Cinta seorang ibu dan bapak kepada buah hatinya adalah tulus. Anak TK (Taman Kanak-Kanak) biasa diajari lagu, “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia.” Begitu pula kasih sayang bapak sama seperti ibu, walaupun tidak disebutkan dalam lirik lagu itu.
Jasa ibu dapat dilihat sejak anak masih dalam kandungan hingga besar. Dalam kondisi lemah setelah melahirkan, beliau berusaha untuk membelai putranya. Pengorbanan ibu tak berhenti disini, tetapi dengan penuh keihklasan ibu menghantarkan anaknya hingga dewasa melewati dinamika kehidupan. Sementara bapak dengan kesabaran terus berjuang mencukupi kebutuhan keluarga, baik materi maupun non materi.
Sebab itu, syara’ mewajibkan manusia untuk mempergauli orang tua dengan sebaik-baiknya dan mengutuk terhadap anak yang mendurhakai keduanya. Bahkan derajat jihad fi sabillah -perang demi memperjuangkan agama Tuhan- berada di bawah keutamaan birru al-walidaini -berbuat baik terhadap beliau berdua.
Diceritakan dari Sahabat ‘Amr ibnu Ash, dia berkata: ”Seorang laki-laki menghadap kepada Nabi Muhammad saw sembari mengucapkan ikrarnya begini, ’Aku berjanji padamu untuk hijrah dan perang demi mendapatkan pahala dari Allah,’ katanya. Kemudian Rasulullah bertanya: ’Apakah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Benar ya Rasul, bahkan kedua-duanya,’ timpalnya. Untuk kedua kalinya Rasullah kembali mengajukan pertanyaan, ‘Apakah kamu ingin mendapatkan pahala dari-Nya?’ Betul,’ jawabnya tegas. ‘Kembalilah dan pergauli dengan baik kedua orang tuamu.” Lanjut Rasullah. (HR. Bukhori dan Muslim).
Berdasarkan dalil dari al Quran maupun Hadis, derajat ibu lebih tinggi dari pada bapak karena memang perjuanganya lebih besar. Diantaranya, selama sembilan bulan beliau sendiri menanggung beratnya beban bayi dalam rahim dalam kondisi wahnan ala wahnin -payah di atas kepayahan. Selama itu pula beliau rela berpuasa dari konsumsi segala jenis makanan yang berdampak kurang baik terhadap janinnya. Hingga pada saat bayi tengah lahir, sang ibu merelakan nyawanya diambil demi kelahiran sang buah hati. Maka sangat layak bila Rasulullah mendudukkan kemuliaan ibu tiga kali di atas derajat ayah. Akan tetapi hormat kita terhadap keduanya tetap harus seimbang tanpa melebihkan satu pihak.
Selain bunda, menurut jumhurul ulama’ -mayoritas ulama, kedudukan guru dalam perspektif Islam lebih tinggi dari pada bapak. Shohibul Fadlilah As-Syeh az-Zurnaji menyebut guru sebagai bapak dalam urusan agama. Pemilik kitab Ta’lim al-Muta’alim ini pula secara implisit memposisikan kemuliaan satu tingkat di atas bapak kandung, dengan dasar dari perkataan Imam al-Iskandar saat ditanya tentang permasalahan ini. Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Iskandar, kenapa Anda lebih hormat kepada guru dari pada ayah Anda?” Beliau menjawab: ”Karena bapak adalah seseorang yang menurunkanku dari langit ke bumi, sementara guru yang mengangkatku dari bumi ke langit.” Lebih jelasnya, manusia dapat tumbuh secara fisik berkat jasa dari orang tua, sedangkan seorang pengajar berjasa mendidik secara mental.
Praktek dari konsep ini nampak jelas terjadi di masyarakat kita. Sopan santun anak terhadap orang tua berbeda dengan sikap mereka terhadap gurunya. Di ranah kepesantrenan banyak ditemukan praktek ikrom al-asatidz –penghormatan terhadap ustadz, yang masih sangat kental, sebagaimana: cium tangan ustadz, menundukkan kepala di hadapanya, larangan mendahului langkah guru dan sebagainya. Akan tetapi bentuk ta’dzim mereka tersebut seakan luntur kala ber sosialisasi dengan orang tua di rumah. Apakah hal ini timbul akibat persepsi, kehormatan guru berada di atas derajat orang tua?
Jawabannya: subyektif, tergantung individu masing-masing. Namun apabila jawaban itu benar, tak ada salahnya kita me-review, tinjau ulang sebuah pedoman dari konsep di atas.
Perkataan Imam al Iskandar di atas, merupakan salah satu dalil penguat bagi adanya dikotomi antara kehormatan pengajar dengan ayah kandung. Selain itu Jumhuru al Ulama menjadikan maqolah Sayidina Ali sebagai penguatnya, yaitu: “Ana abdu man allamani harfan,” aku adalah hamba dari orang yang telah mengajariku satu huruf. Sebagai sahabat Nabi yang secara pribadi mendapatkan julukan “Babu al Ilmi”, Ali menyatakan kesediaannya menjadi budak dari seseorang yang menularkan ilmunya meski hanya satu huruf. Ini menunjukkan bahwa kedudukan para pengajar di mata beliau sangat tinggi.
Penulis menyetujui atas rumusan ulama tersebut, kerena banyak nash al Quran atau Hadis menjelaskan keafdloliyahan pemilik ilmu. Bahkan Rasulullah saw mendiskripsikan posisi ulul ilmi dengan orang-orang bodoh sebagaimana kedukan beliau dengan umatnya. Bahkan Nabi mengatakan,”Fadlu al alim ala al abid kafadli al qomari lailata albadri ala sairi al kawakib,” keutamaan orang alim mengalahkan kedudukan ahli ibadah, seperti keindahan bulan purnama dibanding bintang-bintang.
Hanya saja, arti guru selama ini difahami sempit oleh masyarakat. Guru adalah orang yang mengajarkan ilmu dalam institusi-institusi pendidikan secara konkrit, baik formal maupun non formal, misalnya pesantren, diklat atau semacamnya. Sehingga definisi ini tidak mencakup orang tua -termasuk bapak- sebagai salah satu dari kategori pengajar. Padahal pendidikan pertama manusia diperoleh dari mereka. Dari keduanya manusia tahu tentang berbudi pekerti baik sebelum mengenyam pendidikan dari luar keluarga, mengenal siapa nama-nama Nabi, nama Agama, kitab suci dan lain-lain. Bahkan dalam salah satu hadis Rasul dijelaskan, bahwa pembentuk ideologi manusia adalah kedua orang tua, mereka yang menentukan kepercayaan anak, adakalanya Islam, Yahudi, Nasroni, dll.
Kesimpulanya, pendapat ulama yang menyatakan adanya dikotomi antara kemuliaan bapak dengan guru, lebih tepatnya dikorelasikan berdasarkan kwantitas ilmu dan pengaruh ilmu terhadap anak, bukan secara mutlak. Wallahu ‘Alam.
Jasa ibu dapat dilihat sejak anak masih dalam kandungan hingga besar. Dalam kondisi lemah setelah melahirkan, beliau berusaha untuk membelai putranya. Pengorbanan ibu tak berhenti disini, tetapi dengan penuh keihklasan ibu menghantarkan anaknya hingga dewasa melewati dinamika kehidupan. Sementara bapak dengan kesabaran terus berjuang mencukupi kebutuhan keluarga, baik materi maupun non materi.
Sebab itu, syara’ mewajibkan manusia untuk mempergauli orang tua dengan sebaik-baiknya dan mengutuk terhadap anak yang mendurhakai keduanya. Bahkan derajat jihad fi sabillah -perang demi memperjuangkan agama Tuhan- berada di bawah keutamaan birru al-walidaini -berbuat baik terhadap beliau berdua.
Diceritakan dari Sahabat ‘Amr ibnu Ash, dia berkata: ”Seorang laki-laki menghadap kepada Nabi Muhammad saw sembari mengucapkan ikrarnya begini, ’Aku berjanji padamu untuk hijrah dan perang demi mendapatkan pahala dari Allah,’ katanya. Kemudian Rasulullah bertanya: ’Apakah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Benar ya Rasul, bahkan kedua-duanya,’ timpalnya. Untuk kedua kalinya Rasullah kembali mengajukan pertanyaan, ‘Apakah kamu ingin mendapatkan pahala dari-Nya?’ Betul,’ jawabnya tegas. ‘Kembalilah dan pergauli dengan baik kedua orang tuamu.” Lanjut Rasullah. (HR. Bukhori dan Muslim).
Berdasarkan dalil dari al Quran maupun Hadis, derajat ibu lebih tinggi dari pada bapak karena memang perjuanganya lebih besar. Diantaranya, selama sembilan bulan beliau sendiri menanggung beratnya beban bayi dalam rahim dalam kondisi wahnan ala wahnin -payah di atas kepayahan. Selama itu pula beliau rela berpuasa dari konsumsi segala jenis makanan yang berdampak kurang baik terhadap janinnya. Hingga pada saat bayi tengah lahir, sang ibu merelakan nyawanya diambil demi kelahiran sang buah hati. Maka sangat layak bila Rasulullah mendudukkan kemuliaan ibu tiga kali di atas derajat ayah. Akan tetapi hormat kita terhadap keduanya tetap harus seimbang tanpa melebihkan satu pihak.
Selain bunda, menurut jumhurul ulama’ -mayoritas ulama, kedudukan guru dalam perspektif Islam lebih tinggi dari pada bapak. Shohibul Fadlilah As-Syeh az-Zurnaji menyebut guru sebagai bapak dalam urusan agama. Pemilik kitab Ta’lim al-Muta’alim ini pula secara implisit memposisikan kemuliaan satu tingkat di atas bapak kandung, dengan dasar dari perkataan Imam al-Iskandar saat ditanya tentang permasalahan ini. Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Iskandar, kenapa Anda lebih hormat kepada guru dari pada ayah Anda?” Beliau menjawab: ”Karena bapak adalah seseorang yang menurunkanku dari langit ke bumi, sementara guru yang mengangkatku dari bumi ke langit.” Lebih jelasnya, manusia dapat tumbuh secara fisik berkat jasa dari orang tua, sedangkan seorang pengajar berjasa mendidik secara mental.
Praktek dari konsep ini nampak jelas terjadi di masyarakat kita. Sopan santun anak terhadap orang tua berbeda dengan sikap mereka terhadap gurunya. Di ranah kepesantrenan banyak ditemukan praktek ikrom al-asatidz –penghormatan terhadap ustadz, yang masih sangat kental, sebagaimana: cium tangan ustadz, menundukkan kepala di hadapanya, larangan mendahului langkah guru dan sebagainya. Akan tetapi bentuk ta’dzim mereka tersebut seakan luntur kala ber sosialisasi dengan orang tua di rumah. Apakah hal ini timbul akibat persepsi, kehormatan guru berada di atas derajat orang tua?
Jawabannya: subyektif, tergantung individu masing-masing. Namun apabila jawaban itu benar, tak ada salahnya kita me-review, tinjau ulang sebuah pedoman dari konsep di atas.
Perkataan Imam al Iskandar di atas, merupakan salah satu dalil penguat bagi adanya dikotomi antara kehormatan pengajar dengan ayah kandung. Selain itu Jumhuru al Ulama menjadikan maqolah Sayidina Ali sebagai penguatnya, yaitu: “Ana abdu man allamani harfan,” aku adalah hamba dari orang yang telah mengajariku satu huruf. Sebagai sahabat Nabi yang secara pribadi mendapatkan julukan “Babu al Ilmi”, Ali menyatakan kesediaannya menjadi budak dari seseorang yang menularkan ilmunya meski hanya satu huruf. Ini menunjukkan bahwa kedudukan para pengajar di mata beliau sangat tinggi.
Penulis menyetujui atas rumusan ulama tersebut, kerena banyak nash al Quran atau Hadis menjelaskan keafdloliyahan pemilik ilmu. Bahkan Rasulullah saw mendiskripsikan posisi ulul ilmi dengan orang-orang bodoh sebagaimana kedukan beliau dengan umatnya. Bahkan Nabi mengatakan,”Fadlu al alim ala al abid kafadli al qomari lailata albadri ala sairi al kawakib,” keutamaan orang alim mengalahkan kedudukan ahli ibadah, seperti keindahan bulan purnama dibanding bintang-bintang.
Hanya saja, arti guru selama ini difahami sempit oleh masyarakat. Guru adalah orang yang mengajarkan ilmu dalam institusi-institusi pendidikan secara konkrit, baik formal maupun non formal, misalnya pesantren, diklat atau semacamnya. Sehingga definisi ini tidak mencakup orang tua -termasuk bapak- sebagai salah satu dari kategori pengajar. Padahal pendidikan pertama manusia diperoleh dari mereka. Dari keduanya manusia tahu tentang berbudi pekerti baik sebelum mengenyam pendidikan dari luar keluarga, mengenal siapa nama-nama Nabi, nama Agama, kitab suci dan lain-lain. Bahkan dalam salah satu hadis Rasul dijelaskan, bahwa pembentuk ideologi manusia adalah kedua orang tua, mereka yang menentukan kepercayaan anak, adakalanya Islam, Yahudi, Nasroni, dll.
Kesimpulanya, pendapat ulama yang menyatakan adanya dikotomi antara kemuliaan bapak dengan guru, lebih tepatnya dikorelasikan berdasarkan kwantitas ilmu dan pengaruh ilmu terhadap anak, bukan secara mutlak. Wallahu ‘Alam.