liberal, syareat, ulama, teror, dakwah, amar makruf nahi munkar, dsb.

Boleh jadi hal itu --untuk yang suka bikin istilah-- terjadi karena kebiasaan suka pamer dan bergaya. Sedangkan bagi yang latah, mungkin karena kemalasan orang untuk melakukan tahqieq, menengok definisi, atau sekedar merunut maknanya. (Menganggap hal itu tidak penting; karena sejatinya yang penting hanyalah: kehendak dan pendapatnya sendiri). Dan hal seperti itu terus berlangsung, meskipun orang sudah melihat sendiri akibat buruk dari kerancuan istilah tersebut.

Kita ambil contoh dua istilah (saja) yang sudah populer digunakan: dakwah dan amar makruf (wan nahi ‘anil munkar). Kedua istilah ini sama-sama populer dan hampir setiap orang Islam –bahkan juga yang tidak—pernah mengucapkan atau mendengarkannya. Namun umumnya ya hanya mengucapkan dan mendengarkan. Seperti halnya ketika mengucapkan atau mendengarkan istilah politik, misalnya, orang tidak merasa perlu lagi melakukan tahqieq tentang pengertian dakwah dan amar makruf itu. Seolah-olah hal itu sudah ma’lumun fiddiini bidh-dharuurah, sesuatu yang sudah sangat dimengerti maknanya oleh semua orang. Padahal melihat sikap-sikap mereka yang mempergunakan –dan dalam kaitan-- istilah-istilah itu, menunjukkan kepada kita bahwa mereka mempunyai pengertian yang lain-lain.

Bila anda sudi meluangkan waktu, marilah kita coba melakukan tahqieq terhadap kedua istilah itu. Dakwah dan amar makruf itu.

Dakwah, seperti halnya banyak lafal yang berasal dari bahasa Arab, ketika masuk dalam perbendaharaan bahasa kita, mengalami pergeseran-pergeseran makna yang pada gilirannya juga berpengaruh kepada perilaku. Dakwah biasanya diartikan seruan dan propaganda. Dalam bahasa aslinya semula, dakwah mempunyai makna mengajak, memanggil, mengundang, meminta, memohon…Pendek kata makna-makna yang mengandung nuansa ‘halus’ dan ‘santun’. Sebagai istilah, dakwah yang kemudian dianggap sudah jelas maknanya ini, wallahu a’lam bish-shawab, tentunya bermula dari firman Allah seperti dalam Q. 16:125. “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau’idzah hasanah (lafal-lafal yang ditulis miring, seperti diketahui, juga sudah menjadi istilah yang populer di kita) dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…”

Perhatikanlah; dalam ayat itu perintah ‘Ud’u, Ajaklah tidak disertai maf’ul bih atau objeknya seperti lazimnya fiil muta’addie. Para mufassir, biasanya ‘mengisi’ objeknya dengan an-naas, manusia (Jadi, “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu …dst”). Saya sendiri menganggap penambahan tafsir dengan objek berupa an-naas, manusia, itu kok tidak perlu. Sebab kata-kata “ke jalan Tuhanmu” sudah cukup menjelaskan siapa yang disuruh Allah ajak. Logikanya tentu –wallahu a’lam—yang diajak adalah mereka yang belum di “jalan Tuhan”. Karena mengajak orang yang belum di jalan Tuhan, maka –lagi-lagi wallahu a’lam—mesti dilakukan dengan hikmah dan mau’idzah hasanah. Kalau pun harus berbantah, mesti dengan cara yang lebih bagus dari lawan berbantah. Dan perintah ini dilaksanakan dengan sangat sempurna oleh Rasulullah saw. Dengan lembut dan penuh kasih, dengan bijaksana dan nasihat yang baik, Rasulullah mengajak mereka yang belum berada di jalan Allah. Bila perlu berbantahan, Rasulullah saw bersikap sangat santun. Hasilnya, dakwah beliau diterima dan orang-orang yang semula belum di jalan Allah pun berbondong-bondong menuju ke dan berjalan di jalanNya. Perintah ini juga dengan baik dilaksanakan oleh penerusnya; termasuk para wali, Wali Songo. (Bila penduduk negeri ini kemudian mayoritas berjalan di jalanNya, pastilah tidak terlepas dari dakwah mereka yang sesuai dengan arahan Quran itu). Bandingkanlah dengan dakwah masa kini yang nota bene hanya lebih kepada mereka yang sebenarnya sudah berada di jalan Allah.

Amar makruf, berbeda dengan dakwah, bukan sekedar ajakan, tapi perintah; sebagaimana nahi adalah larangan, bukan sekedar himbauan. Amar makruf nahi munkar, adalah ciri komunitas kaum beriman (Baca misalnya, Q. 3: 110; 9: 71; dlsb).

Sebagai ciri, ia sama sebanding dengan rahmatan lil ‘aalamien. Artinya –paling tidak menurut pemahaman saya—amar makruf nahi munkar itu tidak lain merupakan manivestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang. Mengasihi dan menyayangi maka mengamar-makruf-nahi-munkari. Muslim yang mukmin yang melakukan amar-makruf nahi-munkar, ibarat dokter yang mengobati pasiennya karena ingin menyembuhkan. Dokter yang baik akan berusaha mengenali pasiennya dan mencari cara penyembuhan yang paling meringankan pasiennya. Jika harus memberi obat, sedapat mungkin mencarikan obat yang sesuai dengan pasiennya. Bila si pasien tidak mau disuntik atau tidak harus disuntik, sang dokter akan memberikan obat. Ini pun bila obat itu pahit, dipilihkan yang terbungkus kapsul, agar si pasien tidak merasakan pahitnya. Kalau pun terpaksa harus melakukan operasi, dokter tidak begitu saja membedah pasiennya, namun bermusyawarah dulu dengan keluarga si pasien. Karena dokter mengobati pasien, sebagaimana mukmin yang mengamar-makruf-nahi-munkari saudaranya, didasarkan kepada kasih sayang kemanusiaan. Bukan berdasarkan kebencian.

Mereka yang ber-amar-makruf-nahi(‘anil)munkar oleh dan dengan penuh kebencian, sebagaimana mereka yang berdakwah secara kasar dan provokatif, kiranya perlu meneliti diri mereka lagi. Apakah mereka melakukan itu atas dorongan ghirah keagamaan ataukah atas dorongan nafsu dan kepentingan lain. Atau mereka perlu lebih memperdalam pemahaman terhadap agama mereka, ajaran-ajaran, dan istilah-istilahnya. Jika tidak, disangkanya mendapatkan ridha Allah, alih-alih malah mendapatkan murkaNya. Nau’udzu billah.


KOMENTARSUEB RAHAB (SUEB) menulis:
Mata air ini telah membuka cakrawala pandang baru tentang banyak hal.Ternyata untuk menyikapi sesuatu harus tahu betul masalahnya.Tidak ngawur,ikut2an dan angger jeplakAntony Susan (Antony) menulis:
Kita bisa menjadi BIJAK, bilamana kita bisa & mau memahami (memandang) sesuatu dari 2 sisi yang berbeda.Firdaus MS (Idoes) menulis:
dulu kita dijajah (harta dan Pikiran). kini kita merdeka.
pikiran memang merdeka (walaupun terkadang ilmunya bervitamin rendah), hanya saja harta tetap dirampok. wajar jika banyak berpikir dan berucap tapi tak mampu berbuat. karena biaya operasionalnya tidak ada, karena buat bayar hutang dan hilang dirampok.Achmad Fathoni (Toni) menulis:
"Mungkin bangsa kita adalah bangsa yang –paling tidak termasuk-- paling suka bikin istilah dan sekaligus mengacaukan istilah-istilah. Ada istilah-istilah yang sudah lazim dikacaukan menjadi tidak lazim dan sebaliknya yang tak lazim dilazim-lazimkan. Dan tidak jarang orang mempergunakan istilah tanpa mengerti maknanya, hanya karena ikut-ikutan sesuatu yang sudah populer sebagai istilah. Latah mungkin memang sudah menjadi salah satu perangai bangsa ini"

mungkin juga benar apa yang di tulis dalam satu paragraf diatas. bahwa dinamika zaman akhir, banyak terjadi perubahan-perubahan makna bahasa, yang punya efek samping (-) terhadap perubahan-perubahan pada prilaku akhlaq manusia "bodoh". mungkin bangsa kita terlalu malas untuk sekedar berpikir terhadap gencar masuknya istilah-istilah baru yang semuanya dianggap "benar". prof, intelektual, guru, dosen, mahasiswa, sopir, kernet, tukang : kayu, becak.
"maka hati-hatilah, sebelum hati itu berubah

Oleh: Idul Fitri "atawa" LebaranA. Mustofa Bisri

Hari Idul Fitri di Indonesia mungkin berbeda dengan Idul Fitri di negeri-negeri lain. Di Indonesia terasa lebih meriah bahkan dari hari raya Kurban yang sering disebut juga hari raya Akbar.


Di Indonesia, Idul Fitri juga sering disebut Lebaran. Perayaannya tak cukup hanya sehari. Di beberapa daerah orang merayakannya hingga sepekan. Bahkan, bila kita hitung acara-acara halalbihalalnya, bisa sebulan penuh.

Eloknya lagi, hari Idul Fitri di Indonesia tidak hanya dirayakan oleh kaum Muslim, tetapi melibatkan hampir seluruh masyarakat.

Indonesia dan Mesir

Sebagai perbandingan, Idul Fitri di Mesir. Pemandangan di sana hanya orang ramai melakukan shalat id, lalu rombongan keluarga-keluarga berpiknik mengunjungi taman-taman atau kebun binatang untuk makan bersama.

Di Indonesia, setelah melakukan shalat id, masyarakat melakukan silaturahmi, saling mengunjungi, dan bermaaf-maafan. Untuk yang terakhir ini, bahkan dilakukan oleh mereka yang sengaja datang dari tempat-tempat yang jauh, terutama perantau yang sekalian mudik meninjau keluarga. Kebiasaan silaturahmi ini tidak hanya dilakukan antarkeluarga, tidak hanya antarkaum Muslim, tetapi juga antar-RT, RW, instansi, dan lainnya.

Tampaknya, di hari raya ini, dada orang-orang terasa lebih lapang. Orang yang paling keras sekalipun, dalam suasana Lebaran, tiba-tiba mudah meminta maaf dan memaafkan. Hal ini boleh jadi karena bagi kaum Muslim khususnya, ada rasa plong, terlepas dari dosa-dosa hasil ketulusan mereka berpuasa selama satu bulan.

Memang ada hadis Nabi SAW yang menyatakan, "barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan hanya mengharap ganjaran Allah, orang itu akan diampuni dosanya yang dilakukan sebelumnya".

Namun, kesalahan yang dilakukan manusia bisa kepada Tuhan, bisa juga kepada sesama hamba, dan ini rupanya amat disadari para pendahulu kita yang mula-mula mentradisikan silaturahmi Lebaran. Dengan asumsi dosa-dosa kita yang langsung kepada Allah telah diampuni oleh-Nya, bukan berarti semua dosa telah tuntas diampuni.

Ada dosa-dosa lain yang—paling tidak menurut saya—lebih gawat dan sulit, yaitu dosa-dosa kepada sesama. Jika dicermati, sebenarnya pergaulan dengan Allah jauh lebih enak ketimbang dengan manusia. Allah Maha Pengampun. Dosa kita kepada-Nya, sebesar apa pun jika disesali dan kita mohonkan ampun, akan diampuni-Nya. Lembaga pengampunan-Nya banyak sekali. Beristigfar; menghapus dosa; bersembahyang menghapus dosa; berpuasa menghapus dosa; berbuat baik menghapus dosa; dan banyak lagi.

Berbeda dengan manusia. Salah sedikit marah, bahkan sering kekhilafan yang tidak disengaja pun sulit dimaafkan. Untuk meminta maaf atau memaafkan, orang memerlukan timing tertentu seperti Lebaran ini.

Anehnya, terhadap Allah Yang Begitu Baik, kita justru begitu berhati-hati, bahkan sering berlebihan hingga menimbulkan waswas atau menimbulkan masalah di antara kita. Sementara terhadap sesama manusia yang sulit, kita sering sembrono dan seenaknya. Padahal, banyak dalil naqli yang menyebutkan gawatnya dosa antarsesama.

Menghormati sesama

Imam Muslim (817-865 M), misalnya, meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah (w 676 M), sebuah hadis perlu direnung-perhatikan. Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, "Atadruuna manil muflis?" "Tahukah kalian siapa itu orang yang bangkrut?"

Para sahabat menjawab, "Pada kita, yang namanya orang bangkrut adalah orang yang tak punya lagi uang dan barang."

Rupanya bukan itu yang dimaksud Rasulullah SAW. Beliau bersabda, "Innal-muflisu min ummatii man ya’tii yaumal qiyaamah bishalaatin…." "Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang di hari kiamat membawa shalat, puasa, dan zakat, sementara sebelumnya dia telah mencaci ini, menuduh itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu, memukul ini. Maka kepada si ini diberikan dari ganjaran kebaikan-kebaikan orang itu dan kepada si itu diberikan dari ganjaran kebaikan-kebaikannya. Apabila habis ganjaran kebaikan-kebaikan orang itu sebelum semua tanggungannya terlunasi, maka akan diambil dosa-dosa mereka yang pernah disalahinya dan ditimpakan kepadanya, kemudian orang itu pun dilemparkan ke neraka." Nauzubillah.

Hadis ini dengan jelas mengingatkan, kita tidak boleh hanya mengandalkan amal ibadah ritual, sementara secara sosial kita tidak berlaku hati-hati terhadap sesama. Tidak sedikit di antara kita orang tertipu, tanpa sadar, karena telah bersembahyang, berpuasa, berzakat, dan berhaji, merasa diri sudah dekat dengan Allah, bahkan ada yang keterlaluan merasa diri wakil-Nya, lalu seenaknya memperlakukan sesama hamba Allah. Dengan mudah mencaci maki, memukul, menuduh, melukai, merampas hak, dan berlaku sewenang-wenang terhadap sesama.

Banyak yang lupa, penilaian terakhir orang pantas disebut hamba saleh yang mendapat rida Allah dan memperoleh surga, semata-mata ada di tangan Allah.

Menurut firman-Nya dalam Al Quran, manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal dan menghormati. Yang paling mulia di antara mereka di sisi-Nya ialah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Dan siapa yang paling takwa, hanya Allah yang mengetahui. Bukan kita.

Nah, tradisi Lebaran yang khas di negeri kita ini sudah sepatutnya dicerdasi sebagai sesuatu yang memiliki nilai lebih. Lebaran untuk melebur dosa kita terhadap Allah sekaligus terhadap sesama. Dengan demikian, bisa diharapkan diri-diri kita menjadi kembali bersih dari segala dosa. Kembali ke fitrah, untuk kemudian berusaha menjaga kebersihannya dengan menjaga pergaulan dan hubungan baik kita, baik dengan Sang Pencipta maupun dengan sesama hamba-Nya.

Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin


Oleh: A. Mustofa Bisri

Sudah merupakan tradisi, setiap lebaran, orang-orang –terutama kaum muslimin—berusaha untuk saling mengunjungi, melakukan silaturahmi (atau silaturrahim). Saling meminta maaf dan saling halal-menghalalkan. Bahkan dari tempat-tempat jauh orang datang untuk keperluan ini. Tradisi mudik yang begitu luar biasa itu, tak pelak juga didorong oleh keperluan ini.



Bayangkan, berapa juta kira-kira jumlah mereka yang mudik itu? 15-20 juta? Berarti kira-kira setara dengan penduduk Saudi Arabia, Malaysia, atau Autralia. Betapa kuatnya motivasi yang mampu menggerakkan ‘perpindahan penduduk’ besar-besaran untuk itu dengan segala pengorbanan berupa materiel maupun morel. Wahai, bisakah kita menciptakan motivasi yang begitu ampuh untuk hal-hal besar yang kita perlukan dan cita-citakan?!

Secara pribadi, sudah seperti tradisi juga, setiap lebaran, banyak orang datang ke rumah. Tidak seperti hari-hari biasa dimana lazimnya orang datang ke rumah dengan tujuan tidak hanya bersilaturahmi, di hari-hari lebaran ini, mereka yang datang umumnya mligi, semata-mata bersilaturrahim. Alhamdulillah.
    
Sebagaimana lebaran pada tahun-tahun sebelumnya, mereka yang datang memberkahi rumah saya terdiri dari berbagai lapisan, golongan, etnis, ras, dan agama. Kawan-kawan dari berbagai organisasi, politisi dari berbagai partai dan kubu, hingga saudara-saudara saya kaum awam, baik yang Ied-nya Senin atau Selasa; bergiliran datang dengan keakraban yang wajib saya syukuri. ‘Suasana Indonesia’ benar-benar terasa sekali.
    
Mereka yang berbeda agama, berbeda organisasi, berbeda partai, berbeda kubu, berbeda, sampai yang berbeda hari raya, bertemu dalam majlis lebaran yang penuh rahmat-persaudaraan. Luar biasa. Kadang-kadang sama-sama Islam atau sama-sama NU, berbeda hari-raya-nya; tapi tampak sekali bahwa Tuhan mereka hanya satu: Allah.

“Sampeyan lebaran Senin atau Selasa?”

“Saya ikut pemerintah. Selasa.”

“Saya juga Selasa, ikut pengurus besar saya.”

“Saya ikut pimpinan saya, Senin.”

“Saya juga Senin ikut pengurus wilayah saya.”

“Saya hari raya Senin, tapi ikut salat ‘Ied Selasa.”

“Di tempat saya malah aneh. Ada yang hari raya Selasa tapi mengimami salat ‘Ied Senin.”

    
Kemudian terjadi dialog dan diskusi tentang topik lebaran itu dengan santai penuh keakraban. Tak satu pun di antara mereka yang berbicara dengan nada menyalahkan yang lain. Sesuatu yang jarang terjadi pada forum lain, dengan topik lain, di waktu lain, dan situasi lain. Alangkah asyiknya bila berbagai masalah dan perbedaan di negeri kita ini disikapi demikian.
    
Kalau dipikir-pikir, masalah Ied atau hari raya ini, lebih kental kaitannya dengan ubudiyah, dengan akherat. Bagi sebagian atau kebanyakan orang, yang seperti ini justru dianggap lebih prinsip. Tetapi mengapa mereka bisa sedemikian toleran terhadap perbedaan? Apa rahasianya?
    
Boleh jadi suasana lebaran dimana kaum muslimin baru saja digembleng, terutama dalam pelatihan menahan diri sebulan penuh, masih disarati oleh kuatnya pengaruh gemblengan Ramadan itu. Apalagi sesuai husnuzhzhan kita, kaum muslimin yang dengan tekun melaksanakan ibadah puasa dan qiyaamullail –lillahi ta’alaa-- di bulan suci tempo hari, telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Dengan tiadanya dosa, otomatis dada menjadi lebih lapang. Orang-orang lebih mudah meminta maaf atau pun memberi maaf. Lebih toleran.
    
Ada satu hal lain yang penting dicermati; yaitu: keakraban dan toleransi tersebut justru menampakkan diri dalam suasana yang mendukung. Suasana silaturrahmi.
    
Apabila pengamatan ini benar, barangkali kita bisa menular-ratakan kondisi dan suasana keakraban dan toleransi itu ke wilayah yang lebih luas; dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan cara mengawetkan apa-apa yang kita yakini dapat mewujudkan kondisi dan suasana tersebut.
    
Hal-hal penting yang perlu kita awet-lestarikan, sesuai pengamatan kita di atas, antara lain: 1. Meneruskan latihan menahan diri. 2. Meneruskan ibadah lillahi ta’alaa. 3. Meneruskan kebiasaan silaturrahim di antara kita. Apabila minimal tiga hal ini bisa kita lestarikan pada bulan-bulan Syawal dan seterusnya, insya Allah suasana kondusif seperti disinggung di atas yang selama ini memang kita harapkan, mudah terwujud.
    
Ini ngoyoworo apa tidak ya?


Zakat FitrahOleh: A. Mustofa Bisri

Alangkah Mahamurahnya Allah terhadap hamba-hamba Nya. Ia tidak memberikan kita  -hamba hamba Nya- menjadi bulan-bulanan nafsu dan setan yang dapat menjerumuskan kita kej urang kesengsaraan abadi.


Ia menunjukan kepada kita jalan yang lurus menuju kebahagiaan sejati. Ia bahkan menyediakan waktu khusus untuk kita melihatkan diri dan mengokohkan batin dalam rangka menghadapi musuh-musuh dalam diri yang ingin menjauhkan kita dari-Nya.

Allah tidak hanya memberikan kesempatan kepada kita untuk berpuasa melatih ketahanan jiwa kita, namun dengan itu pula Ia menjanjikan ampunan, rahmat dan kebebasan dari azab-Nya. Tentunya, kepada mereka yang berhasil melalui latihan ini dengan baik. Lebih dari itu, untuk lebih menjamin keyakinan keberhasilan perjuangan kita di bulan puasa ini, Allah memberi kesempatan kepada kita-yang memang mempunyai watak tidak sempurna ini, untuk nambeli kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan puasa kita. Barang kali sesekali, sementara mulut kita berpuasa tidak makan tidak minum, kita khilaf tidak memuasakannya pula dari memakan daging saudara-saudara kita yang tak pantas misalnya.

Kita diberi kesempatan mengeluarkan sebagian bahan makanan kita untuk saudara-saudara kita yang berhak lewat zakat fitrah. Disamping makna solidaritas yang terkandung dalam zakat fitrah itu, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, zakat fitrah juga berfungsi untuk membersihkan orang berpuasa dari keterlanjurannya beromong kosong dan berkata buruk saat berpuasa. Bahkan menurut hadis riwayat Abu Hafsin bin Syaahin, puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, dan hanya zakat fitrah yang bisa menaikkannya ke atas.

Marilah kita menunaikan zakat fitrah untuk menyempurnakan ibadat kita. Semoga Allah mengampuni kita, merah mati kita, dan membebaskan kita dari api neraka.


KOMENTARlatifabdul (latif) menulis:
Bismilahirrahmanirrahiim
Asalamu'alaikum wrwb
Saya bertanya kepada Bpk Mustofa Bisri..bisakah kita digolongan Syrik,kalau kita mengambil rujukan,aqidah kita beragama kepada perawi2 diatas tadi yang bpk sebutkan? Apakah bisa bpk percaya bahwa itu ucapan Rasulullah saw?

Kenapa bpk bigitu mudah percaya atau beriman kepada orang2 tersebut sedangkan Bpk tidak pernah kenal?

Bagi saya agak susah mempercayai orang2 Arab yang belum saya kenal baik.
Apalagi kalau ALLAH memberitahukan sebagai berikut ini;

.Yaa Tuhan ku sesungguhnya kaumku menjadikan Al quran ini suatu yang tidak diacuhkan" (Qs.25;30) (mereka sudah menjadikan buku2 Hadits ciptaan manusia sebagai rujukannya.)
23Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kamilah benar benar memeliharanya (QS.15;9)
4.Maka kepada perkataan apakah selain Al Quran ini mereka akan beriman?QS.77;50.
Apakah kepada perawi2, ahli2 hadits, guru2…….?
5.Maka apakah mereka tidak mem perhatikan Al Quran ? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(QS.4;82).
6. [QS.2/42] Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.

Al Quran adalah suci, sedangkan hadist2 adalah tidak suci, oleh karena itu janganlah dicampur adukan al quran dgn hadist2 sebagai Aqidah kita.

Bagaimana menurut Bpk pemebritahuan2 ALLAH ini? mohon pendapat Bpk ,saya hargai sekali.

Saya hanya beriman kepada hadits2 yang hanya menjelaskan wahyu2 ALLAH yang kurang jelas dan wahyu2 ALLAH yang turun kepada nabi2 sebelumnya.
Seperti bersunat,tidak ada di Al Quran tapi ada di taurat dan hadits.Ini contohnya.
Jadi saya bukan anti sunnah.

Semoga bermanfaat.
(latifabdul777@yahoo.com)
wassalamu'alaikum wrwb
hendragst (hendra) menulis:
assalamu alaikum

saudaraku Latif (insyaallah masih sedulur dalam Islam karena anda masih mengaku bukan inkar hadits/anti sunnah)

ada 2 yang agak nyeleneh dengan pendapat anda di atas:
1) menafsirkan Al Quran dengan maknya yg jelas-jelas gak terkait dengan konteksnya. Ini menurut saya yang awam Quran aja loh. Apalagi kalo kita bandingin dengan tafsir2 yg muktabar
2) sikap milah milih hadits yang gak konsekuen itu apa toh dasarnya, Mas?

seingatan saya sih, Al Quran juga bilang gini (pak kyai mohon dikoreksi kalo salah)
1) taati Allah, rasul, dan ulil amr
2) katakan (Ya Muhammad): apabila engkau mencintai Allah ikutilah aku
3) telah ada pada rasul suri tauladan
4) rasul tidak berkata semata dari hawa nafsu
5) rendahkanlah suaramu didekat Rasul
6) dll. banyak lagi

secara logis, Al Quran dan Islam juga sampai ke kita lewat hadits toh. Menolak seluruh/sebagian hadit bukan karena kemaudhuannya punya konsekuensi: sebagai penyaluran ego pribadi, setiap muslim nanti2 bisa bikina shalat/puasa/ibadah/aturan halal haram ala maunya sendiri nanti tanpa landasan ilmu pengetahuan.

mohon maaf kalo ada kata yg tidak berkenan

wassalamhendragst (hendra) menulis:
Oh iya, soal orang-orang arab yg tidak dikenal baik itu sebenarnya ada solusinya: dalam ilmu rijalul hadits, biografi singkat para perawi itu ada dibahas koq bahkan sampai pada karakter pribadinya yg relevan untuk memutuskan apa dia bisa dipercaya atau tidak.a. mustofa bisri (gus mus) menulis:
Wassalamu'alaa manittaba'alhuda warahmatuLlahi wabarakatuH.

Saudara Abdul Latief; Anda belum menjawab pertanyaan singkat saya yang lalu: dari mana Anda tahu Quran?

Anda --sama dengan saya dan orang-orang sekarang-- jelas tidak hidup di zaman Rasululullah SAW. Jadi pastilah kita yang hidup sekarang ini tidak mungkin mendengar langsung dari Rasulullah apa-apa yang beliau sampaikan, baik berupa Quran mau pun hadis2.

Baik Quran maupun hadis-hadis kita peroleh dari guru-guru kita (yang kita percaya). Saya sendiri percaya kepada guru-guru saya yang menyampaikan sabda Rasulullah SAW dari guru-guru mereka yang mereka percayai. Guru-guru mereka ini dari guru-guru mereka yang dipercayai. Demikian seterusnya hingga ke tabi'iin dari guru-guru mereka para sahabat. Dan para sahabat dari Rasulullah SAW. Rasulullah dari malaikat Jibril. Malaikat Jibril dari Allah Rabbul 'izzah.

Ini antara lain yang membuat saya 'mudah percaya'. Terus terang saya akan lebih mudah percaya orang seperti Imam Bukhori yang begitu teliti (bahkan membuat syarat-syarat yang ketat untuk mempercayai orang yang mengaku mempunyai hadis), begitu mira'i, yang setiap menuliskan hadis Rasulullah SAW selalu bersembahyang, memohon ridha Allah; katimbang misalnya guru-guru atau buku-buku yang mungkin Anda percayai.

Maaf pikiran Anda agak rancu dari sejak masalah tasalsul, masalah apa yang disampaikan Rasulullah SAW, masalah ulama mu'tabar, bahkan masalah makna-makna Al-Quran itu sendiri.

Tapi satu hal yang paling mengkhawatirkan. Yaitu sikap hati Anda. Begitu Anda menyalahkan orang tanpa tabayyun dengan dialog atau diskusi, karena merasa Anda benar (sendiri), berarti Anda merasa LEBIH dari hamba Allah yang lain. Nau'udzu billah; mudah-mudahan ini bukan kibir.

Wassalam. wahyudi (wahyudi) menulis:
Pro : Saudara Abdul Latief

Walaupun sedikit, saya bisa membaca sifat dan karakter anda berdasarkan tulisan yang Saudara buat.

Menurut saya, sebaiknya dalam BELAJAR agama islam melalui GURU/KYAI dan BUKAN hanya melalui BUKU.

inilah kelemahan generasi muda sekarang, banyak bicara tentang ISLAM tetapi ternyata kosong tanpa isi, karena belajar tanpa GURU.

resiko terbesar, orang yang belajar ISLAM tanpa guru tetapi hanya lewat BUKU adalah menjadi benar yang salah KAPRAH. artinya hanya mau benar sendiri dan jadinya SEPERTI SAUDARA.

wassalam.teguh firsianto (teguh) menulis:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Mohon maaf sekali bila cucu ikut nulis walaupun belepotan. Hampir sebulan saya ndak login ke Gus Mus, Elhadhalah, ada pertanyaan yang "orisinil" dari sedulur kita, yang nampaknya Gus Mus bereaksi secara "reaktif", maksudnya, Gus menanggapi dengan sangat serius pertanyaan Kangmas Latif. Menurut saya (mohon ampun bila salah!!!), Kangmas Latif bertanya berdasarkan usikan hati nurani yang paling dalam. Beliau beralasan untuk curiga karena sekarang ini beliau hidup di alam manipulasi media global, dimana semua informasi yangditerima mungkin sudah dimanipulasi dan direkayasa, sehingga beliau mengambil prinsip seperti James Bond - Trust No One. Cucu pun sangat memaklumi bila Kangmas Hendra dan Kangmas Wahyudi juga bersikap reaktif prul atas tanggapan Kangmas Latif tersebut. Tapi yang perlu diingat bahwa Ilmunya Kangmas Hendra dan Kangmas Wahyudi kan sudah lebih tinggi daripada Kangmas Latif (Amiin), Gus Mus? Ya gak diitung kalo maen tinggi-tinggian ilmu, lha wong Gus itu guru kita kok! Alangkah lebih "nggayem" bila sejenak kita memposisikan diri kita pada kondisi Kangmas Latif yang mungkin tengah gamang atas pencarian identitas aqidah beliau. Insya Allah, kita bisa lebih memahami pertanyaan Kangmas Latif tadi, dan Kangmas Hendra serta Kangmas Wahyudi bisa membimbing Kangmas Latif agar ilmunya bisa sejajar (Kalau Kangmas Hendra dan Kangmas Wahyudi rela ilmunya dijejeri lho...).
Tapi teori Cucu tadi hanya dan hanya jika berlaku KALAU Kangmas Latif memang sedang masa orientasi aqidah. Jika pertanyaan Kangmas tadi bersifat "ngetes" atau provokasi, artinya teori saya ya bubar....
Jazakallahu khairan katsiira,
Wassalamua'alaikum, Wr. Wb