Ikhwan dan Demokrasi
Celaan terhadap Ikhwan pun datang dari arah lain, yaitu demokrasi. Aktivitas Ikhwan dalam kancah politik dianggap sebagai indikasi keberhasilan fatamorgana demokrasi menipu dan membuai mereka. Partisipasi mereka dalam pemungutan suara atau pemilu dan parlemen adalah bukti taqlid terhadap sistem Barat dan sekulerisme yang justru kontraproduktif dengan upaya memerangi hegemoni Barat dan sekulerisme. Pengkritik menilai, setidak-tidaknya mayoritas dari mereka berpikir bahwa demokrasi adalah sistem kafir dari Barat dan merupakan syirk akbar. Bahkan pemungutan suara syirk juga karena pemilu adalah subsistem demokrasi. Demikianlah alasannya.
a. Tentang Demokrasi
Anggapan demokrasi itu syirk didasari pemahaman yang belum utuh. Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami deviasi makna. Tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah negara belum tentu demokratis di negara lain.
Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt, bukan manusia; La Hukma Illa Lillah. Itu adalah perkataan yang benar, tetapi konteksnya tidak tepat. Tidak ada satupun aktivis Islam yang berbicara demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka pemahaman seperti itu. Setiap muslim, apalagi mufti harus bertindak hati-hati dalam memberikan penilaian. Terlalu mudah memvonis syirk atau haram sama bahayanya dengan terlalu mudah dalam membolehkannya.
Jika kita belum mengetahui betul masalah yang dihadapi, bertanyalah kepada ahlinya dalam hal ini, pakar atau pengamat politik. Jangan sampai fatwa yang keluar membuat gamang perjuangan yang sedang dilakukan atau dimanfaatkan musuh-musuh dakwah Islam untuk memarjinalkan politik umat Islam. Dalam hal ini, ada kaidah yang telah disepakati para ulama, Siapa yang menetapkan hukum sesuatu padahal dia tidak mengetahui secara pasti sesuatu tersebut, ketetapan hukumnya dianggap cacat walau secara kebetulan benar.
Harus diakui bahwa tidak ada kesamaan pandangan tentang makna demokrasi. Jadi, fatwa hukum yang diberikan pun tidak baku keharaman dan ke-syirk-annya. Kita pun dapat mengembalikan urusan itu kepada baraatul ashliyah (hukum awal)nya, yaitu mubah.
Ada pula yang memandang demokrasi berasal dari Barat yang kafir. Oleh karena itu, demokrasi (adalah) pola alien yang masuk ke dalam negeri-negeri muslim. Jika alasan itu dijadikan dasar pengharaman demokrasi, sesungguhnya hal itu tidak tepat. Memang benar demokrasi berasal dari sistem Barat. Namun, tidak ada yang mengingkari bahwa Rasulullah Saw pernah menggunakan cara orang Majusi (Persia) ketika Perang Ahzab, yaitu menggali khandaq (parit besar) atas usul sahabatnya dari Persia, Salman al Farisi. Nabi Saw pun memanfaatkan jasa tawanan Perang Badr untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum muslimin walaupun tawanan itu musyrik. Rasulullah Saw pernah pula membubuhkan stempel ketika mengirim surat dakwah kepada para penguasa sekitar Jazirah Arab sebagai bentuk pengakuan beliau terhadap kebiasaan yang mereka lakukan agar mereka mau menerima surat dakwahnya.
Jadi, tidak ada satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis nonmuslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, alQuran dan asSunnah.
b. Esensi Demokrasi
Esensi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah akademis, adalah wadah masyarakat untuk memilih seseorang mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Mereka pun berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Jika demikiran esensi demokrasinya, di mana letak pertentangannya dengan Islam? Mana dalil yang membenarkan anggapan itu?
Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti akan mendapati kesamaannya dengan prinsip Islam, Misalnya, Islam mengingkari seseorang yang mengimami orang banyak dalam sholat, sementara makmum membenci dan tidak menyukainya. Rasulullah Saw bersabda, Ada tiga orang yang sholatnya tidak dianggat melebihi kepalanya sejengkal pun, lalu beliau menyebut orang yang pertama Orang yang mengimami suatu kaum, sedangkan mereka tidak menyukainya.(HR Imam ibnu Majah. Al Bushairi berkata dalam az Zawaid, isnad-nya shahih dan perawinya tsiqah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya al Mawardi. Keduanya dari Ibnu Abbas).
Sebaik-baik pemimpin kamu kepala pemerintahan- adalah orang yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kebaikanmu dan kamu mendoakan kebaikan untuknya. Sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah yang kamu benci dan ia membenci kamu, kamu mengutuknya dan ia mengutuk kamu. (HR Imam Muslim dari Auf bin Malik).
AlQuran pun mengecam para penguasa tiran di muka bumi, seperti Firaun, Namrudz, penguas kaum Ad, dan alat-alat penguasa, seperti Hamman dan tentaranya, serta bapak kapitalis dunia, Qarun. Hadis pun mengecam penguasa yang tiranik. Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya di dalam neraka jahanam itu terdapat lembah dan di dalam lembah itu ada sumur bernama Hab-Hab yang Allah sediakan bagi penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran. (HR Imam Thabrani denga sanad hasan. Begitu pula Imam Hakim dan disahihkan adz Dzahabi).
Dari Muawiyah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesudahku nanti akan ada pemimpin-pemimpin yang mengucapkan (instruksi) sesuatu yang tidak dapat disangkal. Mereka akan berdesak-desakan masuk neraka seperti berkerubutannya kera (HR Imam Abu Yala dan Imam at Thabrani dalam Shaih al Jami ash Shaghir).
Selain itu, ada hadis dari Muawiyah secara marfu (sanadnya sampai ke Nabi Saw): Tidaklah suci suatu kaum yang tidak dapat meutuskan perkara dengan benar di kalangan mereka dan orang lemahnya tidak dapat mengambil haknya dari orang yang kuat, melainkan dengan susah payah (HR Imam at Thabrani dan para perawinya terpercaya menurut Imam al Mundziri dan Imam al Haitsami).
Masih banyak hadist-hadist serupa yang bertebaran dalam kitab-2 hadist. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa jiwa demokrasi adanya keseimbangan antara state (negara/pemerintah/penguasa) dengan people (rakyat), persamaan sesama manusia, dan kewajiban meluruskan penguasa yang menyimpang sudah lama ada di dalam Islam. Dalam pidato pertamanya sejak diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar ash Shiddiq Ra berkata, Wahai manusia! Kalian telah mengangkatku. Oleh karena itu, jika kalian melihat aku berada dalam kebenaran, bantulah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dalam memimpin kalian. Jika aku melanggar Allah, tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku.32)
Adapun saat menjadi khalifah, Umar bin Khattab Ra pun pernah berkata, Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan aibku kepadaku.
Beliau berkata pada kesempatan yang lain, Hali sekalian manusia! Siapa di antara kalian yang melihat kebengkokan pada diriku, hendaklah dia meluruskanku! Kemudain, ada salah seorang yang menjawab, Demi Allah, wahai putera alKhattab! Jika kami melihat kebengkokan pada diri anda, kami akan meluruskannya dengan pedang kami.
Pernah pula ada seorang wanita yang meluruskan kekeliruan Umar tentang mahar wanita, tetapi Umar tidak menganggapnya sebagai bentuk merendahkan harga dirinya. Beliau justru berkata, Benar wanita itu dan Umar yang salah (meski para ulama hadist masih mempersoalkan kesahihan riwayat dua cerita itu).
Kita dapat melihat betapa pemuka-pemuka umat itu telah mengajarkan cara hidup berdemokrasi yang hakiki. Begitu pula, kaum muslimin saat itu yang tidak punya rasa sungkan, apalagi takut untuk mengkritik penguasa yang menyimpang.
Islam telah mendahului paham demokrasi dengan menetapkan daidah-kaidah yang menjadi penopang esensi dan substansi demokrasi. Namun, Islam menyerahkan perincian dan penjabarannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai prinsip-prinsip ad Din dan maslahat dunia mereka, perkembangan kehidupan mereka, masa dan tempat, serta perkembangan situasi dan keadaan manusia.33)
Sebenarnya, penggunaan istilah-istilah asing seperti demokrasi untuk mengungkapkan makna-makna Islami bukanlah hal yang kita inginkan.34)
Namun, kita tidak mungkin menutup mata karena itulah istilah yang populer digunakan manusia. Justru kita harus mengerti maksudnya agar tidak salah paham atau mengartikannya dengan arti yang tidak sesuai dengan kandungannya atau tidak sesuai dengan maksud orang yang mengucapkannya. Dengan demikian, fatwa yang kita jatuhkan pun sehat dan seimbang.
Tidak masalah jika istilah-istilah itu datang dari luar kita karena kisaran fatwa bukan pada istilahnya, melainkan esensi dan substansinya. Judi tetaplah judi walau dinamakan SDSB. Khamr tetaplah khamr walau dinamakan jamu. Umar bin Khattab Ra pernah merelakan tidak menggunakan istilah jizyah kepada kaum Nashrani di bawah naungan kekuasaannya karena mereka merasa direndahkan dengan istilah itu. Umar menerimanya sambil berkomentar, Mereka adalah orang-orang bodoh. Mereka menolak nama (bungkus), tetapi menerima isinya.
Di dalam istilah Islam, ada ahli syura yang tergabung dalam ahlul halli wal aqdi sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kepada merekalah aspirasi umat disalurkan, lalu dimusyawarahkan untuk dijalankan penguasa.35) Imam Ibnu Katsir mengemukakan di dalam tafsirnya dengan mengutip riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Ali Ra bahwa ia pernah ditanya tentang maksud azam pada ayat, Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah ber-azam, bertawakkal-lah kepada Allah. (QS Ali Imran:159). Berkata Ali Ra, Azam adalah keputusan ahlur rayi, kemudian mereka mengikutinya.
Dengan demikian, Anda boleh mengatakan, Inti demokrasi berdekatan dengan ruh syura Islam. Demikian itu menurut Qaradhawy.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariq.
c. Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Demokrasi
Biasanya, setiap prinsip buatan manusia lemah. Jadi, sudah sewajarnya jika demokrasi memiliki cacat. Itulah yang membuatnya berbeda dengan syura Islam. Dalam hal persamaan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi, ada pandangan yang bagus dan seimbang dari salah seorang pemikir Islam, Dr. Dhiyauddin ar Rais.
Persamaan antara Islam dan Demokrasi36)
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya menyangkut pemikiran sisstem politik tentang hubungan antara umat dan penguasa serta tanggung jawab pemerintahan. Akhirnya, ar Rais sampai pada kesimpulan bahwa antara Islam dan demokrasi tidak hanya memiliki persamaan di bidang politik. Lebih dari itu, unsur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaannya pun sudah terkandung di dalam Islam.
Dalam menerangkan hal itu, dia mengatakan, Jika yang dimaksud dengan demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika maksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.
Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
Perbedaan antara Islam dan Demokrasi37)
Menurut Dhiyauddin ar Rais, ada tiga hal yang membedakan Islam dan demokrasi. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
Ketiga, kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tapnpa mendapat sanksi.
Menurut Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh-tokoh agamanya karena Islam tidak sama dengan teokrasi.38) Begitupun bukan di tangan UU karena Islam tidak sama dengan nomokrasi atau di tangan umat karena Islam bukan demokrasi dalam pengertian yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, syariat pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam.
Dr. Dhiyauddin ar Rasi menambahkan, jika harus memakai istilah demokrasi tanpa mengabaikan perbedaan substansialnya sistem itu dapat disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh (internasional), religius, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh pula disebut sebagai demokrasi Islam atau menurut al Maududy demokrasi teokrasi. Demokrasi seperti itulah yang dipahami aktivis Islam termasuk Ikhwanul Muslimun saat terjun di dalam kehidupan politik dan bernegara di negara demokrasi.
Ustadz Mamun al Hudhaibi39) hafizhahullah pernah ditanya pandangan Ikhwan tentang demokrasi dan kebebasan individu. Katanya, Jika demokrasi berarti rakyat memilih orang yang akan memimpin mereka, Ikhwan menerima demokrasi. Namun, jika demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum-hukum Allah Swt dan mengikuti kehendak mereka, Ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam sistem yang memungkinkan syariat Islam diberlakukan dan kemungkaran dihapuskan. Menolong, meskipun sedikit, masih lebih baik daripada tidak menolong. Mengenai kebebasan individu, Ikhwan menerima kebebasan individu dalam batas-batas yang dibolehkan Islam. Namun, kebebasan individu yang menjadikan muslimah memakai pakaian pendek, minim dan atau seperti pria adalah haram dan Ikhwan tidak akan toleran dengan hal itu.40)
---------------------------------------
[32] Ucapan Abu Bakar Ra itu merupakan bantahan yang telak kepada pihak yang tetap memrintahkan taat kepada penguasa yang zalim dan durhaka kepada Allah Swt selama bukan perintah maksiat. Meski begitu, tidak dibenarkan bagi rakyat untuk memberontak karena akan melahirkan kezaliman yang lebih besar.
[33] Ibid. hlm. 928.
[34] Syaikh as Shabuni berkata, Kaum muslimin dibolehkan menggunakan istilah yang kurang baik untuk makna yang baik seperti perkataan Rasulullah Saw, Kerahiban umatku adalah jihad fi sabilillah meskipun alQuran pada dasarnya mencela makna rahbaniyah. Allah Swt berfirman, Mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencari ridha Allah. (QS. Al Hadid: 27).
[35] Para ulama berbeda pendapat tentang keputusan ahli syura: wajib dijalankan penguasa atau sekedar anjuran; boleh menolak atau menerima. Hasal al Banna berpendapat sebagai anjuran saja, sedangkan al Qaradhawy berpendapat wajib dijalankan.
[36] Fahmi Huwaidi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, hlm. 196-198.
[37] Ibid. hlm. 198-200.
[38] Di masa lalu, kaum agamawan Nashrani yang menjadi penguasa sebuah negeri menganggap keputusan mereka adalah keputusan Tuhan. Perkataan dan perbuatan mereka adalah rekomendasi dari Tuhan sehingga rakyat tidak punya hak bertanya mengapa?, apalagi menolak karena semua datang dari Tuhan. Hal itu amat rentan dengan kesewenangan pemimpin dengan menjadikan Tuhan sebagai legitimasi. Namun, Islam tidak menghendaki demikian. Meski para Khulafaur Rasyidin adalah fuqaha, mereka tidak pernah menganggap dirinya wakil Tuhan di bumi. Keputusan selalu mereka ambil melalui syura (musyawarah).
[39] Beliau adalah putera dari mursyid am kedua Ikhwan, Prof. Hasan al Hudhaibi. Pertanyaan itu muncul ketika beliau masih menjabat juru bicara resmi Ikhwan.
[40] Ishlah edisi 67/th. IV/1996, hlm. 24, kol. 2-3.
Ikhwan, Parlemen, Pemilu dan Partai Politik
Telah ada fatwa tentang haramnya seorang muslim aktif di parlemen. Alasannya, Allah Swt melarang kaum muslimin duduk satu majelis dengan orang-orang kafir yang memperolok-olok ayat Allah Swt, Keberadaan seorang muslim yang memperjuangkan aspirasi umat Islam di parlemen adalah ajang bagi orang-orang kafir untuk memper-olok-olok ayat-ayat Allah Swt di depan mereka. Alasan lain, parlemen bukan terlahir dari Islam, melainkan wajihah kufur dari Barat.
Sesungguhnya di antara musibah yang menimpa kaum muslimin saat ini adalah ghirah Islam yang begitu tinggi, tetapi tidak diikuti landasan ilmu dan tashawwur (persepsi) yang benar terhadap ajaran Islam. Belum termasuk kelengahan sebagian ulamanya yang mudah menelorkan tarwa-fatwa instan yang justru kontraproduktif dengan perjuangan kaum muslimin. Itulah yang ditunggu-tunggu musuh-musuh Islam. Gerakan Islam yang mengatur strategi perjuangan dan pemanfaatan sarana terhenti dan jatuh lantaran fatwa-fatwa janggal yang mengharamkan parlemen, Pemilu dan partai politik. Anehnya mereka merasa telah berjasa untuk Islam dengan perbuatannya itu. Tanpa mereka sadari, musuh Islam bertepuk tangan dan berterima kasih kepada mereka karena telah menyelesaikan sebagian tugas musuh Islam dengan gemilang untuk mencegah para pejuang yang begitu payah memperjuangkan kejayaan agamanya.
a. Tentang Parlemen
Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan untuk mengharamkan parlemen sungguh tidak pada tempatnya. Kekhawatiran bahwa ayat-ayat Allah Swt akan diperolok-olok jika kita hadir di sana pun adalah alasan yang mengada-ada. Begitupun anggapan keikutsertaan di parlemen atau pemerintahan tidak Islami adalah bentuk pengakuan terhadap kesekuleran mereka. Namun, alasan itu pun tidak tepat karena Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya (HR Imam bukhari dan Imam Muslim. Hadist itu masyhur menurut kalangan Hanafiyah).
Ibnu Taimiyah berkata, Itu merupakan perkara yang harus dibedakan menurut niat dan tujuannya. Siapa yang menjadi pembantu penguasa zalim, lalu menjadi penengah antara penguasa dan rakyat yang dizalimi agar penguasa itu menghentikan kezalimannya, ia adalah orang baik. Namun, jika ia cenderung membantu penguasa yang zalim itu, ia termasuk yang berbuat buruk.41)
Seorang muslim yang menjadi anggota dewan di parlemen tidak mengira dan tidak pernah terlintas dalam kesadarannya akan munculnya olok-olok kaum kafir di parlemen terhadap ayat-ayat Allah Swt. Bahkan, sekalipun ada, justru itu menjadi hujjah (alasan) baginya untuk berada di parlemen mengurangi kezaliman mereka semampunya atau sebagai pengimbang kekuatan kuffar. Jadi, bukan lari dan menghindari kuffar yang justru membuat mereka leluasa melecehkan Islam dan kaum muslimin. Akhirnya, umat Islam tidak memiliki wakil dan tidak tahu cara untuk menyalurkan aspirasinya. Apa jadinya lantaran fatwa itu- umat Islam tidak memiliki satu pun wakil parlemen di negerinya sendiri? Semuanya nonmuslim, sekuler bahkan ada yang musyrik atau ateis dan mereka semua memusuhi Islam. Tentunya, mustahil kepentingan umat Islam mendapat jatah yang wajar. Sebaliknya, jahiliyah mendapat tempat yang luas secara fikrah maupun hukum-hukumnya.
Berkata Mamun al Hudaibi, Ikhwan tidak melibatkan diri dalam parlemen untuk membuat produk hukum yang tidak Islami. Namun paling tidak, sedapat mungkin mencegah keluarnya hukum-hukum jahiliyah. Ikhwan menggolongkan pekerjaan itu sebagai bagian amar maruf nahi munkar. Meski demikian, nahi munkar tidak akan berhasil hanya dengan slogan dan pernyataan bahwa hal ini atau hal itu haram. Namun, sebuah alternatif lain pun mesti diperkenalkan untuk menghindari kesalahan fatal.42)
Apakah kita rela jika khamr menjadi halal karena telah disahkan DPR/MPR? Apakah pelacuran mendapatkan legalitas karena telah sah menurut peraturan daerah karena omzetnya sangat besar bagi pendapatan asli daerah? Apakah kita mau pelajaran agama dihilangkan dari sekolah hanya karena berbau SARA (dan itu sudah ditetapkan melaui Tap MPR). Apakah kita akan diam jika tabligh akbar atau majlis talim dibubarkan karena dilarang UU antiterorisme? Apakah itu semua yang kita inginkan hanya karena haram berada di dalamnya sehingga di sana tidak satu pun aktivis Islam yang mencegah dan melawan semua itu?
Demikian masalahnya yang ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mufti yang profesional akan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada dan tidak berpikir naif dan pendek agar fatwa yang dihasilkan memiliki kekuatan yuridis (hujjah) dan membumi serta relevan dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Bagi para mufti (pemberi fatwa), ada baiknya memperhatikan nasihat Syaikh al Imam Muhammad Abu Zahrah rahimahullah, Syarat lain seorang mufti adalah harus tahu benar kasusnya dan mempelajari psikologi peminta fatwa dan lingkungannya agar dapat diketahui dampak negatif maupun positif dan fatwa sehingga tidak menjadikan agama Allah Swt bahan tertawaan dan permainan.43)
Hal itu sama dengan keikutsertaan seorang muslim dalam pemerintahan yang zalim (tidak islami). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Segala puji bagi Allah . Jika ia berusaha berbuat adil dan menyingkirkan kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan kebaikan dan maslahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang lain, ia diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan dia tidak berdosa karenanya. Bahkan, jabatan itu lebih baik daripada di tangan orang lain dan menjadi wajib jika tidak ada orang lain yang sanggup memegangnya.44)
Ibnu Taimiyah melanjutkan, Jika ada yang berkata, Engkau tidak boleh terlibat dalam kekuasaan itu dan engkau harus angkat kaki darinya padahal jika ditinggalkan akan diambil alih orang lain dan kezaliman semakin menjadi-jadi berarti orang yang berkata seperti itu adalah orang yang bodoh dan tidak bisa membaca keadaan dan hakikat agama.45)
Bahkan, ada pandangan ekstrem dari Imam Izzuddin bin Abdus Salam, Jika orang kafir menjadi pemimpin suatu wilayah yang luas, lalu mereka melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dapat mendatangkan maslahat bagi orang-orang mukmin secara umum, keadaan itu dapat dijalankan karena mendatangkan mashalat secara umum dan menyingkirkan mafsadat sekalipun jauh dari rahmat syariat karena memang orang yang memiliki kesempurnaan dan layak diserahi kekuasaan itu tidak ada.46)
Demikianlah pandangan yang mendalam dari para Imam kita. Adakah kita dapat mengambil pelajaran? Jika kita baca sejarah umat ini dengan baik, niscaya akan kita temukan bahwa konsep parlemen telah ada dalam perjalanan kehidupan politik umat Islam pada masa-masa keemasannya. Pada masa Khalifatur Rasyid kedua, Umar bin Khattab Ra, beliau telah menunjuk enam orang sahabat Nabi Saw yang senior dan alim 47) untuk mendiskusikan calon pengganti dirinya. Itulah parlemen sederhana dan sementara yang mewakili segenap suara umat Islam masa itu. Para Ulama kita memberi nama ahlul halli wal aqdi (Dewan Perwakilan). Adapun parlemen yang kita kenal saat ini adalah bentuk modern dan lebih kompleks dari ahlul halli wal aqdi saat itu.
b. Tentang Pemilu atau Pemungutan Suara
Sebagian kaum muslimin telah mengigau dengan menganggap syirk berpartisipasi dalam pemungutan suara.48) Pemungutan suara atau Pemilu adalah bentuk perampasan hak Allah Swt sebagai Hakim karena dalam Pemilu keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Anggapan itu amat gegabah. Disadari atau tidak, orang-orang seperti itu terjebak pada tuduhan sesat ke mayoritas umat Islam karena mayoritas umat Islam telah menggunakan cara itu untuk memilih anggota legislatif dan pemimpin. Ada beberapa hal yang perlu kita dudukkan sesuai tempatnya.
Pertama, kita bicara tentang Pemilu di negeri muslim: kandidatnya muslim, pemilihnya pun muslim dan keterlibatan nonmuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.49). Kedua, adanya campur tangan namusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Swt berfirman, hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.(QS ath Thalaq:2). Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri. (QS an Nisa:35). Ketiga, jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah azza wa Jalla berfirman, hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu. (QS ath Thalaq:2) dari saksi-saksi yang kamu ridhai. (QS al Baqarah:282). Si pemilih harus jujur bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur (kesaksian palsu). Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu). (QS al Hajj:30).
Jadi, siapa saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu menyalahi perintah Allah Swt, Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS ath Thalaq:2).
Di sisi lain, siapa yang tidak mau memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembuhyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah Azza wa Jall berfirman, Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil. (QS alBaqarah:208) Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya. (QS alBaqarah:283)
Kesaksian terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam50)
c. Tentang Partai Politik
Saudara-saudara kami bersuara miring terhadap Ikhwan lantaran menurut mereka- saat ini Ikhwan telah menyimpang dari manhaj Hasan al Banna. Bukanlah al Banna menolak berdirinya partai-partai dan tegas mengatakan bahwa Ikhwan bukan partai? Namun dalam perjalanannya, para pengikut gerakan ini di banyak negara telah mendirikan parta politik sebagai salah satu sarana dakwanya.51) Ada pula saudara-saudara kami semoga Allah Swt meluruskan kita semua- menyatakan bahwa mendirikan parpol adalah haram dan bidah. Alasannya, parpol bukan sarana dakwah Rasulullah Saw dan salafush shalih. Selain itu, adanya parpol Islam mengindikasikan adanya perpecahan di tubuh umat Islam dan tentunya hal itu haram juga.
Kepada kelompok pertama, seharusnya terlebih dahulu mereka mengetahui salah satu karakter agama ini, yaitu murunah (fleksibel), bagi masalah-masalah yang tidak ada nashnya secara jelas dan tegas. Begitu pula karakter dakwah Islam yang dipahami Ikhwan selalu terbuka bagi perubahan yang positif dan bermanfaat. Itu bukanlah cela dan bukan pula penyimpangan manhaj. Hal itu memiliki landasan kuat dalam konstitusi Islam dan sejarahnya. Imam Syahid Hasan al Banna bukanlah ulama yang jumud, bukan pula diktator yang memberlakukan hasil ijtihadnya kepada orang lain dalam waktu tidak terbatas. Ucapannya bukanlah firman Allah Swt, bukan pula sabda baginda Nabi Saw yang mashum. Seandainya ijtihad beliau benar seperti penolakan terhadap keberadaan partai-partai pada masanya- ijtihad itu benar dan pas pada masa dan tempatnya, tetapi belum tentu benar dan pas pada masa dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya perbedaan al Banna dengan pengikutnya bukanlah perbedaan dalil-dalil, melainkan perbedaan situsasi, kondisi, zaman dan tempat. Hal ini telah masyhur di kalangan ahli ilmu bahwa ijtihad atau fatwa tentang masalah yang sama sangat mungkin berubah sesuai perubahan situasi, kondisi, zaman dan tempat. Selama mencakup muatan yang memang mungkin berubah (mutaghayyirat), bukan yang baku (tsabit) seperti rukun iman, rukun sholat dan rukun Islam.
Berkata Ibnu Abidin, Masalah-masalah fiqhiyah adakalanya ditetapkan hukumnya berdasarkan nash (teks) yang sharih (jelas) dan adakalanya ditetapkan melalui ijtihad. Pada umumnya, seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan yang berkembang pada zamannya. Seandainya ia berada pada zaman yang lain dengan kebiasaan yang baru, niscaya ia akan mengeluarkan pendapat bahwa mujtahid harus mengenali kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dapat dimengerti jika terdapat banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda lantaran perbedaan zaman. Dengan kata lain, seandainya suatu diktum hukum ditetapkan seperti sediakala, niscaya timbul masyaqqat (banyak kesulitan) dan mudharat bagi manusia. Selain itu, hal itu bertentangan dengan kaidah syariat yang didasarkan pada takhfif (meringankan), taysir (memudahkan) dan dafu adh dharar (menghindari kerusakan) demi terwujudnya tatanan masyarakat yang baik dan kokoh. Oleh karena itu, kita dapati tokoh-tokoh ulama mazhab menentang ketetapan hukum mengenai banyak hal yang telah ditetapkan masyarakat berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada zamannya. Jika diandaikan tokoh ulama mazhab itu hidup sezaman dengan mereka, niscaya ia akan berpandangan sama dengan pendapat mereka (baca: masyarakat).52)
Berkata Syaikhul Islam Yusuf al Qaradhawy, Tanpa mengenal manusia dan bersosialisasi dengan mereka, seorang mufti akan berada dalam kesesatan atau tertidur dalam khayalan dan berseberangan dengan kondisi umat sesungguhnya. Ia hanya mengetahui hal yang seharusnya (idealitas) tanpa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi (realitas), sedang hal yang ideal tentu berbeda dengan kenyataan. Kemudian, al Qaradhawy mengutip ucapan Ibnul Qayyim dalam Ilamul Muwaqiin, Seorang yang faqih adalah orang yang mengaplikasikan secara sinkron nilai yang ideal dan nilai yang sedang terjadi karena setiap masa memiliki kentuan hukum tersendiri dan manusia cermin kemiripan dengan kondisi masa mereka seperti kemiripan mereka dengan orangtua mereka.53)
Seandainya al Banna hidup hingga kini, tidak mustahil ia akan mengubah ijtihad-nya karena ia bukan jenis ulama yang kaku. Hal itu terjadi pula pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy Syaibani yang banyak berbeda pendapat dengan gurunya sendiri, Imamul azham Abu Hanifah. Para ulama kita menyebutkan bahwa perbedaan antara murid dan guru itu bukanlah perbedaan dalil, melainkan perbedaan waktu dan kondisi. A Imam Nahirus Sunnah Asy SyafiI ra ketika masih tinggal di Madinah memiliki pandangan fiqh dan ijtihad yang sering disebut Qaul Qadim (pendapat lama). Namun ketika hijrah ke Mesir seiring dengan perbedaan kondisi yang dihadapi serta kematangan usia dan ilmu- beliau merevisi pendapatnya dalam Qaul Jadid (pendapat baru). Semua yang mereka lakukan sejalan dengan contoh dari Rasulullah Saw dan sahabatnya.
Rasulullah Saw pernah melarang kaum wanita berzirah kubur. Namun ketika kondisi berubah dan akidah tauhid telah menghujam ke dalam dada, Rasulullah Saw mengizinkan mereka.54) Rasulullah Saw pernah melarang seorang suami baru mencium insterinya saat pemuda itu berpuasa. Namun, pada saat hampir bersamaan Rasulullah Saw membolehkan seorang suami yang sudah lama mencium isterinya saat berpuasa. Perbedaan izin itu berdasarkan pada perbedaan keduanya. Biasanya suami baru lebih sulit mengendalikan hasrat seksualnya dibanding suami yang sudah lama dan dikhawatirkan akan membahayakan puasanya. Selain itu, salah satu adab perang dalam Islam adalah Rasulullah Saw melarang menebang pepohonan. Namun ketika perang melawan Yahudi, Rasulullah Saw membolehkan menebang pepohonan sebagai strategi untuk melemahkankondisi mereka.
Abdullah bin Abbas Ra pernah ditanya seorang pemuda, Jika aku membunuh, apakah tobatku akan diterima? Ibnu Abbas menjawab, Tidak! Jawaban itu amat mengejutkan sahabat lainnya. Ibnu Abbas pun memberi tanggapan, Aku melihat di mata orang muda itu, ada keinginan yang amat kuat untuk membunuh. Jadi, jawaban tidak Ibnu Abbas Ra adalah upaya untuk menakut-nakuti pemuda itu agar mengurungkan niatnya membunuh. Seandainya pembunuhan itu terjadi, lalu pemuda itu bertanya tentang hal yang sama, niscara Ibnu Abbas Ra akan menjawab Ya agar pemuda itu tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah azza wa jalla. Itu semua adalah bukti kedalaman ilmu Ibnu Abbas Ra yang mengerti betul perubahan fatwa karena perbedaan kondisi, waktu dan tempat.
Uraian ini sudah amat menjelaskan bahwa parai politik Islam yang didirikan Ikhwanul Muslimun adalah salah satu sarana dakwah dan bukanlah hal yang tabu, apalagi keliru, walau pendiri Ikhwan mencela keberadaan partai-partai pada masanya. Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan penyimpangan manhaj Ikhwan masa kini karena hanya masalah ijtihadi yang berubah-ubah. Sarana dakwah itu sama kedudukannya di mata Ikhwan dengan sarana-saranan lainnya, seperi yayasan-yayasan sosial, kelompok diskusi, karang taruna atau kelompok kajian budaya. Pembeda semua itu adalah objeknya. Jika partai bergerak di wilayah politik, sarana lain bergerak di wilayah sosial, pendidikan dan budaya.
Kepada kelompok kedua, menahan lisan dari mengucapkan kata-kata haram dan bidah terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan adaah sikap seorang alim yang benar. Adapun membiarkan lisan dan tulisan bergerak liar menuruti hawa nafsu dengan membuat vonis haram-bidah, selain bukan sifat ahli ilmu, bukan pula akhlak salafush shalih yang sama-sama kita teladani. Allah azza wa jalla berfirman, Janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu yang disebut-sebut lidahmu secara dusta, Ini halal dan ini haram untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah (an Nahl: 116)
Sesungguhnya itu adalah urusan dunia yang hukum asalnya mubah, kecuali ada nash yang melarangnya sesuai kaidah, Kullu Asya al Ibahah illa Ma Warada Anisy Syari Tahrimuhu. Segala sesuatu diperbolehkan kecuali ada ketetapan dari syari (pembuat syariat) tentang pengharamannya. Mereka mengatakan haram dan bidah-nya partai politik semata karena hal itu tidak pernah dilakukan dan diajarkan Rasulullah Saw, sahabat dan salafush shalih. Alasan itu amatlah sederhana untuk mengharamkan sesuatu yang sebenarnya telah memiliki hak eksistensi menurut keluasan kaidah syariat. Tidak ada yang mennyangkal bahwa telah banyak perubahan dan hal-hal baru pada masa sahabat yang belum ada pada masa Rasulullah Saw. Pada masa tabiin pun perubahan terjadi. Namun, ahli ilmu saat itu jauh lebih dalam ilmunya dan jauh lebih takut kepada Allah Swt dibandingkan kita- tidak ada yang mengingkari semua perubahan itu.
Pada masa Abu Bakar ash Shiddiq Ra, beliau mengadakan Baitul Maal yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat senior lain tidak ada yang mempermasalahkan, apalagi melarangnya. Justru mereka mendapat manfaat darinya. Pada masa Umar Ra, beliau mengadakan penjara bagi pelaku tindak kejahatan, menggaji prajurit perang dan menyediakan mahkamah pengadilan. Itu adalah hal yang benar-benar baru saat itu dan tidak ada yang melarangnya. Pada masa Utsman bin Affan Ra telah mapan, dilakukan kodifikasi mushaf alQuran padahal pada masa Rasulullah Saw alQuran hanya berupa mushaf terpisah. Haramkah itu semua? Bidah-kah? Barangkali memang bidah (hal yang baru), tetapi bukan dalam pengertian bidah syara, melainkan bidah dalam arti lughawi (bahasa).
Partai politik adalah benar sesuatu yang baru (bidah), tetapi bukanlah bidah dalam pengertian syara. Para ulama mengatakan, semua bidah dalam agama yang tidak ada landasannya secara khusus aau umum adalah bidah dhalalah (sesat). Tidak ada bidah hasanah di dalamnya. Itulah makna hadit Kullu bidatin dhalalah (setiap bidah adalah sesat). Berkata Imam Malik Ra, Siapa yang berbuat bidah, lalu mengira baik (hasanah) perbuatannya itu, sama saja menuduh Nabi Muhammad Saw mengkhianati risalah (Islam). Berkata Hasan al Banna, Setiap bidah dalam agama Allah Swt yang tidak ada pijakannya, berupa penambahan maupun pengurangan tetapi dianggap baik hawa nafsu manusia adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan secara sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan keburukan yang lebih parah.
Tegasnya, bidah yang diharamkan adalah ajaran berupa pemikiran atau praktik baru dalam urusan agama yang tidak memiliki dalil khusus atau umum. Ajaran tersebut ibarat sesuatu yang menyelinap dan menyusup ke dalam Islam, padahal bukan bagian dari Islam. Adapun urusan dunia, inovasi yang dibuat manusia tidak termasuk bidah yang sesat! Barangkali itulah yang cocok disebut bidah hasanah itu. Rumah sakit, bank Islam, majalah sekolah, kampus, organisasi adalah hal bru yang belum pernah ada pada masa Nabi Saw atau satu abad setelahnya. Hanya manusia purba yang meng-kategori-kan semua itu sebagai bentuk bidah sesat. Salafush shalih berlepas diri dari anggapan seperti itu. Jika ada manusia seperti itu, tidak perlu pandangannya mengatas-namakan manhaj salaf. Kasihan sekali para pendahulu kita sebaik-baik umat dan masa- telah dizalimi orang-orang yang tidak mampu menampilkan wajah salaf dengan baik dan benar. Wajah salaf yang mulia ditampilkan dengan tidak sepantasnya, kolot, jumud dan dhayyigul ufuk (sempit pandangan).
Alasan lain adalah adanya parpol (Islam) menunjukkan atau berpotensi menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Kewajiban dan kemutlakan persatuan umat Islam telah diketahui orang awam dan ditegaskaskan orang alim. Adapun perpecahan adalah indikasi cacatnya iman seseorang, bahkan mendekati kekufuran. Hal itu telah sahih dan sharih dalam dua pusaka Rasulullah Saw, alQuran dan asSunnah. Namun, benarkah berdirinya parpol berasaskan Islam mempunyai arti perpecahan atau penyebab perpecahan? Mungkin benar, mungkin juga tidak. Dalam memahami tu perlu dipetakan dan dibatasi masalahnya secara jelas. Analoginya berikut ini.
Menuntut ilmu adalah perbuatan mulia, begitu pula hal-hal yang menjadi derivatnya, seperti mengerjakan PR, ujian bersama, belajar kelompok, atau apa pun namanya. Namun, jika ada yang melakukan kecurangan dalam proses menuntut ilmu misalnya mencontek ketika ujian- bukan menuntut ilmunya yang tercela (baca: haram), melainkan tindakan curangnya itu. Sama halnya dengan muzhaharah (demonstrasi) sebagai upaya menyalurkan aspirasi atau taushiah adalah sah-sah saja. Namun, jika diikuti dengan hujat-menghujat, sumpah serapah, dan ucapan kotor, itu tidak dapat dibenarkan. Jadi, perilaku kotor yang ada di dalamnya yang layak dicegah, bukan demonstrasinya.
Demikian pula halnya dengan partai politik yang sekedar wadah manusia berkumpul seperti perkumpulan lain yang dibuat manusia. Jika ada yang berbuat jahat di dalam sebuah parpol atau organisasi nonpolitik- serta sesalu mengajak perpecahan, korup dan asusila, perilaku bejat manusia yang ada di dalamnya yang perlu disalahkan bukan wadahnya. Berbeda partai Islam pun tidak selalu berarti perpecahan. Rasulullah Saw pernah membiarkan para sahabatnya tetap di bawah panji kabilah masing-masing ketika melakukan ghazwah (peperangan). Para sahabat Nabi Saw tidak sedikit menisbatkan dirinya pada sukubangsa mereka dan Nabi Saw tidak melarangnya karena tidak menunjukkan kesombongan dan perpecahan. Contohnya, Salman al Farisy (Salman si Persia), Abu Ayyub al Anshary (Abu Ayyub orang Anshar), Abu Musa al Asyary (Abu Musa orang Asyary, kabilah di Yaman). Begitu pula ulama kita yang menymatkan di belakang nama mereka mazhab fiqh yang mereka anut. Contoh, Imam al Ghazaly asy Syafii (ia bermazhab Syafii, Abu Bakar bin al Araby al Maliky (bermazhab Maiki) dan Imam Abu Rajab al Hambali (bermazhab Hambali). Jadi, semua itu tidak maslah jika tidak diikuti fanatisme buta.
Semoga Allah Swt merahmati alAllamah al Imam Yusuf al Qaradhawy ketika berkata bahwa partai-partai adalah mazhab-mazhab dalampolitik, seperti mazhab adalah partai-partai dalam fiqh. Gejala wajar dan alami pula jika manusia cenderung berkelompok dengan manusia lain yang memiliki kesamaan pandangan dan tujuan. Amat dimalumi jika ada manusia yang mendirikan yayasan, karang taruna, study club, laskar jihad atau partai politik. Seuanya adalah sama, yaitu sama-sama wadah manusia berkelompok. Perbedaannya hanya terletak pada obyek aktivitasnya. Apa pun bentuk, nama dan obyek aktivitasnya jika semuanya memiliki tujuan yang tidak benar, merusak dan jahat, tanpa kecuali- tidak syak lagi keharamannya. Misalnya, sindikat narkoba, komplotan bajak laut atau gank-gank jalanan. Adapun jika kelompok apa pun dibentuk berdasarkan pada tujuan yang mulia demi menjaga kehormatan manusia, agama, harta, akan dan jiwa, itu merupakan sebuah amal shalih dalam agama.
Kepada kaum muslimin, kita tentu memahami bahwa salah satu tugas pengabdian manusia kepada Khaliq-nya adalah iqmatuddin (menegakkan agama) di semua lini kehidupan. Untuk itu, diperlukan kekuatan penopang, pelindung dan penyempurna penerapan ajaran agama dan syariah. Dalam hal ni, penguasa adalah pihak yang memiliki kekuatan untuk itu karena ucapannya didengar, titahnya dijalankan, bahkan mereka merupakan bayangan Allah Swt di bumi (HR Imam Bukhari). Wajar jika Imam Ahmad dan Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan seandainya punya doa yang mustajab, niscaya mereka akan mendoakan kebaikan bagi penguasa. Masalahnya, penguasa seperti apa yang mau sadar melakukan tugas menopang, melindungi dan menyempurnakan syariat Islam? Tentu penguasa yang shalih dan mengerti. Bagaimana memilih orang yang shalih dan mengerti serta memiliki kekuasaan? Tentu harus melalui aturan main (mekanisme) yang telah terlanjur ada dan mapan di sebuah negara. Umumnya melalui jalur politik kepartaian. Begitulah alur yang harus dipahami dan dilalui jika ingin memperbaiki umat dengan syariah. Utsman bin Affan Ra berkata, Segala yang tidak dapat diluruskan alQuran, Allah Swt akan meluruskan melalui tangan penguasa.
Apa jadinya jika umat Islam sendiri mengharamkan keberadaannya? Jalur apa yang dapat dijadikan sarana bagi aktivis Islam untuk bergerak dalam mewujudkan manusia yang adil dan sejahtera? Sungguh kesempitan itu tidak akan terjadi seandainya tidak ada fatwa janggal yang mengharamkan parpol. Mungkinkah orang soleh dan mengerti dapat menjadi presiden, menteri atau anggota dewan jika mereka hanya duduk diam dan manggut-manggut di depan kitab Syarah Aqidah Thahawiyah, Aqidah Washitiyah, Aqidah Salaf ash Habul Hadits dan Fathul Majid?55) Untuk masa kini, masyarakat kita butuh orang yang layak dan kenal tokoh yang akan menjadi pemimpin mereka.
Tentu pihak yang mengharamkan parpol tidak akan ridha jika mereka dipimpin orang-orang kafir, zalim atau fasiq. Jadi, biarkan aktivis Islam bergerak mengikuti mekanisme yang ada sebagai jalur perjuangan mereka. Nyatanya, Rasulullah Saw pernah memanfaatkan kebiasaan masyarakatnya untuk mashalat dakwah ketika kedudukan beliau masih lemah seperti keadaan aktivis dan umat Islam saat ini. Seharusnya setiap muslim apalagi yang faqih terhadap agamanya- membantu saudaranya yang berjuang dan bukan menjegal dengan fatwa-fatwa menyesatkan. Ada syair yang cocok untuk itu, Jangan kau caci kegelapan, tetapi nyalakanlah pelita.
Ya Allah! Berikan petunjuk kepada kami yang benar itu benar dan kuatkanlah kami untuk mengikutinya. Berikan petunjuk kepada kami bahwa yang salah itu salah dan kuatkanlah kami untuk menjauhinya.
---------------------------------------
[41] Yusuf al Qaradhawy, Fiqih Daulah, hlm. 269.
[42] Ishlah, Loc cit, hlm. 23, kol. 1.
[43] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hlm. 595.
[44] Yusuf al Qaradhawy, Op Cit, hl, 263.
[45] Ibid, hlm. 265.
[46] Ibid, hlm. 262.
[47] Penunjukkan kepada enam sahabat Nabi yang senior dan alim itu mengisyaratkan bahwa orang yang layak menjadi ahlus syura dalam ahlul halli wal aqdi, adalah orang yang bermoral, berpengalaman, berwibawa dan berilmu. Ketiga hal itu ada pada enam sahabat Nabi tadi. Amat berbeda dengan yang terjadi hari ini. Dengan alasan persamaan hak, siapa saja berhak dicaonkan dan menjadi anggota dewan tanpa meperdulikan kebejatan atau kebodohannya. Hal itu tidak lain menunjukkan ambisi memperbanyak jumlah kelompoknya di parlemen karena bingung terhadap kondisi kelompoknya yang minim kader berkualitas.
[48] Mereka menyebutkan ada 36 mafsadat (kerusakan) akibat pemungutan suara, di antaranya: 1. Perbuatan syirik kepada Allah Swt 2. Menekankan pada suara terbanyak 3. Anggapan dan tuduhan bahwa Dinul Islam kurang lengkap 4. Pengabaian alWala wal bara 5. Tunduk kepada UU sekuler 6. Mengecoh orang banyak, khususnya kaum muslimin 7. Memberikan kepada Demokrasi baju Syariat 8. Membantu dan mendukung musuh Islam 9. Menyelisihi Rasulullah Saw dalam metode menghadapi musuh 10. Termasuk wasilah yang diharamkan 11. Memecah belah kesatuan umat 12. Menghancurkan persaudaraan sesama muslim 13. Mewujudkan fanatisme golongan atau partai yang terkutuk 14. Menumbuhkan pembelaan (jahiiyah) terhadap partai-partai di golongan mereka 15. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk maslahat golongan 16. Janji-janji tanpa realisasi dari para calonnya hanya ntuk menyenangkan hati pemilih 17. Pemalsuan, penipuan dan pembohongan untuk meraih simpati massa 18. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk kampanye, bahkan kadang-kadang sampai meninggalkan kewajiban agama 19. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan 20. Money Politic dari kandidat untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih 21. Terpedaya dengan kuantitas, bukan kualitas 22. Ambisi merebut kursi tanpa peduli pada rusaknya akidah 23. Memilih seorang calon tanpa memandang akidahnya 24. Memilih calon tanpa peduli dengan syarat-syarat syarI seorang pemimpin 25. Pemakaian dalil-dalil syarI tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura, yaitu Dan urusan mereka, mereka selesaikan dengan musyawarah 26. Tidak diperhatikannya syarat-syarat syarI dalam kesaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian 27. Penyamarataan yang tidak syarI, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, alim dan jahil, shalih dan fasik, muslim dan kafir 28. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda: Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita (HR. Bukhari) 29. Mengajak menusia kepada tempat-tempat pemalsuan 30. Termasuk tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran 31. Melibatkan diri dalam perbuatan sia-sia 32. Jani-jani palsu dan semu yang disebar 33. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti partai islam, pemillu islami, kampanye islami, dll 34. Berkoalisi dan beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak 35. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara 36. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas, karena kalah atau merasa dicurangi (As Sunnah edisi 11/Th. III/1420-1999, hlm. 39)
Terlihat bahwa betapa anggapan ini terlalu instan, memaksa, mengada-ada, dan ghuluw (berlebihan), sekaligus menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memahami masalah. Seharusnya mereka memetakan masalah itu dengan baik bahwa Pemilu adalah satu hal, sedangkan manusia sebagai penyebab kerusakan-kerusakan adalah hal lain. Pemilu sebagai sebuah sarana atau cara tidak sesederhana itu untuk dianggap sebagai perbuatan syirik, wasilah yang haram, atau menyalahi metode Rasul Saw. Meski kami tidak mengingkari bahwa Pemilu memiliki cacat dan kekurangan yang sulit dihindari, seperti pemyamarataan orang yang dipilih tanpa mempertimbangkan keshalihan atau kefasikan, alim atau jahil, muslim atau kafir. Hali pilihan-pilihan itu menjadi representasi bahi pemilihnya. Namun, tidak sepantasnya jika kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia ketika Pemilu berlangsung diarahkan kepada Pemilunya, padahal Pemilu hanyalah alat. Semua kerusakan yang disebutkan tadi tidak lain bersumber pada mentalitas atau moralitas manusianya yang bermasalah. Jika terjadi money politic, perpecahan dan lainnya seperti yang mereka sebutkan, sungguh hal itu dapat terjadi pada cara selain Pemilu. Bahkan pihak yang menerapkan sistem syura (musyawarah) pun mungkin saja diikuti money politic atau perpecahan seperti yang pernah kita dengar. Meski begitu, apakah syura menjadi buruk? Tentu tidak. Itu hanya masalah mentalitas manusianya.
[49] Bagaimana dengan Pemilu di negara berpenduduk muslim yang tidak menerapkan syariat Islam alias bukan negara Islami? Bagaimana berpartisipasi dalam Pemilu di sana? Keragu-raguan itu dijawab Syaikh Mamun al Hudaibi, Para ulama salaf yang kami ikuti tuntunannya menggunakan cara serupa ketika menemui para pemimpin negeri di zamannya (catatan: kebanyakan dari pemimpin itu lebih buruk sifatnya dibandingan para pemimpin negeri dewasa ini). Mereka membri nasihat dan melarang dari kejahatan. Tujuan Ikhwan memasuki parlemen adalah mencoba mencegah kezaliman semampu mereka. Anda boleh saja mengatakan, Ini kan pemerintahan rezim non-Islami? Memang benar bahwa rezim sekarang bukanlah rezim negara yang berlandaskan Islam. Namun masalahnya apakah rezim ini dipimpin seorang kafir yang membolehkan keterlibatan pihak mana pun dalam sistem yang dibangunnya? Jawaban-nya, seluruh pejabat yang menjalankan pemerintahan itu seperti di Mesir- bukanlah orang-orang kafir, melainkan mujrimin (pelaku dosa). Kami tidak menghukumi keimanan seseorang sepanjang mereka tidak mengumumkan diri keluar dari Islam. Namun, kami adalah juru dahwah yang menyeru kepada Allah Swt (lihat buku Nahnu Duat La Qudhat Kami Penyeru Dakwah bukan Penuduh) yang ditulis Hasan al Hudaibi. (Ishlah edisi 67/Th. IV, 1996, hlm. 24, kol. 1-2)
[50] Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II, hal. 929-930
[51] Tidak semua pejuang Ikhwan mendirikan partai politik, seperti HAMAS di Palestina atau Jamaah Islam Malaysia di Malaysia karena Ikhwan memahami setiap negara memiliki realitas politik tersendiri yang perlu penanganan spesifik dan berbeda dari negara lain. Perlu diketahui, ada tokoh-tokoh Ikhwan yang menolak parpol, seperti Fathi Yakan, Muhammad Qutb dan Sayyid Qutb. Mereka cenderung mendahulukan dakwah tauhid atau revolusi. (Mustafa Mahmud Thahhan, Rekonstruksi Menuju Gerakan Iszlam Modern, kata pengantar)
[52] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, hlm. 420. Baca juga Yusuf al Qaradhawy, Fikih Taysir, hlm. 21
[53] Yusuf al Qaradhawy, Konsep dan Praktik Fatwa Kontemporer, Antara Prinsip dan Penyimpangan, hlm. 39
[54] Sebagian Ulama kita menetapkan, pemberian izin Rasulullah Saw itu bukanlah menasakh (menghapus) larangan yang pertama. Larangan untuk berziarah tidak lain adalah penundaan karena kondisi akidah mereka belum siap. Ketika kondisi berubah Rasulullah Saw mengizinkannya. Hal itu sama halnya dengan perintah Allah Swt untuk menahan diri dari jihad dan baru diizinkan ketika turun ayat udzina lilladzina yuqataluna bi annahum zhulimu. Itupun sebuah penundaan yang baru diizinkan pada saat keadaan berubah, yaitu saat kaum muslimin memiliki kekuatan aqidah dan materi.
[55] Penyebutan kitab-kitab itu bukan bermaksud melecehkan kitab-kitab ulama yang amat bermanfaat itu. Konteks kalimat itu adalah sebagai pertanyaan kritis bagi manusia yang selalu mengkaji kitab-kitab itu tanpa melihat dunia luar, apalagi alergi dengan dunia luar.
Ikhwan Berlebihan (Israf) dalam Berpolitik?
Ikhwanul Muslimun sebagai gerakan massa keagamaan dianggap telah melampaui batas wilayah kerjanya; dakwah. Masuknya mereka ke dalam wilayah politik akan membuat dakwah mereka terbengkalai dan tidak murni lagi. Bahkan, dakwah akan tercemari getah-getah politik yang biasa mengotori pelaku politik. Pandangan seperti itu tidak lain berangkat dari tashawur yang juziyah (parsial) tentang taalimul Islam (muatan ajaran Islam). Pemilahan Islam dan politik atau aspek lainnya tidak dapat dibenarkan menurut nash maupun sejarah. Orang-orang seperti itu memiliki pendahulu dan kader. Dalam pandangan mereka Islam adalah Islam dan negara adalah negara. Di antara keduanya tidak ada sangkut paut. Sesungguhnya pandangan itu bukan dari Islam, melainkan dari Nashrani yang memiliki doktrin, Berikan kepada Tuhan hak Tuhan dan berikan kepada kaisar hak kaisar.
Anehnya, pemikiran asing itu ditujukan kepada Islam. Lebih aneh lagi, umat Islam menerimanya tanpa mengoreksi kebenarannya. Bahkan, menghina pandangan ulama dulu dengan anggapan mereka jumud (statis). Mereka merasa sebagai mujaddid (pembaru), padahal hanya ingin memperbarui Islam dengan sesuatu yang bukan dari Islam dan tidak pernah dikenal. Mereka ingin mengubah segalanya. Jika mampu, menukar bumi menjadi langit dan malam menjadi siang. Jika demikian, mereka labih layak disebut mubaddid (perusak) agama.
Ikhwan tidak memahami Islam hanya aktual di pesantren, tetapi hampa di rumah; aktual di masjid, hampa di istana; aktual di ceramah dan seminar, tetapi hampa dalam keseharian karena generasi terbaik imat ini tidak memahami dan menjalani Islam seperti itu. Islam adalah Islamnya Alquran dan Assunnah dengan segala hal yang terkandung di dalamnya tanpa pemisahan. Apakah generasi terbaik itu layak dianggap menjalankan politisasi agama?
Tidak masalah istilah apa pun yang disematkan orang terhadap agama Allah Swt ini. Intinya, Islam memiliki syariat yang universal meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk kebutuhan untuk mengatur dan membangun daulah (negara) dan memiliki khalifah. Anehnya, mereka tidak mempermasalahkan berdirinya nebara berdasarkan ieologi selain Islam seperti negara komunis, sosialis, kapitalis, bahkan negara Katolik. Mereka memberi kebebasan yang amat luas dengan alasan demokrasi, tetapi mereka sibuk mengerahkan segenap kemampuan dan senjata untuk membendung berdirinya Daulah Islamiyah.
Kepada merekalah Imam Syahid Hasan al Banna memberikan seruan, Wahai kaum kami, sungguh ketika kami menyeru kalian, ada Alquran di tangan kanan kami dan Assunnah di tangan kiri kami serta jejak kaum salaf yang soleh dari putera-putera terbaik umat ini sebagai panutan kami. Jika orang yang menyeru kepada itu semua kalian namakan politikus, alhamdulillah kami adalah politikus yang ulung. Jika kalian ingin menyebut itu sebagai politik, silakan memberi nama apa saja yang kalian suka. Nama sama sekali tidak penting bagi kami selama muatan dan tujuannya jelas. Wahai kaum kami, janganlah kata-kata menghalangi kalian dari melihat kebenaran. Jangan pula nama menghijabkan kalian dari tujuan. Jangan sampai kemasan (bungkus) menghijab kalian dari muatannya yang hakiki. Jangan sampai itu semua terjadi. Sesungguhnya dalam Islam ada politik, tetapi politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami. Kami tidak menginginkan pengganti apa pun selain itu. Pimpinlah diri kalian untuk itu dan ajaklah orang lai melakukan hal yang sama, niscaya kalian akan memperoleh kehormatan di akhirat. Suatu saat kalian pasti akan tahu tentang kebenaran kabar ini.57)
a. Tuduhan Saudara Seperjuangan
Sebagai duat, ada yang ikut menuding Ikhwan juga dari sisi ini dengan perspektif lain. Mereka menganggap Ikhwan melupakan dakwah tauhid serta melalaikan masalah bidah dan khurafat yang ada di masyarakat. Itu semua terjadi lantaran Ikhwan dianggap lebih mementingkan politik.58) Penilaian-penilaian seperti itu sah-sah saja, apalagi secara kebetulan itulah yang mampu mereka lihat dan pahami secara kasat mata dari keseharian aktivis Ikhwan. Namun, melakukan penelitian dan pemeriksaan yang seksama adalah sebuah keharusan ilmiah bagi mereka agar memiliki hujjah yang argumemtatif dan bukan hawa nafsu dan emosi. Bagi yang mau melihat, lalu merenungi, dan ikhlas dalam itu semua, mereka akan melihat bahwa anggapan Ikhwan terlalu bermain politik adalah keliru. Banyak kenyataan yang tidak mendukung tudingan itu. Di antaranya, tengoklah semua perpustakaan Islam dunia di ujung Barat dan Timur, kita akan melihat karya-karya al Banna dan pengikutnya yang tidak terhitung jumlahnya dan menduduki tempat tersendiri. Bahkan, tidak jarang menjadi best-seller. Bukalah karya-karya itu, apakah isinya selalu kajian politik? Tidak, itu hanya sebagian kecil saja, bahkan amat kecil. Berikut adalah sebagian karya tokoh Ikhwanul Muslimun yang telah menyebar di dunia.
Kajian Ilmu-Ilmu Alquran dan Tafsirnya:
1. Mabhats fi Ulumil Quran (Manna Khalil al Qattan)
2. Kaifa Nataamal Maal Quran (Yusuf al Qaradhawy
3. Ash Shabru fil Quran (Yusuf al Qaradhawy
4. Dialog dengan Alquran (Muhammad al Ghazaly)
5. Alquran dan akal (Yusuf al Qaradhawy
6. Marjaiyatul Ulya lil Islam al Quran was Sunnah (Yusuf al Qaradhawy)
7. Fi Zhilalil Quran (Sayyid Qutb)
8. Taswirul Fanni fil Quran (Sayyid Qutb)
9. Fi Zhilalis Surah at Taubah (Abdullah Azzam)
Kajian Hukum Islam:
1. Tasyi al Jinai fil Islam (Abdul Qadir Audah)
2. Al Fatawa (Abdul Halim Mahmud)
3. Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq)
4. Fiqhun Nisa (Abdul Karim Zaidan)
5. Fiqhuz Zakat (Yusuf al Qaradhawy
6. Fiqhus Shiyam (Yusuf al Qaradhawy
7. Al Halal wal Haram fil Islam (Yusuf al Qaradhawy)
8. Min Fiqhid Daulah (Yusuf al Qaradhawy)
9. Fatwa-fatwa Kentemporer (3 jilid) (Yusuf al Qaradhawy)
10. Fiqh Aulawiyat (Yusuf al Qaradhawy)
Kajian Akidah Islam:
1. Aqidah Islam (Sayyid Sabiq)
2. AlAqaid (Hasan al Banna)
3. Tauhidullah (Yusuf al Qaradhawy)
4. Al Wala (Said Hawwa)
5. Trilogi Allah, Rasul al Islam (Said Hawwa)
Kajian Sirah Nabi dan Sahabat:
1. Fiqhus Sirah (Muhammad al Ghazaly)
2. Sirah Nabawiyah (Said Ramadhan al Buthy)
3. Manhaj Haraki (Munir al Ghadban)
Kajian Hadist Nabawi:
1. Kaifa Nataamal maas Sunnah (Yusuf al Qaradhawy)
2. Madkhal lid Dirasah as Sunnah an Nabawiyah (Yusuf al Qaradhawy
3. As Sunnah an Nabawiyah Mashdaran lil Marifah wal Hadharah (Yusuf al Qaradhawy)
4. Marjaiyatul Ulya lil Islam al Quran was Sunnah (Yusuf al Qaradhawy)
5. Al Muntaqa fit Tarhib wat Targhib (Yusuf al Qaradhawy)
6. As Sunnah an Nabawiyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadist (Muhammad al Ghazaly)
7. As Sunnah an Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyriil Islam (Mustafa as Sibai)
Kajian Pembinaan Akhlak dan Ruhani:
1. Akhlak Muslim (Muhammad al Ghazaly)
2. Sabar (Yusuf al Qaradhawy)
3. Tawakal (Yusuf al Qaradhawy)
4. Niat dan Ikhlas (Yusuf al Qaradhawy)
5. Tarbiyah Ruhiyah (Abdullah Nasih Ulwan)
6. Tarbiyah Akhlaqiyah (Abdullah Nasih Ulwan)
7. Tarbiyatul Aulad (Abdullah Nasih Ulwan)
8. Tarbiyatunar Ruhiyah (Said Hawwa)
9. Tazqiyatun Nafs (Said Hawwa)
Kajian Dakwah dan Jihad:
1. Fiqhud Dakwah (Amin Jumah Abdul Aziz)
2. Dakwah Fardiyah (Abdul Halim Hamid)
3. Tarbiyah Jihadiyah (Abdullah Azzam)
4. Risalah Jihad (Hasan al Banna)
5. Risalah Dawatuna (Hasan al Banna)
6. Dakwah dan Hati (Abbas as sisi)
7. Dakwah dan Tarbiyah (Abbas as sisi)
8. Ikhwanul Muslimin Ahdats Shanaat Tarikh (Mahmud Abdul Halim)
Kajian Tsaqafah Islamiyah:
1. Keprihatinan Muslim Modern (Yusuf al Qaradhawy)
2. Anatomi Masyarakat Islam (Yusuf al Qaradhawy)
3. Fiqh Tajdid wash Shahwah Islamiyah (Yusuf al Qaradhawy)
4. Ghairul Muslim fil Islam (Yusuf al Qaradhawy)
5. Maalim fit Thariq (Sayyid Qutb)
6. Aladalah al Ijtimaiyah (Sayyid Qutb)
7. Al Mustaqbal li hadzad Din (Sayyid Qutb)
8. Jahiliyah Abad Duapuluh (Muhammad Qutb)
9. Tafsir Islam atas Realitas (Muhammad Qutb)
Ikhwan pun memiliki beberapa ulama hadist terkemuka, yaitu Syaikh Muhibbun al Khathib, Abdul Fattah Abu Guddah, dan Yusuf al Qaradhawy. Bahkan, Syaikh al Albany dahulunya aktif dalam halaqah Ikhwan. Masih banyak karya tokoh-tokoh Ikhwan yang belum disebutkan dan bukan di sini tempatnya. Sebagaimana yang kita lihat, benarkah perhatian Ikhwan hanya tertuju pada masalah politik seperti yang dituduhkan?
Dari segi aktivitas pun, Ikhwan bergerak ke sektor lain yang nyata. Pendidikan, bantuan sosial, kajian ilmu, jihad, olahraga, dan amal Islami lainnya. Kenyataan itu amat kentara dan tidak dapat dibantah! Adapun terjunnya Ikhwan ke wilayah politik bukanlah tanpa sebab. Pertama, Ikhwan tidak pernah meng-anaktirikan satu pun ajaran Islam. Semua mendapat perhatian yang seimbang, termasuk politik.
Kedua, Ikhwan lahir di tengah masyarakat muslim yang memahami Islam secara parsial. Lalu mereka membuat kelompok-kelompok pergerakan dengan agenda perbaikan masing-masing. Ada yang bergerak dalam memperbaiki akhlak pemuda, ada yang bergerak dalam memberantas bidah dan syirik atau ada yang bergerak dalam memberantas munkar. Mereka saling menuding dan merasa paling benar dalam manhaj-nya. Itu semua tidak memuaskan Hasan al Banna yang memahami Islam tidak dalam serpihan seperti itu. Menurutnya Islam itu adalah Nizham (tatanan) sempurna dan lengkap termasuk politik- yang kurang mendapat perhatian dari aktivis Islam saat itu.
Ketiga, Ikhwan memahami benar prioritas amal dakwah sehingga kadar perhatian terhadap masalah pun berbeda sesuai prioritasnya. Itu pun dapat berubah seiring dengan perubahan prioritas. Betapa banyak pengikut Ikhwan di berbagai negeri justru apolitis (tidak berpolitik) di dalam negeri mereka karena keadaan menuntut mereka berkiprah di bidang lain.59) Namun, tidak perlu diingkari bahwa Ikhwan berpolitik. Mungkin mereka menilai menghancurkan penguasa tiran lebih prioritas daripada meributkan kain atau celana panjang yang melebihi mata kaki (isbal), melindungi kaum muslimin dari kaum kafir lebih prioritas daripada meributkan cadar yang masih ikhtilaf, mempersoalkan makna istiwa (bersemayam), atau menggosok gigi pakai siwak. Abdullah bin Umar Ra pernah ditanya seseorang, Menurut anda, apa hukumnya membunuh nyamuk? Ibnu Umar Ra menjawab dengan marah, Anda bertanya tentang itu, sedangkan di negeri anda cucu Nabi dipenggal kepalanya!
Itulah Fiqih Ibnu Umar Ra yang mengerti prioritas amal dan tidak suka meributkan hal-hal yang tidak aktual. Memang demikianlah paradigma dakwah dan fiqh Salafus Shalih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah ulama yang sangat bersemangat memberantas bidah dan khurafat pada masanya yang memang amat merajalela. Namun, ketika pasukan Tar-Tar menyerang Damaskus, beliau langsung memimpin perang dengan pemahaman sebagai prioritas. Beliau salah satu model alim yang beramal, tahu prioritas dan mengerti menempatkan masalah tanpa menyudutkan pihak lain.
b. Apakah Politik Selalu Buruk?
Itulah yang harus dimengerti kaum muslimin secara benar. Persepsi yang keliru terhadap politik tentu melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Secara teoritis, siyasah merupakan ilmu yang penting dan memiliki kedudukan tersendiri. Secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan makhluk dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Imam Ibnul Qayyim mengutip perkataan Imam Abu Wafa Ibnu Aqil al Hanbali bahwah siyasah merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat dengan kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara. Ibnul Qayyim mengatakan, Sesungguhnya, politik yang adil tidak akan bertentangan dengan syara, bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya. Dalam hal itu, kami menyebutnya dengan siyasah karena mengikuti istilah anda. Padahal, sebenarnya dia adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik sehingga Imam al Ghazaly pernah berkata, Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Pemimpin dan agama merupakan anak kembar. Agama merupakan dasar dan penguasa merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar tentu akan runtuh dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga tentu akan hilang.60)
Hal yang perlu diingat adalah dulu tidak ada pemisahan secara fungsional antara ulama dan penguasa. Para penguasa masa lalu khulafaur Rasyidin- adalah ulama dan tokh umat sekaligus negarawan andal pada masanya. Utsman bin Afan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Rasulullah Saw adalah negarawan- seperti diakui banyak orentalis- disamping pemimpin agama, muballigh, pengajar dan hakim. Beliau adalah panutan Khulafaur Rasyidin. Namun saat ini, tidak sedikit umat Islam yang alergi politik dan segala yang berhubungan dengannya. Hal itu menimpa kalangan awam hingga orang alimnya, bahkan ada beberapa jamaah Islam yang amat menjauhkan politik dari manhaj gerakan mereka. Alasan mereka, politik dapat mengotori hati dan pikiran. Ada pula yang beralasan dakwah politik bukanlah dakwah salafush shalih dan kami bukan dai-dai politik. Mereka menyitir ucapan Ibnu Taimiyah, Saya bukan politikus walau saya mengkaji masalah-masalah politik.
Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan mereka terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian mereka terhadap politik. Mereka begitu akrab dengan ucapan Muhammad Abduh, Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik. 61)
Sebaiknya, kaum muslimin memilah secara shafi (jernih) antara politik syari dan Machiavelli sekaligus memilah politisi bersih dari politisi kotor. Jangan sampai ada oknum-oknum politisi atau doktrin politik yang semena-mena membuat pandangan jernih kita tertutup, lalu membuat kesimpulan keliru secara umum tentang politik. La haula wala quwwata illa billah.
---------------------------------------
[57] Hasan al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid I, hlm 75.
[58] As Sunnah, edisi 05/Th. III/1419-1998, hlm. 28.
[59] Menurut Mamun al Hudaibi, Inti masalah yang dihadapi tiap negara berbeda antara satu dan lainnya. Oleh karena itu, cara atau metode yang digunakan pun berbeda untuk tiap-tiap negara. Jadi, tidak dapat dikatakan Ikhwan meninggalkan jihad, misalnya hanya karena mereka menggunakan cara lain di Mesir yang betul-betul berbeda dengan Palestina. (Ishlah edisi 67/Th. IV, 1996, hlm 23 kol 3). Imam Ibnul Qayim dalam Madarijus Salikin menegaskan bahwa ibadah yang paling utama adalah yang sesuai dengan urgensi dan prioritasnya. Jika dalam negerinya deserang kekuatan kafir, jihad adalah ibadah paling utama. Jika kemiskinan melanda, mengentaskan kemiskinan adalah ibadah yang paling utama. Jika kebodohan merajalela, menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama. Jika banyak kekacauan karena tidak ditegakkannya hukum Islam, menegakkan syariat Islam secara benar adalah ibadah yang paling utama.
[60] Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid II hlm 913.
Celaan terhadap Ikhwan pun datang dari arah lain, yaitu demokrasi. Aktivitas Ikhwan dalam kancah politik dianggap sebagai indikasi keberhasilan fatamorgana demokrasi menipu dan membuai mereka. Partisipasi mereka dalam pemungutan suara atau pemilu dan parlemen adalah bukti taqlid terhadap sistem Barat dan sekulerisme yang justru kontraproduktif dengan upaya memerangi hegemoni Barat dan sekulerisme. Pengkritik menilai, setidak-tidaknya mayoritas dari mereka berpikir bahwa demokrasi adalah sistem kafir dari Barat dan merupakan syirk akbar. Bahkan pemungutan suara syirk juga karena pemilu adalah subsistem demokrasi. Demikianlah alasannya.
a. Tentang Demokrasi
Anggapan demokrasi itu syirk didasari pemahaman yang belum utuh. Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami deviasi makna. Tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah negara belum tentu demokratis di negara lain.
Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt, bukan manusia; La Hukma Illa Lillah. Itu adalah perkataan yang benar, tetapi konteksnya tidak tepat. Tidak ada satupun aktivis Islam yang berbicara demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka pemahaman seperti itu. Setiap muslim, apalagi mufti harus bertindak hati-hati dalam memberikan penilaian. Terlalu mudah memvonis syirk atau haram sama bahayanya dengan terlalu mudah dalam membolehkannya.
Jika kita belum mengetahui betul masalah yang dihadapi, bertanyalah kepada ahlinya dalam hal ini, pakar atau pengamat politik. Jangan sampai fatwa yang keluar membuat gamang perjuangan yang sedang dilakukan atau dimanfaatkan musuh-musuh dakwah Islam untuk memarjinalkan politik umat Islam. Dalam hal ini, ada kaidah yang telah disepakati para ulama, Siapa yang menetapkan hukum sesuatu padahal dia tidak mengetahui secara pasti sesuatu tersebut, ketetapan hukumnya dianggap cacat walau secara kebetulan benar.
Harus diakui bahwa tidak ada kesamaan pandangan tentang makna demokrasi. Jadi, fatwa hukum yang diberikan pun tidak baku keharaman dan ke-syirk-annya. Kita pun dapat mengembalikan urusan itu kepada baraatul ashliyah (hukum awal)nya, yaitu mubah.
Ada pula yang memandang demokrasi berasal dari Barat yang kafir. Oleh karena itu, demokrasi (adalah) pola alien yang masuk ke dalam negeri-negeri muslim. Jika alasan itu dijadikan dasar pengharaman demokrasi, sesungguhnya hal itu tidak tepat. Memang benar demokrasi berasal dari sistem Barat. Namun, tidak ada yang mengingkari bahwa Rasulullah Saw pernah menggunakan cara orang Majusi (Persia) ketika Perang Ahzab, yaitu menggali khandaq (parit besar) atas usul sahabatnya dari Persia, Salman al Farisi. Nabi Saw pun memanfaatkan jasa tawanan Perang Badr untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum muslimin walaupun tawanan itu musyrik. Rasulullah Saw pernah pula membubuhkan stempel ketika mengirim surat dakwah kepada para penguasa sekitar Jazirah Arab sebagai bentuk pengakuan beliau terhadap kebiasaan yang mereka lakukan agar mereka mau menerima surat dakwahnya.
Jadi, tidak ada satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis nonmuslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, alQuran dan asSunnah.
b. Esensi Demokrasi
Esensi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah akademis, adalah wadah masyarakat untuk memilih seseorang mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Mereka pun berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Jika demikiran esensi demokrasinya, di mana letak pertentangannya dengan Islam? Mana dalil yang membenarkan anggapan itu?
Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti akan mendapati kesamaannya dengan prinsip Islam, Misalnya, Islam mengingkari seseorang yang mengimami orang banyak dalam sholat, sementara makmum membenci dan tidak menyukainya. Rasulullah Saw bersabda, Ada tiga orang yang sholatnya tidak dianggat melebihi kepalanya sejengkal pun, lalu beliau menyebut orang yang pertama Orang yang mengimami suatu kaum, sedangkan mereka tidak menyukainya.(HR Imam ibnu Majah. Al Bushairi berkata dalam az Zawaid, isnad-nya shahih dan perawinya tsiqah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya al Mawardi. Keduanya dari Ibnu Abbas).
Sebaik-baik pemimpin kamu kepala pemerintahan- adalah orang yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kebaikanmu dan kamu mendoakan kebaikan untuknya. Sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah yang kamu benci dan ia membenci kamu, kamu mengutuknya dan ia mengutuk kamu. (HR Imam Muslim dari Auf bin Malik).
AlQuran pun mengecam para penguasa tiran di muka bumi, seperti Firaun, Namrudz, penguas kaum Ad, dan alat-alat penguasa, seperti Hamman dan tentaranya, serta bapak kapitalis dunia, Qarun. Hadis pun mengecam penguasa yang tiranik. Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya di dalam neraka jahanam itu terdapat lembah dan di dalam lembah itu ada sumur bernama Hab-Hab yang Allah sediakan bagi penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran. (HR Imam Thabrani denga sanad hasan. Begitu pula Imam Hakim dan disahihkan adz Dzahabi).
Dari Muawiyah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesudahku nanti akan ada pemimpin-pemimpin yang mengucapkan (instruksi) sesuatu yang tidak dapat disangkal. Mereka akan berdesak-desakan masuk neraka seperti berkerubutannya kera (HR Imam Abu Yala dan Imam at Thabrani dalam Shaih al Jami ash Shaghir).
Selain itu, ada hadis dari Muawiyah secara marfu (sanadnya sampai ke Nabi Saw): Tidaklah suci suatu kaum yang tidak dapat meutuskan perkara dengan benar di kalangan mereka dan orang lemahnya tidak dapat mengambil haknya dari orang yang kuat, melainkan dengan susah payah (HR Imam at Thabrani dan para perawinya terpercaya menurut Imam al Mundziri dan Imam al Haitsami).
Masih banyak hadist-hadist serupa yang bertebaran dalam kitab-2 hadist. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa jiwa demokrasi adanya keseimbangan antara state (negara/pemerintah/penguasa) dengan people (rakyat), persamaan sesama manusia, dan kewajiban meluruskan penguasa yang menyimpang sudah lama ada di dalam Islam. Dalam pidato pertamanya sejak diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar ash Shiddiq Ra berkata, Wahai manusia! Kalian telah mengangkatku. Oleh karena itu, jika kalian melihat aku berada dalam kebenaran, bantulah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dalam memimpin kalian. Jika aku melanggar Allah, tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku.32)
Adapun saat menjadi khalifah, Umar bin Khattab Ra pun pernah berkata, Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan aibku kepadaku.
Beliau berkata pada kesempatan yang lain, Hali sekalian manusia! Siapa di antara kalian yang melihat kebengkokan pada diriku, hendaklah dia meluruskanku! Kemudain, ada salah seorang yang menjawab, Demi Allah, wahai putera alKhattab! Jika kami melihat kebengkokan pada diri anda, kami akan meluruskannya dengan pedang kami.
Pernah pula ada seorang wanita yang meluruskan kekeliruan Umar tentang mahar wanita, tetapi Umar tidak menganggapnya sebagai bentuk merendahkan harga dirinya. Beliau justru berkata, Benar wanita itu dan Umar yang salah (meski para ulama hadist masih mempersoalkan kesahihan riwayat dua cerita itu).
Kita dapat melihat betapa pemuka-pemuka umat itu telah mengajarkan cara hidup berdemokrasi yang hakiki. Begitu pula, kaum muslimin saat itu yang tidak punya rasa sungkan, apalagi takut untuk mengkritik penguasa yang menyimpang.
Islam telah mendahului paham demokrasi dengan menetapkan daidah-kaidah yang menjadi penopang esensi dan substansi demokrasi. Namun, Islam menyerahkan perincian dan penjabarannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai prinsip-prinsip ad Din dan maslahat dunia mereka, perkembangan kehidupan mereka, masa dan tempat, serta perkembangan situasi dan keadaan manusia.33)
Sebenarnya, penggunaan istilah-istilah asing seperti demokrasi untuk mengungkapkan makna-makna Islami bukanlah hal yang kita inginkan.34)
Namun, kita tidak mungkin menutup mata karena itulah istilah yang populer digunakan manusia. Justru kita harus mengerti maksudnya agar tidak salah paham atau mengartikannya dengan arti yang tidak sesuai dengan kandungannya atau tidak sesuai dengan maksud orang yang mengucapkannya. Dengan demikian, fatwa yang kita jatuhkan pun sehat dan seimbang.
Tidak masalah jika istilah-istilah itu datang dari luar kita karena kisaran fatwa bukan pada istilahnya, melainkan esensi dan substansinya. Judi tetaplah judi walau dinamakan SDSB. Khamr tetaplah khamr walau dinamakan jamu. Umar bin Khattab Ra pernah merelakan tidak menggunakan istilah jizyah kepada kaum Nashrani di bawah naungan kekuasaannya karena mereka merasa direndahkan dengan istilah itu. Umar menerimanya sambil berkomentar, Mereka adalah orang-orang bodoh. Mereka menolak nama (bungkus), tetapi menerima isinya.
Di dalam istilah Islam, ada ahli syura yang tergabung dalam ahlul halli wal aqdi sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kepada merekalah aspirasi umat disalurkan, lalu dimusyawarahkan untuk dijalankan penguasa.35) Imam Ibnu Katsir mengemukakan di dalam tafsirnya dengan mengutip riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Ali Ra bahwa ia pernah ditanya tentang maksud azam pada ayat, Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah ber-azam, bertawakkal-lah kepada Allah. (QS Ali Imran:159). Berkata Ali Ra, Azam adalah keputusan ahlur rayi, kemudian mereka mengikutinya.
Dengan demikian, Anda boleh mengatakan, Inti demokrasi berdekatan dengan ruh syura Islam. Demikian itu menurut Qaradhawy.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariq.
c. Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Demokrasi
Biasanya, setiap prinsip buatan manusia lemah. Jadi, sudah sewajarnya jika demokrasi memiliki cacat. Itulah yang membuatnya berbeda dengan syura Islam. Dalam hal persamaan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi, ada pandangan yang bagus dan seimbang dari salah seorang pemikir Islam, Dr. Dhiyauddin ar Rais.
Persamaan antara Islam dan Demokrasi36)
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya menyangkut pemikiran sisstem politik tentang hubungan antara umat dan penguasa serta tanggung jawab pemerintahan. Akhirnya, ar Rais sampai pada kesimpulan bahwa antara Islam dan demokrasi tidak hanya memiliki persamaan di bidang politik. Lebih dari itu, unsur-unsur yang terkandung dalam demokrasi dan keistimewaannya pun sudah terkandung di dalam Islam.
Dalam menerangkan hal itu, dia mengatakan, Jika yang dimaksud dengan demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Jika maksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.
Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
Perbedaan antara Islam dan Demokrasi37)
Menurut Dhiyauddin ar Rais, ada tiga hal yang membedakan Islam dan demokrasi. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
Ketiga, kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tapnpa mendapat sanksi.
Menurut Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh-tokoh agamanya karena Islam tidak sama dengan teokrasi.38) Begitupun bukan di tangan UU karena Islam tidak sama dengan nomokrasi atau di tangan umat karena Islam bukan demokrasi dalam pengertian yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan undang-undang atau syariat Islam. Jadi, syariat pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam.
Dr. Dhiyauddin ar Rasi menambahkan, jika harus memakai istilah demokrasi tanpa mengabaikan perbedaan substansialnya sistem itu dapat disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh (internasional), religius, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh pula disebut sebagai demokrasi Islam atau menurut al Maududy demokrasi teokrasi. Demokrasi seperti itulah yang dipahami aktivis Islam termasuk Ikhwanul Muslimun saat terjun di dalam kehidupan politik dan bernegara di negara demokrasi.
Ustadz Mamun al Hudhaibi39) hafizhahullah pernah ditanya pandangan Ikhwan tentang demokrasi dan kebebasan individu. Katanya, Jika demokrasi berarti rakyat memilih orang yang akan memimpin mereka, Ikhwan menerima demokrasi. Namun, jika demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum-hukum Allah Swt dan mengikuti kehendak mereka, Ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam sistem yang memungkinkan syariat Islam diberlakukan dan kemungkaran dihapuskan. Menolong, meskipun sedikit, masih lebih baik daripada tidak menolong. Mengenai kebebasan individu, Ikhwan menerima kebebasan individu dalam batas-batas yang dibolehkan Islam. Namun, kebebasan individu yang menjadikan muslimah memakai pakaian pendek, minim dan atau seperti pria adalah haram dan Ikhwan tidak akan toleran dengan hal itu.40)
---------------------------------------
[32] Ucapan Abu Bakar Ra itu merupakan bantahan yang telak kepada pihak yang tetap memrintahkan taat kepada penguasa yang zalim dan durhaka kepada Allah Swt selama bukan perintah maksiat. Meski begitu, tidak dibenarkan bagi rakyat untuk memberontak karena akan melahirkan kezaliman yang lebih besar.
[33] Ibid. hlm. 928.
[34] Syaikh as Shabuni berkata, Kaum muslimin dibolehkan menggunakan istilah yang kurang baik untuk makna yang baik seperti perkataan Rasulullah Saw, Kerahiban umatku adalah jihad fi sabilillah meskipun alQuran pada dasarnya mencela makna rahbaniyah. Allah Swt berfirman, Mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencari ridha Allah. (QS. Al Hadid: 27).
[35] Para ulama berbeda pendapat tentang keputusan ahli syura: wajib dijalankan penguasa atau sekedar anjuran; boleh menolak atau menerima. Hasal al Banna berpendapat sebagai anjuran saja, sedangkan al Qaradhawy berpendapat wajib dijalankan.
[36] Fahmi Huwaidi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, hlm. 196-198.
[37] Ibid. hlm. 198-200.
[38] Di masa lalu, kaum agamawan Nashrani yang menjadi penguasa sebuah negeri menganggap keputusan mereka adalah keputusan Tuhan. Perkataan dan perbuatan mereka adalah rekomendasi dari Tuhan sehingga rakyat tidak punya hak bertanya mengapa?, apalagi menolak karena semua datang dari Tuhan. Hal itu amat rentan dengan kesewenangan pemimpin dengan menjadikan Tuhan sebagai legitimasi. Namun, Islam tidak menghendaki demikian. Meski para Khulafaur Rasyidin adalah fuqaha, mereka tidak pernah menganggap dirinya wakil Tuhan di bumi. Keputusan selalu mereka ambil melalui syura (musyawarah).
[39] Beliau adalah putera dari mursyid am kedua Ikhwan, Prof. Hasan al Hudhaibi. Pertanyaan itu muncul ketika beliau masih menjabat juru bicara resmi Ikhwan.
[40] Ishlah edisi 67/th. IV/1996, hlm. 24, kol. 2-3.
Ikhwan, Parlemen, Pemilu dan Partai Politik
Telah ada fatwa tentang haramnya seorang muslim aktif di parlemen. Alasannya, Allah Swt melarang kaum muslimin duduk satu majelis dengan orang-orang kafir yang memperolok-olok ayat Allah Swt, Keberadaan seorang muslim yang memperjuangkan aspirasi umat Islam di parlemen adalah ajang bagi orang-orang kafir untuk memper-olok-olok ayat-ayat Allah Swt di depan mereka. Alasan lain, parlemen bukan terlahir dari Islam, melainkan wajihah kufur dari Barat.
Sesungguhnya di antara musibah yang menimpa kaum muslimin saat ini adalah ghirah Islam yang begitu tinggi, tetapi tidak diikuti landasan ilmu dan tashawwur (persepsi) yang benar terhadap ajaran Islam. Belum termasuk kelengahan sebagian ulamanya yang mudah menelorkan tarwa-fatwa instan yang justru kontraproduktif dengan perjuangan kaum muslimin. Itulah yang ditunggu-tunggu musuh-musuh Islam. Gerakan Islam yang mengatur strategi perjuangan dan pemanfaatan sarana terhenti dan jatuh lantaran fatwa-fatwa janggal yang mengharamkan parlemen, Pemilu dan partai politik. Anehnya mereka merasa telah berjasa untuk Islam dengan perbuatannya itu. Tanpa mereka sadari, musuh Islam bertepuk tangan dan berterima kasih kepada mereka karena telah menyelesaikan sebagian tugas musuh Islam dengan gemilang untuk mencegah para pejuang yang begitu payah memperjuangkan kejayaan agamanya.
a. Tentang Parlemen
Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan untuk mengharamkan parlemen sungguh tidak pada tempatnya. Kekhawatiran bahwa ayat-ayat Allah Swt akan diperolok-olok jika kita hadir di sana pun adalah alasan yang mengada-ada. Begitupun anggapan keikutsertaan di parlemen atau pemerintahan tidak Islami adalah bentuk pengakuan terhadap kesekuleran mereka. Namun, alasan itu pun tidak tepat karena Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya (HR Imam bukhari dan Imam Muslim. Hadist itu masyhur menurut kalangan Hanafiyah).
Ibnu Taimiyah berkata, Itu merupakan perkara yang harus dibedakan menurut niat dan tujuannya. Siapa yang menjadi pembantu penguasa zalim, lalu menjadi penengah antara penguasa dan rakyat yang dizalimi agar penguasa itu menghentikan kezalimannya, ia adalah orang baik. Namun, jika ia cenderung membantu penguasa yang zalim itu, ia termasuk yang berbuat buruk.41)
Seorang muslim yang menjadi anggota dewan di parlemen tidak mengira dan tidak pernah terlintas dalam kesadarannya akan munculnya olok-olok kaum kafir di parlemen terhadap ayat-ayat Allah Swt. Bahkan, sekalipun ada, justru itu menjadi hujjah (alasan) baginya untuk berada di parlemen mengurangi kezaliman mereka semampunya atau sebagai pengimbang kekuatan kuffar. Jadi, bukan lari dan menghindari kuffar yang justru membuat mereka leluasa melecehkan Islam dan kaum muslimin. Akhirnya, umat Islam tidak memiliki wakil dan tidak tahu cara untuk menyalurkan aspirasinya. Apa jadinya lantaran fatwa itu- umat Islam tidak memiliki satu pun wakil parlemen di negerinya sendiri? Semuanya nonmuslim, sekuler bahkan ada yang musyrik atau ateis dan mereka semua memusuhi Islam. Tentunya, mustahil kepentingan umat Islam mendapat jatah yang wajar. Sebaliknya, jahiliyah mendapat tempat yang luas secara fikrah maupun hukum-hukumnya.
Berkata Mamun al Hudaibi, Ikhwan tidak melibatkan diri dalam parlemen untuk membuat produk hukum yang tidak Islami. Namun paling tidak, sedapat mungkin mencegah keluarnya hukum-hukum jahiliyah. Ikhwan menggolongkan pekerjaan itu sebagai bagian amar maruf nahi munkar. Meski demikian, nahi munkar tidak akan berhasil hanya dengan slogan dan pernyataan bahwa hal ini atau hal itu haram. Namun, sebuah alternatif lain pun mesti diperkenalkan untuk menghindari kesalahan fatal.42)
Apakah kita rela jika khamr menjadi halal karena telah disahkan DPR/MPR? Apakah pelacuran mendapatkan legalitas karena telah sah menurut peraturan daerah karena omzetnya sangat besar bagi pendapatan asli daerah? Apakah kita mau pelajaran agama dihilangkan dari sekolah hanya karena berbau SARA (dan itu sudah ditetapkan melaui Tap MPR). Apakah kita akan diam jika tabligh akbar atau majlis talim dibubarkan karena dilarang UU antiterorisme? Apakah itu semua yang kita inginkan hanya karena haram berada di dalamnya sehingga di sana tidak satu pun aktivis Islam yang mencegah dan melawan semua itu?
Demikian masalahnya yang ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mufti yang profesional akan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada dan tidak berpikir naif dan pendek agar fatwa yang dihasilkan memiliki kekuatan yuridis (hujjah) dan membumi serta relevan dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Bagi para mufti (pemberi fatwa), ada baiknya memperhatikan nasihat Syaikh al Imam Muhammad Abu Zahrah rahimahullah, Syarat lain seorang mufti adalah harus tahu benar kasusnya dan mempelajari psikologi peminta fatwa dan lingkungannya agar dapat diketahui dampak negatif maupun positif dan fatwa sehingga tidak menjadikan agama Allah Swt bahan tertawaan dan permainan.43)
Hal itu sama dengan keikutsertaan seorang muslim dalam pemerintahan yang zalim (tidak islami). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Segala puji bagi Allah . Jika ia berusaha berbuat adil dan menyingkirkan kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan kebaikan dan maslahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang lain, ia diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan dia tidak berdosa karenanya. Bahkan, jabatan itu lebih baik daripada di tangan orang lain dan menjadi wajib jika tidak ada orang lain yang sanggup memegangnya.44)
Ibnu Taimiyah melanjutkan, Jika ada yang berkata, Engkau tidak boleh terlibat dalam kekuasaan itu dan engkau harus angkat kaki darinya padahal jika ditinggalkan akan diambil alih orang lain dan kezaliman semakin menjadi-jadi berarti orang yang berkata seperti itu adalah orang yang bodoh dan tidak bisa membaca keadaan dan hakikat agama.45)
Bahkan, ada pandangan ekstrem dari Imam Izzuddin bin Abdus Salam, Jika orang kafir menjadi pemimpin suatu wilayah yang luas, lalu mereka melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dapat mendatangkan maslahat bagi orang-orang mukmin secara umum, keadaan itu dapat dijalankan karena mendatangkan mashalat secara umum dan menyingkirkan mafsadat sekalipun jauh dari rahmat syariat karena memang orang yang memiliki kesempurnaan dan layak diserahi kekuasaan itu tidak ada.46)
Demikianlah pandangan yang mendalam dari para Imam kita. Adakah kita dapat mengambil pelajaran? Jika kita baca sejarah umat ini dengan baik, niscaya akan kita temukan bahwa konsep parlemen telah ada dalam perjalanan kehidupan politik umat Islam pada masa-masa keemasannya. Pada masa Khalifatur Rasyid kedua, Umar bin Khattab Ra, beliau telah menunjuk enam orang sahabat Nabi Saw yang senior dan alim 47) untuk mendiskusikan calon pengganti dirinya. Itulah parlemen sederhana dan sementara yang mewakili segenap suara umat Islam masa itu. Para Ulama kita memberi nama ahlul halli wal aqdi (Dewan Perwakilan). Adapun parlemen yang kita kenal saat ini adalah bentuk modern dan lebih kompleks dari ahlul halli wal aqdi saat itu.
b. Tentang Pemilu atau Pemungutan Suara
Sebagian kaum muslimin telah mengigau dengan menganggap syirk berpartisipasi dalam pemungutan suara.48) Pemungutan suara atau Pemilu adalah bentuk perampasan hak Allah Swt sebagai Hakim karena dalam Pemilu keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Anggapan itu amat gegabah. Disadari atau tidak, orang-orang seperti itu terjebak pada tuduhan sesat ke mayoritas umat Islam karena mayoritas umat Islam telah menggunakan cara itu untuk memilih anggota legislatif dan pemimpin. Ada beberapa hal yang perlu kita dudukkan sesuai tempatnya.
Pertama, kita bicara tentang Pemilu di negeri muslim: kandidatnya muslim, pemilihnya pun muslim dan keterlibatan nonmuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.49). Kedua, adanya campur tangan namusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Swt berfirman, hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.(QS ath Thalaq:2). Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri. (QS an Nisa:35). Ketiga, jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah azza wa Jalla berfirman, hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu. (QS ath Thalaq:2) dari saksi-saksi yang kamu ridhai. (QS al Baqarah:282). Si pemilih harus jujur bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur (kesaksian palsu). Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu). (QS al Hajj:30).
Jadi, siapa saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu menyalahi perintah Allah Swt, Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS ath Thalaq:2).
Di sisi lain, siapa yang tidak mau memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembuhyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah Azza wa Jall berfirman, Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil. (QS alBaqarah:208) Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya. (QS alBaqarah:283)
Kesaksian terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam50)
c. Tentang Partai Politik
Saudara-saudara kami bersuara miring terhadap Ikhwan lantaran menurut mereka- saat ini Ikhwan telah menyimpang dari manhaj Hasan al Banna. Bukanlah al Banna menolak berdirinya partai-partai dan tegas mengatakan bahwa Ikhwan bukan partai? Namun dalam perjalanannya, para pengikut gerakan ini di banyak negara telah mendirikan parta politik sebagai salah satu sarana dakwanya.51) Ada pula saudara-saudara kami semoga Allah Swt meluruskan kita semua- menyatakan bahwa mendirikan parpol adalah haram dan bidah. Alasannya, parpol bukan sarana dakwah Rasulullah Saw dan salafush shalih. Selain itu, adanya parpol Islam mengindikasikan adanya perpecahan di tubuh umat Islam dan tentunya hal itu haram juga.
Kepada kelompok pertama, seharusnya terlebih dahulu mereka mengetahui salah satu karakter agama ini, yaitu murunah (fleksibel), bagi masalah-masalah yang tidak ada nashnya secara jelas dan tegas. Begitu pula karakter dakwah Islam yang dipahami Ikhwan selalu terbuka bagi perubahan yang positif dan bermanfaat. Itu bukanlah cela dan bukan pula penyimpangan manhaj. Hal itu memiliki landasan kuat dalam konstitusi Islam dan sejarahnya. Imam Syahid Hasan al Banna bukanlah ulama yang jumud, bukan pula diktator yang memberlakukan hasil ijtihadnya kepada orang lain dalam waktu tidak terbatas. Ucapannya bukanlah firman Allah Swt, bukan pula sabda baginda Nabi Saw yang mashum. Seandainya ijtihad beliau benar seperti penolakan terhadap keberadaan partai-partai pada masanya- ijtihad itu benar dan pas pada masa dan tempatnya, tetapi belum tentu benar dan pas pada masa dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya perbedaan al Banna dengan pengikutnya bukanlah perbedaan dalil-dalil, melainkan perbedaan situsasi, kondisi, zaman dan tempat. Hal ini telah masyhur di kalangan ahli ilmu bahwa ijtihad atau fatwa tentang masalah yang sama sangat mungkin berubah sesuai perubahan situasi, kondisi, zaman dan tempat. Selama mencakup muatan yang memang mungkin berubah (mutaghayyirat), bukan yang baku (tsabit) seperti rukun iman, rukun sholat dan rukun Islam.
Berkata Ibnu Abidin, Masalah-masalah fiqhiyah adakalanya ditetapkan hukumnya berdasarkan nash (teks) yang sharih (jelas) dan adakalanya ditetapkan melalui ijtihad. Pada umumnya, seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan yang berkembang pada zamannya. Seandainya ia berada pada zaman yang lain dengan kebiasaan yang baru, niscaya ia akan mengeluarkan pendapat bahwa mujtahid harus mengenali kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dapat dimengerti jika terdapat banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda lantaran perbedaan zaman. Dengan kata lain, seandainya suatu diktum hukum ditetapkan seperti sediakala, niscaya timbul masyaqqat (banyak kesulitan) dan mudharat bagi manusia. Selain itu, hal itu bertentangan dengan kaidah syariat yang didasarkan pada takhfif (meringankan), taysir (memudahkan) dan dafu adh dharar (menghindari kerusakan) demi terwujudnya tatanan masyarakat yang baik dan kokoh. Oleh karena itu, kita dapati tokoh-tokoh ulama mazhab menentang ketetapan hukum mengenai banyak hal yang telah ditetapkan masyarakat berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada zamannya. Jika diandaikan tokoh ulama mazhab itu hidup sezaman dengan mereka, niscaya ia akan berpandangan sama dengan pendapat mereka (baca: masyarakat).52)
Berkata Syaikhul Islam Yusuf al Qaradhawy, Tanpa mengenal manusia dan bersosialisasi dengan mereka, seorang mufti akan berada dalam kesesatan atau tertidur dalam khayalan dan berseberangan dengan kondisi umat sesungguhnya. Ia hanya mengetahui hal yang seharusnya (idealitas) tanpa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi (realitas), sedang hal yang ideal tentu berbeda dengan kenyataan. Kemudian, al Qaradhawy mengutip ucapan Ibnul Qayyim dalam Ilamul Muwaqiin, Seorang yang faqih adalah orang yang mengaplikasikan secara sinkron nilai yang ideal dan nilai yang sedang terjadi karena setiap masa memiliki kentuan hukum tersendiri dan manusia cermin kemiripan dengan kondisi masa mereka seperti kemiripan mereka dengan orangtua mereka.53)
Seandainya al Banna hidup hingga kini, tidak mustahil ia akan mengubah ijtihad-nya karena ia bukan jenis ulama yang kaku. Hal itu terjadi pula pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy Syaibani yang banyak berbeda pendapat dengan gurunya sendiri, Imamul azham Abu Hanifah. Para ulama kita menyebutkan bahwa perbedaan antara murid dan guru itu bukanlah perbedaan dalil, melainkan perbedaan waktu dan kondisi. A Imam Nahirus Sunnah Asy SyafiI ra ketika masih tinggal di Madinah memiliki pandangan fiqh dan ijtihad yang sering disebut Qaul Qadim (pendapat lama). Namun ketika hijrah ke Mesir seiring dengan perbedaan kondisi yang dihadapi serta kematangan usia dan ilmu- beliau merevisi pendapatnya dalam Qaul Jadid (pendapat baru). Semua yang mereka lakukan sejalan dengan contoh dari Rasulullah Saw dan sahabatnya.
Rasulullah Saw pernah melarang kaum wanita berzirah kubur. Namun ketika kondisi berubah dan akidah tauhid telah menghujam ke dalam dada, Rasulullah Saw mengizinkan mereka.54) Rasulullah Saw pernah melarang seorang suami baru mencium insterinya saat pemuda itu berpuasa. Namun, pada saat hampir bersamaan Rasulullah Saw membolehkan seorang suami yang sudah lama mencium isterinya saat berpuasa. Perbedaan izin itu berdasarkan pada perbedaan keduanya. Biasanya suami baru lebih sulit mengendalikan hasrat seksualnya dibanding suami yang sudah lama dan dikhawatirkan akan membahayakan puasanya. Selain itu, salah satu adab perang dalam Islam adalah Rasulullah Saw melarang menebang pepohonan. Namun ketika perang melawan Yahudi, Rasulullah Saw membolehkan menebang pepohonan sebagai strategi untuk melemahkankondisi mereka.
Abdullah bin Abbas Ra pernah ditanya seorang pemuda, Jika aku membunuh, apakah tobatku akan diterima? Ibnu Abbas menjawab, Tidak! Jawaban itu amat mengejutkan sahabat lainnya. Ibnu Abbas pun memberi tanggapan, Aku melihat di mata orang muda itu, ada keinginan yang amat kuat untuk membunuh. Jadi, jawaban tidak Ibnu Abbas Ra adalah upaya untuk menakut-nakuti pemuda itu agar mengurungkan niatnya membunuh. Seandainya pembunuhan itu terjadi, lalu pemuda itu bertanya tentang hal yang sama, niscara Ibnu Abbas Ra akan menjawab Ya agar pemuda itu tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah azza wa jalla. Itu semua adalah bukti kedalaman ilmu Ibnu Abbas Ra yang mengerti betul perubahan fatwa karena perbedaan kondisi, waktu dan tempat.
Uraian ini sudah amat menjelaskan bahwa parai politik Islam yang didirikan Ikhwanul Muslimun adalah salah satu sarana dakwah dan bukanlah hal yang tabu, apalagi keliru, walau pendiri Ikhwan mencela keberadaan partai-partai pada masanya. Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan penyimpangan manhaj Ikhwan masa kini karena hanya masalah ijtihadi yang berubah-ubah. Sarana dakwah itu sama kedudukannya di mata Ikhwan dengan sarana-saranan lainnya, seperi yayasan-yayasan sosial, kelompok diskusi, karang taruna atau kelompok kajian budaya. Pembeda semua itu adalah objeknya. Jika partai bergerak di wilayah politik, sarana lain bergerak di wilayah sosial, pendidikan dan budaya.
Kepada kelompok kedua, menahan lisan dari mengucapkan kata-kata haram dan bidah terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan adaah sikap seorang alim yang benar. Adapun membiarkan lisan dan tulisan bergerak liar menuruti hawa nafsu dengan membuat vonis haram-bidah, selain bukan sifat ahli ilmu, bukan pula akhlak salafush shalih yang sama-sama kita teladani. Allah azza wa jalla berfirman, Janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu yang disebut-sebut lidahmu secara dusta, Ini halal dan ini haram untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah (an Nahl: 116)
Sesungguhnya itu adalah urusan dunia yang hukum asalnya mubah, kecuali ada nash yang melarangnya sesuai kaidah, Kullu Asya al Ibahah illa Ma Warada Anisy Syari Tahrimuhu. Segala sesuatu diperbolehkan kecuali ada ketetapan dari syari (pembuat syariat) tentang pengharamannya. Mereka mengatakan haram dan bidah-nya partai politik semata karena hal itu tidak pernah dilakukan dan diajarkan Rasulullah Saw, sahabat dan salafush shalih. Alasan itu amatlah sederhana untuk mengharamkan sesuatu yang sebenarnya telah memiliki hak eksistensi menurut keluasan kaidah syariat. Tidak ada yang mennyangkal bahwa telah banyak perubahan dan hal-hal baru pada masa sahabat yang belum ada pada masa Rasulullah Saw. Pada masa tabiin pun perubahan terjadi. Namun, ahli ilmu saat itu jauh lebih dalam ilmunya dan jauh lebih takut kepada Allah Swt dibandingkan kita- tidak ada yang mengingkari semua perubahan itu.
Pada masa Abu Bakar ash Shiddiq Ra, beliau mengadakan Baitul Maal yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat senior lain tidak ada yang mempermasalahkan, apalagi melarangnya. Justru mereka mendapat manfaat darinya. Pada masa Umar Ra, beliau mengadakan penjara bagi pelaku tindak kejahatan, menggaji prajurit perang dan menyediakan mahkamah pengadilan. Itu adalah hal yang benar-benar baru saat itu dan tidak ada yang melarangnya. Pada masa Utsman bin Affan Ra telah mapan, dilakukan kodifikasi mushaf alQuran padahal pada masa Rasulullah Saw alQuran hanya berupa mushaf terpisah. Haramkah itu semua? Bidah-kah? Barangkali memang bidah (hal yang baru), tetapi bukan dalam pengertian bidah syara, melainkan bidah dalam arti lughawi (bahasa).
Partai politik adalah benar sesuatu yang baru (bidah), tetapi bukanlah bidah dalam pengertian syara. Para ulama mengatakan, semua bidah dalam agama yang tidak ada landasannya secara khusus aau umum adalah bidah dhalalah (sesat). Tidak ada bidah hasanah di dalamnya. Itulah makna hadit Kullu bidatin dhalalah (setiap bidah adalah sesat). Berkata Imam Malik Ra, Siapa yang berbuat bidah, lalu mengira baik (hasanah) perbuatannya itu, sama saja menuduh Nabi Muhammad Saw mengkhianati risalah (Islam). Berkata Hasan al Banna, Setiap bidah dalam agama Allah Swt yang tidak ada pijakannya, berupa penambahan maupun pengurangan tetapi dianggap baik hawa nafsu manusia adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan secara sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan keburukan yang lebih parah.
Tegasnya, bidah yang diharamkan adalah ajaran berupa pemikiran atau praktik baru dalam urusan agama yang tidak memiliki dalil khusus atau umum. Ajaran tersebut ibarat sesuatu yang menyelinap dan menyusup ke dalam Islam, padahal bukan bagian dari Islam. Adapun urusan dunia, inovasi yang dibuat manusia tidak termasuk bidah yang sesat! Barangkali itulah yang cocok disebut bidah hasanah itu. Rumah sakit, bank Islam, majalah sekolah, kampus, organisasi adalah hal bru yang belum pernah ada pada masa Nabi Saw atau satu abad setelahnya. Hanya manusia purba yang meng-kategori-kan semua itu sebagai bentuk bidah sesat. Salafush shalih berlepas diri dari anggapan seperti itu. Jika ada manusia seperti itu, tidak perlu pandangannya mengatas-namakan manhaj salaf. Kasihan sekali para pendahulu kita sebaik-baik umat dan masa- telah dizalimi orang-orang yang tidak mampu menampilkan wajah salaf dengan baik dan benar. Wajah salaf yang mulia ditampilkan dengan tidak sepantasnya, kolot, jumud dan dhayyigul ufuk (sempit pandangan).
Alasan lain adalah adanya parpol (Islam) menunjukkan atau berpotensi menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Kewajiban dan kemutlakan persatuan umat Islam telah diketahui orang awam dan ditegaskaskan orang alim. Adapun perpecahan adalah indikasi cacatnya iman seseorang, bahkan mendekati kekufuran. Hal itu telah sahih dan sharih dalam dua pusaka Rasulullah Saw, alQuran dan asSunnah. Namun, benarkah berdirinya parpol berasaskan Islam mempunyai arti perpecahan atau penyebab perpecahan? Mungkin benar, mungkin juga tidak. Dalam memahami tu perlu dipetakan dan dibatasi masalahnya secara jelas. Analoginya berikut ini.
Menuntut ilmu adalah perbuatan mulia, begitu pula hal-hal yang menjadi derivatnya, seperti mengerjakan PR, ujian bersama, belajar kelompok, atau apa pun namanya. Namun, jika ada yang melakukan kecurangan dalam proses menuntut ilmu misalnya mencontek ketika ujian- bukan menuntut ilmunya yang tercela (baca: haram), melainkan tindakan curangnya itu. Sama halnya dengan muzhaharah (demonstrasi) sebagai upaya menyalurkan aspirasi atau taushiah adalah sah-sah saja. Namun, jika diikuti dengan hujat-menghujat, sumpah serapah, dan ucapan kotor, itu tidak dapat dibenarkan. Jadi, perilaku kotor yang ada di dalamnya yang layak dicegah, bukan demonstrasinya.
Demikian pula halnya dengan partai politik yang sekedar wadah manusia berkumpul seperti perkumpulan lain yang dibuat manusia. Jika ada yang berbuat jahat di dalam sebuah parpol atau organisasi nonpolitik- serta sesalu mengajak perpecahan, korup dan asusila, perilaku bejat manusia yang ada di dalamnya yang perlu disalahkan bukan wadahnya. Berbeda partai Islam pun tidak selalu berarti perpecahan. Rasulullah Saw pernah membiarkan para sahabatnya tetap di bawah panji kabilah masing-masing ketika melakukan ghazwah (peperangan). Para sahabat Nabi Saw tidak sedikit menisbatkan dirinya pada sukubangsa mereka dan Nabi Saw tidak melarangnya karena tidak menunjukkan kesombongan dan perpecahan. Contohnya, Salman al Farisy (Salman si Persia), Abu Ayyub al Anshary (Abu Ayyub orang Anshar), Abu Musa al Asyary (Abu Musa orang Asyary, kabilah di Yaman). Begitu pula ulama kita yang menymatkan di belakang nama mereka mazhab fiqh yang mereka anut. Contoh, Imam al Ghazaly asy Syafii (ia bermazhab Syafii, Abu Bakar bin al Araby al Maliky (bermazhab Maiki) dan Imam Abu Rajab al Hambali (bermazhab Hambali). Jadi, semua itu tidak maslah jika tidak diikuti fanatisme buta.
Semoga Allah Swt merahmati alAllamah al Imam Yusuf al Qaradhawy ketika berkata bahwa partai-partai adalah mazhab-mazhab dalampolitik, seperti mazhab adalah partai-partai dalam fiqh. Gejala wajar dan alami pula jika manusia cenderung berkelompok dengan manusia lain yang memiliki kesamaan pandangan dan tujuan. Amat dimalumi jika ada manusia yang mendirikan yayasan, karang taruna, study club, laskar jihad atau partai politik. Seuanya adalah sama, yaitu sama-sama wadah manusia berkelompok. Perbedaannya hanya terletak pada obyek aktivitasnya. Apa pun bentuk, nama dan obyek aktivitasnya jika semuanya memiliki tujuan yang tidak benar, merusak dan jahat, tanpa kecuali- tidak syak lagi keharamannya. Misalnya, sindikat narkoba, komplotan bajak laut atau gank-gank jalanan. Adapun jika kelompok apa pun dibentuk berdasarkan pada tujuan yang mulia demi menjaga kehormatan manusia, agama, harta, akan dan jiwa, itu merupakan sebuah amal shalih dalam agama.
Kepada kaum muslimin, kita tentu memahami bahwa salah satu tugas pengabdian manusia kepada Khaliq-nya adalah iqmatuddin (menegakkan agama) di semua lini kehidupan. Untuk itu, diperlukan kekuatan penopang, pelindung dan penyempurna penerapan ajaran agama dan syariah. Dalam hal ni, penguasa adalah pihak yang memiliki kekuatan untuk itu karena ucapannya didengar, titahnya dijalankan, bahkan mereka merupakan bayangan Allah Swt di bumi (HR Imam Bukhari). Wajar jika Imam Ahmad dan Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan seandainya punya doa yang mustajab, niscaya mereka akan mendoakan kebaikan bagi penguasa. Masalahnya, penguasa seperti apa yang mau sadar melakukan tugas menopang, melindungi dan menyempurnakan syariat Islam? Tentu penguasa yang shalih dan mengerti. Bagaimana memilih orang yang shalih dan mengerti serta memiliki kekuasaan? Tentu harus melalui aturan main (mekanisme) yang telah terlanjur ada dan mapan di sebuah negara. Umumnya melalui jalur politik kepartaian. Begitulah alur yang harus dipahami dan dilalui jika ingin memperbaiki umat dengan syariah. Utsman bin Affan Ra berkata, Segala yang tidak dapat diluruskan alQuran, Allah Swt akan meluruskan melalui tangan penguasa.
Apa jadinya jika umat Islam sendiri mengharamkan keberadaannya? Jalur apa yang dapat dijadikan sarana bagi aktivis Islam untuk bergerak dalam mewujudkan manusia yang adil dan sejahtera? Sungguh kesempitan itu tidak akan terjadi seandainya tidak ada fatwa janggal yang mengharamkan parpol. Mungkinkah orang soleh dan mengerti dapat menjadi presiden, menteri atau anggota dewan jika mereka hanya duduk diam dan manggut-manggut di depan kitab Syarah Aqidah Thahawiyah, Aqidah Washitiyah, Aqidah Salaf ash Habul Hadits dan Fathul Majid?55) Untuk masa kini, masyarakat kita butuh orang yang layak dan kenal tokoh yang akan menjadi pemimpin mereka.
Tentu pihak yang mengharamkan parpol tidak akan ridha jika mereka dipimpin orang-orang kafir, zalim atau fasiq. Jadi, biarkan aktivis Islam bergerak mengikuti mekanisme yang ada sebagai jalur perjuangan mereka. Nyatanya, Rasulullah Saw pernah memanfaatkan kebiasaan masyarakatnya untuk mashalat dakwah ketika kedudukan beliau masih lemah seperti keadaan aktivis dan umat Islam saat ini. Seharusnya setiap muslim apalagi yang faqih terhadap agamanya- membantu saudaranya yang berjuang dan bukan menjegal dengan fatwa-fatwa menyesatkan. Ada syair yang cocok untuk itu, Jangan kau caci kegelapan, tetapi nyalakanlah pelita.
Ya Allah! Berikan petunjuk kepada kami yang benar itu benar dan kuatkanlah kami untuk mengikutinya. Berikan petunjuk kepada kami bahwa yang salah itu salah dan kuatkanlah kami untuk menjauhinya.
---------------------------------------
[41] Yusuf al Qaradhawy, Fiqih Daulah, hlm. 269.
[42] Ishlah, Loc cit, hlm. 23, kol. 1.
[43] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hlm. 595.
[44] Yusuf al Qaradhawy, Op Cit, hl, 263.
[45] Ibid, hlm. 265.
[46] Ibid, hlm. 262.
[47] Penunjukkan kepada enam sahabat Nabi yang senior dan alim itu mengisyaratkan bahwa orang yang layak menjadi ahlus syura dalam ahlul halli wal aqdi, adalah orang yang bermoral, berpengalaman, berwibawa dan berilmu. Ketiga hal itu ada pada enam sahabat Nabi tadi. Amat berbeda dengan yang terjadi hari ini. Dengan alasan persamaan hak, siapa saja berhak dicaonkan dan menjadi anggota dewan tanpa meperdulikan kebejatan atau kebodohannya. Hal itu tidak lain menunjukkan ambisi memperbanyak jumlah kelompoknya di parlemen karena bingung terhadap kondisi kelompoknya yang minim kader berkualitas.
[48] Mereka menyebutkan ada 36 mafsadat (kerusakan) akibat pemungutan suara, di antaranya: 1. Perbuatan syirik kepada Allah Swt 2. Menekankan pada suara terbanyak 3. Anggapan dan tuduhan bahwa Dinul Islam kurang lengkap 4. Pengabaian alWala wal bara 5. Tunduk kepada UU sekuler 6. Mengecoh orang banyak, khususnya kaum muslimin 7. Memberikan kepada Demokrasi baju Syariat 8. Membantu dan mendukung musuh Islam 9. Menyelisihi Rasulullah Saw dalam metode menghadapi musuh 10. Termasuk wasilah yang diharamkan 11. Memecah belah kesatuan umat 12. Menghancurkan persaudaraan sesama muslim 13. Mewujudkan fanatisme golongan atau partai yang terkutuk 14. Menumbuhkan pembelaan (jahiiyah) terhadap partai-partai di golongan mereka 15. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk maslahat golongan 16. Janji-janji tanpa realisasi dari para calonnya hanya ntuk menyenangkan hati pemilih 17. Pemalsuan, penipuan dan pembohongan untuk meraih simpati massa 18. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk kampanye, bahkan kadang-kadang sampai meninggalkan kewajiban agama 19. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan 20. Money Politic dari kandidat untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih 21. Terpedaya dengan kuantitas, bukan kualitas 22. Ambisi merebut kursi tanpa peduli pada rusaknya akidah 23. Memilih seorang calon tanpa memandang akidahnya 24. Memilih calon tanpa peduli dengan syarat-syarat syarI seorang pemimpin 25. Pemakaian dalil-dalil syarI tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura, yaitu Dan urusan mereka, mereka selesaikan dengan musyawarah 26. Tidak diperhatikannya syarat-syarat syarI dalam kesaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian 27. Penyamarataan yang tidak syarI, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, alim dan jahil, shalih dan fasik, muslim dan kafir 28. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda: Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita (HR. Bukhari) 29. Mengajak menusia kepada tempat-tempat pemalsuan 30. Termasuk tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran 31. Melibatkan diri dalam perbuatan sia-sia 32. Jani-jani palsu dan semu yang disebar 33. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti partai islam, pemillu islami, kampanye islami, dll 34. Berkoalisi dan beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak 35. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara 36. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas, karena kalah atau merasa dicurangi (As Sunnah edisi 11/Th. III/1420-1999, hlm. 39)
Terlihat bahwa betapa anggapan ini terlalu instan, memaksa, mengada-ada, dan ghuluw (berlebihan), sekaligus menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memahami masalah. Seharusnya mereka memetakan masalah itu dengan baik bahwa Pemilu adalah satu hal, sedangkan manusia sebagai penyebab kerusakan-kerusakan adalah hal lain. Pemilu sebagai sebuah sarana atau cara tidak sesederhana itu untuk dianggap sebagai perbuatan syirik, wasilah yang haram, atau menyalahi metode Rasul Saw. Meski kami tidak mengingkari bahwa Pemilu memiliki cacat dan kekurangan yang sulit dihindari, seperti pemyamarataan orang yang dipilih tanpa mempertimbangkan keshalihan atau kefasikan, alim atau jahil, muslim atau kafir. Hali pilihan-pilihan itu menjadi representasi bahi pemilihnya. Namun, tidak sepantasnya jika kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia ketika Pemilu berlangsung diarahkan kepada Pemilunya, padahal Pemilu hanyalah alat. Semua kerusakan yang disebutkan tadi tidak lain bersumber pada mentalitas atau moralitas manusianya yang bermasalah. Jika terjadi money politic, perpecahan dan lainnya seperti yang mereka sebutkan, sungguh hal itu dapat terjadi pada cara selain Pemilu. Bahkan pihak yang menerapkan sistem syura (musyawarah) pun mungkin saja diikuti money politic atau perpecahan seperti yang pernah kita dengar. Meski begitu, apakah syura menjadi buruk? Tentu tidak. Itu hanya masalah mentalitas manusianya.
[49] Bagaimana dengan Pemilu di negara berpenduduk muslim yang tidak menerapkan syariat Islam alias bukan negara Islami? Bagaimana berpartisipasi dalam Pemilu di sana? Keragu-raguan itu dijawab Syaikh Mamun al Hudaibi, Para ulama salaf yang kami ikuti tuntunannya menggunakan cara serupa ketika menemui para pemimpin negeri di zamannya (catatan: kebanyakan dari pemimpin itu lebih buruk sifatnya dibandingan para pemimpin negeri dewasa ini). Mereka membri nasihat dan melarang dari kejahatan. Tujuan Ikhwan memasuki parlemen adalah mencoba mencegah kezaliman semampu mereka. Anda boleh saja mengatakan, Ini kan pemerintahan rezim non-Islami? Memang benar bahwa rezim sekarang bukanlah rezim negara yang berlandaskan Islam. Namun masalahnya apakah rezim ini dipimpin seorang kafir yang membolehkan keterlibatan pihak mana pun dalam sistem yang dibangunnya? Jawaban-nya, seluruh pejabat yang menjalankan pemerintahan itu seperti di Mesir- bukanlah orang-orang kafir, melainkan mujrimin (pelaku dosa). Kami tidak menghukumi keimanan seseorang sepanjang mereka tidak mengumumkan diri keluar dari Islam. Namun, kami adalah juru dahwah yang menyeru kepada Allah Swt (lihat buku Nahnu Duat La Qudhat Kami Penyeru Dakwah bukan Penuduh) yang ditulis Hasan al Hudaibi. (Ishlah edisi 67/Th. IV, 1996, hlm. 24, kol. 1-2)
[50] Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II, hal. 929-930
[51] Tidak semua pejuang Ikhwan mendirikan partai politik, seperti HAMAS di Palestina atau Jamaah Islam Malaysia di Malaysia karena Ikhwan memahami setiap negara memiliki realitas politik tersendiri yang perlu penanganan spesifik dan berbeda dari negara lain. Perlu diketahui, ada tokoh-tokoh Ikhwan yang menolak parpol, seperti Fathi Yakan, Muhammad Qutb dan Sayyid Qutb. Mereka cenderung mendahulukan dakwah tauhid atau revolusi. (Mustafa Mahmud Thahhan, Rekonstruksi Menuju Gerakan Iszlam Modern, kata pengantar)
[52] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, hlm. 420. Baca juga Yusuf al Qaradhawy, Fikih Taysir, hlm. 21
[53] Yusuf al Qaradhawy, Konsep dan Praktik Fatwa Kontemporer, Antara Prinsip dan Penyimpangan, hlm. 39
[54] Sebagian Ulama kita menetapkan, pemberian izin Rasulullah Saw itu bukanlah menasakh (menghapus) larangan yang pertama. Larangan untuk berziarah tidak lain adalah penundaan karena kondisi akidah mereka belum siap. Ketika kondisi berubah Rasulullah Saw mengizinkannya. Hal itu sama halnya dengan perintah Allah Swt untuk menahan diri dari jihad dan baru diizinkan ketika turun ayat udzina lilladzina yuqataluna bi annahum zhulimu. Itupun sebuah penundaan yang baru diizinkan pada saat keadaan berubah, yaitu saat kaum muslimin memiliki kekuatan aqidah dan materi.
[55] Penyebutan kitab-kitab itu bukan bermaksud melecehkan kitab-kitab ulama yang amat bermanfaat itu. Konteks kalimat itu adalah sebagai pertanyaan kritis bagi manusia yang selalu mengkaji kitab-kitab itu tanpa melihat dunia luar, apalagi alergi dengan dunia luar.
Ikhwan Berlebihan (Israf) dalam Berpolitik?
Ikhwanul Muslimun sebagai gerakan massa keagamaan dianggap telah melampaui batas wilayah kerjanya; dakwah. Masuknya mereka ke dalam wilayah politik akan membuat dakwah mereka terbengkalai dan tidak murni lagi. Bahkan, dakwah akan tercemari getah-getah politik yang biasa mengotori pelaku politik. Pandangan seperti itu tidak lain berangkat dari tashawur yang juziyah (parsial) tentang taalimul Islam (muatan ajaran Islam). Pemilahan Islam dan politik atau aspek lainnya tidak dapat dibenarkan menurut nash maupun sejarah. Orang-orang seperti itu memiliki pendahulu dan kader. Dalam pandangan mereka Islam adalah Islam dan negara adalah negara. Di antara keduanya tidak ada sangkut paut. Sesungguhnya pandangan itu bukan dari Islam, melainkan dari Nashrani yang memiliki doktrin, Berikan kepada Tuhan hak Tuhan dan berikan kepada kaisar hak kaisar.
Anehnya, pemikiran asing itu ditujukan kepada Islam. Lebih aneh lagi, umat Islam menerimanya tanpa mengoreksi kebenarannya. Bahkan, menghina pandangan ulama dulu dengan anggapan mereka jumud (statis). Mereka merasa sebagai mujaddid (pembaru), padahal hanya ingin memperbarui Islam dengan sesuatu yang bukan dari Islam dan tidak pernah dikenal. Mereka ingin mengubah segalanya. Jika mampu, menukar bumi menjadi langit dan malam menjadi siang. Jika demikian, mereka labih layak disebut mubaddid (perusak) agama.
Ikhwan tidak memahami Islam hanya aktual di pesantren, tetapi hampa di rumah; aktual di masjid, hampa di istana; aktual di ceramah dan seminar, tetapi hampa dalam keseharian karena generasi terbaik imat ini tidak memahami dan menjalani Islam seperti itu. Islam adalah Islamnya Alquran dan Assunnah dengan segala hal yang terkandung di dalamnya tanpa pemisahan. Apakah generasi terbaik itu layak dianggap menjalankan politisasi agama?
Tidak masalah istilah apa pun yang disematkan orang terhadap agama Allah Swt ini. Intinya, Islam memiliki syariat yang universal meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk kebutuhan untuk mengatur dan membangun daulah (negara) dan memiliki khalifah. Anehnya, mereka tidak mempermasalahkan berdirinya nebara berdasarkan ieologi selain Islam seperti negara komunis, sosialis, kapitalis, bahkan negara Katolik. Mereka memberi kebebasan yang amat luas dengan alasan demokrasi, tetapi mereka sibuk mengerahkan segenap kemampuan dan senjata untuk membendung berdirinya Daulah Islamiyah.
Kepada merekalah Imam Syahid Hasan al Banna memberikan seruan, Wahai kaum kami, sungguh ketika kami menyeru kalian, ada Alquran di tangan kanan kami dan Assunnah di tangan kiri kami serta jejak kaum salaf yang soleh dari putera-putera terbaik umat ini sebagai panutan kami. Jika orang yang menyeru kepada itu semua kalian namakan politikus, alhamdulillah kami adalah politikus yang ulung. Jika kalian ingin menyebut itu sebagai politik, silakan memberi nama apa saja yang kalian suka. Nama sama sekali tidak penting bagi kami selama muatan dan tujuannya jelas. Wahai kaum kami, janganlah kata-kata menghalangi kalian dari melihat kebenaran. Jangan pula nama menghijabkan kalian dari tujuan. Jangan sampai kemasan (bungkus) menghijab kalian dari muatannya yang hakiki. Jangan sampai itu semua terjadi. Sesungguhnya dalam Islam ada politik, tetapi politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami. Kami tidak menginginkan pengganti apa pun selain itu. Pimpinlah diri kalian untuk itu dan ajaklah orang lai melakukan hal yang sama, niscaya kalian akan memperoleh kehormatan di akhirat. Suatu saat kalian pasti akan tahu tentang kebenaran kabar ini.57)
a. Tuduhan Saudara Seperjuangan
Sebagai duat, ada yang ikut menuding Ikhwan juga dari sisi ini dengan perspektif lain. Mereka menganggap Ikhwan melupakan dakwah tauhid serta melalaikan masalah bidah dan khurafat yang ada di masyarakat. Itu semua terjadi lantaran Ikhwan dianggap lebih mementingkan politik.58) Penilaian-penilaian seperti itu sah-sah saja, apalagi secara kebetulan itulah yang mampu mereka lihat dan pahami secara kasat mata dari keseharian aktivis Ikhwan. Namun, melakukan penelitian dan pemeriksaan yang seksama adalah sebuah keharusan ilmiah bagi mereka agar memiliki hujjah yang argumemtatif dan bukan hawa nafsu dan emosi. Bagi yang mau melihat, lalu merenungi, dan ikhlas dalam itu semua, mereka akan melihat bahwa anggapan Ikhwan terlalu bermain politik adalah keliru. Banyak kenyataan yang tidak mendukung tudingan itu. Di antaranya, tengoklah semua perpustakaan Islam dunia di ujung Barat dan Timur, kita akan melihat karya-karya al Banna dan pengikutnya yang tidak terhitung jumlahnya dan menduduki tempat tersendiri. Bahkan, tidak jarang menjadi best-seller. Bukalah karya-karya itu, apakah isinya selalu kajian politik? Tidak, itu hanya sebagian kecil saja, bahkan amat kecil. Berikut adalah sebagian karya tokoh Ikhwanul Muslimun yang telah menyebar di dunia.
Kajian Ilmu-Ilmu Alquran dan Tafsirnya:
1. Mabhats fi Ulumil Quran (Manna Khalil al Qattan)
2. Kaifa Nataamal Maal Quran (Yusuf al Qaradhawy
3. Ash Shabru fil Quran (Yusuf al Qaradhawy
4. Dialog dengan Alquran (Muhammad al Ghazaly)
5. Alquran dan akal (Yusuf al Qaradhawy
6. Marjaiyatul Ulya lil Islam al Quran was Sunnah (Yusuf al Qaradhawy)
7. Fi Zhilalil Quran (Sayyid Qutb)
8. Taswirul Fanni fil Quran (Sayyid Qutb)
9. Fi Zhilalis Surah at Taubah (Abdullah Azzam)
Kajian Hukum Islam:
1. Tasyi al Jinai fil Islam (Abdul Qadir Audah)
2. Al Fatawa (Abdul Halim Mahmud)
3. Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq)
4. Fiqhun Nisa (Abdul Karim Zaidan)
5. Fiqhuz Zakat (Yusuf al Qaradhawy
6. Fiqhus Shiyam (Yusuf al Qaradhawy
7. Al Halal wal Haram fil Islam (Yusuf al Qaradhawy)
8. Min Fiqhid Daulah (Yusuf al Qaradhawy)
9. Fatwa-fatwa Kentemporer (3 jilid) (Yusuf al Qaradhawy)
10. Fiqh Aulawiyat (Yusuf al Qaradhawy)
Kajian Akidah Islam:
1. Aqidah Islam (Sayyid Sabiq)
2. AlAqaid (Hasan al Banna)
3. Tauhidullah (Yusuf al Qaradhawy)
4. Al Wala (Said Hawwa)
5. Trilogi Allah, Rasul al Islam (Said Hawwa)
Kajian Sirah Nabi dan Sahabat:
1. Fiqhus Sirah (Muhammad al Ghazaly)
2. Sirah Nabawiyah (Said Ramadhan al Buthy)
3. Manhaj Haraki (Munir al Ghadban)
Kajian Hadist Nabawi:
1. Kaifa Nataamal maas Sunnah (Yusuf al Qaradhawy)
2. Madkhal lid Dirasah as Sunnah an Nabawiyah (Yusuf al Qaradhawy
3. As Sunnah an Nabawiyah Mashdaran lil Marifah wal Hadharah (Yusuf al Qaradhawy)
4. Marjaiyatul Ulya lil Islam al Quran was Sunnah (Yusuf al Qaradhawy)
5. Al Muntaqa fit Tarhib wat Targhib (Yusuf al Qaradhawy)
6. As Sunnah an Nabawiyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadist (Muhammad al Ghazaly)
7. As Sunnah an Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyriil Islam (Mustafa as Sibai)
Kajian Pembinaan Akhlak dan Ruhani:
1. Akhlak Muslim (Muhammad al Ghazaly)
2. Sabar (Yusuf al Qaradhawy)
3. Tawakal (Yusuf al Qaradhawy)
4. Niat dan Ikhlas (Yusuf al Qaradhawy)
5. Tarbiyah Ruhiyah (Abdullah Nasih Ulwan)
6. Tarbiyah Akhlaqiyah (Abdullah Nasih Ulwan)
7. Tarbiyatul Aulad (Abdullah Nasih Ulwan)
8. Tarbiyatunar Ruhiyah (Said Hawwa)
9. Tazqiyatun Nafs (Said Hawwa)
Kajian Dakwah dan Jihad:
1. Fiqhud Dakwah (Amin Jumah Abdul Aziz)
2. Dakwah Fardiyah (Abdul Halim Hamid)
3. Tarbiyah Jihadiyah (Abdullah Azzam)
4. Risalah Jihad (Hasan al Banna)
5. Risalah Dawatuna (Hasan al Banna)
6. Dakwah dan Hati (Abbas as sisi)
7. Dakwah dan Tarbiyah (Abbas as sisi)
8. Ikhwanul Muslimin Ahdats Shanaat Tarikh (Mahmud Abdul Halim)
Kajian Tsaqafah Islamiyah:
1. Keprihatinan Muslim Modern (Yusuf al Qaradhawy)
2. Anatomi Masyarakat Islam (Yusuf al Qaradhawy)
3. Fiqh Tajdid wash Shahwah Islamiyah (Yusuf al Qaradhawy)
4. Ghairul Muslim fil Islam (Yusuf al Qaradhawy)
5. Maalim fit Thariq (Sayyid Qutb)
6. Aladalah al Ijtimaiyah (Sayyid Qutb)
7. Al Mustaqbal li hadzad Din (Sayyid Qutb)
8. Jahiliyah Abad Duapuluh (Muhammad Qutb)
9. Tafsir Islam atas Realitas (Muhammad Qutb)
Ikhwan pun memiliki beberapa ulama hadist terkemuka, yaitu Syaikh Muhibbun al Khathib, Abdul Fattah Abu Guddah, dan Yusuf al Qaradhawy. Bahkan, Syaikh al Albany dahulunya aktif dalam halaqah Ikhwan. Masih banyak karya tokoh-tokoh Ikhwan yang belum disebutkan dan bukan di sini tempatnya. Sebagaimana yang kita lihat, benarkah perhatian Ikhwan hanya tertuju pada masalah politik seperti yang dituduhkan?
Dari segi aktivitas pun, Ikhwan bergerak ke sektor lain yang nyata. Pendidikan, bantuan sosial, kajian ilmu, jihad, olahraga, dan amal Islami lainnya. Kenyataan itu amat kentara dan tidak dapat dibantah! Adapun terjunnya Ikhwan ke wilayah politik bukanlah tanpa sebab. Pertama, Ikhwan tidak pernah meng-anaktirikan satu pun ajaran Islam. Semua mendapat perhatian yang seimbang, termasuk politik.
Kedua, Ikhwan lahir di tengah masyarakat muslim yang memahami Islam secara parsial. Lalu mereka membuat kelompok-kelompok pergerakan dengan agenda perbaikan masing-masing. Ada yang bergerak dalam memperbaiki akhlak pemuda, ada yang bergerak dalam memberantas bidah dan syirik atau ada yang bergerak dalam memberantas munkar. Mereka saling menuding dan merasa paling benar dalam manhaj-nya. Itu semua tidak memuaskan Hasan al Banna yang memahami Islam tidak dalam serpihan seperti itu. Menurutnya Islam itu adalah Nizham (tatanan) sempurna dan lengkap termasuk politik- yang kurang mendapat perhatian dari aktivis Islam saat itu.
Ketiga, Ikhwan memahami benar prioritas amal dakwah sehingga kadar perhatian terhadap masalah pun berbeda sesuai prioritasnya. Itu pun dapat berubah seiring dengan perubahan prioritas. Betapa banyak pengikut Ikhwan di berbagai negeri justru apolitis (tidak berpolitik) di dalam negeri mereka karena keadaan menuntut mereka berkiprah di bidang lain.59) Namun, tidak perlu diingkari bahwa Ikhwan berpolitik. Mungkin mereka menilai menghancurkan penguasa tiran lebih prioritas daripada meributkan kain atau celana panjang yang melebihi mata kaki (isbal), melindungi kaum muslimin dari kaum kafir lebih prioritas daripada meributkan cadar yang masih ikhtilaf, mempersoalkan makna istiwa (bersemayam), atau menggosok gigi pakai siwak. Abdullah bin Umar Ra pernah ditanya seseorang, Menurut anda, apa hukumnya membunuh nyamuk? Ibnu Umar Ra menjawab dengan marah, Anda bertanya tentang itu, sedangkan di negeri anda cucu Nabi dipenggal kepalanya!
Itulah Fiqih Ibnu Umar Ra yang mengerti prioritas amal dan tidak suka meributkan hal-hal yang tidak aktual. Memang demikianlah paradigma dakwah dan fiqh Salafus Shalih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah ulama yang sangat bersemangat memberantas bidah dan khurafat pada masanya yang memang amat merajalela. Namun, ketika pasukan Tar-Tar menyerang Damaskus, beliau langsung memimpin perang dengan pemahaman sebagai prioritas. Beliau salah satu model alim yang beramal, tahu prioritas dan mengerti menempatkan masalah tanpa menyudutkan pihak lain.
b. Apakah Politik Selalu Buruk?
Itulah yang harus dimengerti kaum muslimin secara benar. Persepsi yang keliru terhadap politik tentu melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Secara teoritis, siyasah merupakan ilmu yang penting dan memiliki kedudukan tersendiri. Secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan makhluk dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Imam Ibnul Qayyim mengutip perkataan Imam Abu Wafa Ibnu Aqil al Hanbali bahwah siyasah merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat dengan kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara. Ibnul Qayyim mengatakan, Sesungguhnya, politik yang adil tidak akan bertentangan dengan syara, bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya. Dalam hal itu, kami menyebutnya dengan siyasah karena mengikuti istilah anda. Padahal, sebenarnya dia adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik sehingga Imam al Ghazaly pernah berkata, Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Pemimpin dan agama merupakan anak kembar. Agama merupakan dasar dan penguasa merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar tentu akan runtuh dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga tentu akan hilang.60)
Hal yang perlu diingat adalah dulu tidak ada pemisahan secara fungsional antara ulama dan penguasa. Para penguasa masa lalu khulafaur Rasyidin- adalah ulama dan tokh umat sekaligus negarawan andal pada masanya. Utsman bin Afan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Rasulullah Saw adalah negarawan- seperti diakui banyak orentalis- disamping pemimpin agama, muballigh, pengajar dan hakim. Beliau adalah panutan Khulafaur Rasyidin. Namun saat ini, tidak sedikit umat Islam yang alergi politik dan segala yang berhubungan dengannya. Hal itu menimpa kalangan awam hingga orang alimnya, bahkan ada beberapa jamaah Islam yang amat menjauhkan politik dari manhaj gerakan mereka. Alasan mereka, politik dapat mengotori hati dan pikiran. Ada pula yang beralasan dakwah politik bukanlah dakwah salafush shalih dan kami bukan dai-dai politik. Mereka menyitir ucapan Ibnu Taimiyah, Saya bukan politikus walau saya mengkaji masalah-masalah politik.
Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan mereka terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian mereka terhadap politik. Mereka begitu akrab dengan ucapan Muhammad Abduh, Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik. 61)
Sebaiknya, kaum muslimin memilah secara shafi (jernih) antara politik syari dan Machiavelli sekaligus memilah politisi bersih dari politisi kotor. Jangan sampai ada oknum-oknum politisi atau doktrin politik yang semena-mena membuat pandangan jernih kita tertutup, lalu membuat kesimpulan keliru secara umum tentang politik. La haula wala quwwata illa billah.
---------------------------------------
[57] Hasan al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid I, hlm 75.
[58] As Sunnah, edisi 05/Th. III/1419-1998, hlm. 28.
[59] Menurut Mamun al Hudaibi, Inti masalah yang dihadapi tiap negara berbeda antara satu dan lainnya. Oleh karena itu, cara atau metode yang digunakan pun berbeda untuk tiap-tiap negara. Jadi, tidak dapat dikatakan Ikhwan meninggalkan jihad, misalnya hanya karena mereka menggunakan cara lain di Mesir yang betul-betul berbeda dengan Palestina. (Ishlah edisi 67/Th. IV, 1996, hlm 23 kol 3). Imam Ibnul Qayim dalam Madarijus Salikin menegaskan bahwa ibadah yang paling utama adalah yang sesuai dengan urgensi dan prioritasnya. Jika dalam negerinya deserang kekuatan kafir, jihad adalah ibadah paling utama. Jika kemiskinan melanda, mengentaskan kemiskinan adalah ibadah yang paling utama. Jika kebodohan merajalela, menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama. Jika banyak kekacauan karena tidak ditegakkannya hukum Islam, menegakkan syariat Islam secara benar adalah ibadah yang paling utama.
[60] Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid II hlm 913.