Sejak pertama kali diciptakan, manusia memang sebagai makhluk social. Wajar bila wujudnya seorang teman sangatlah berarti dalam kehidupanya. Bahkan sejak pertama kali manusia diciptakan, Adam AS, juga membutuhkan seorang teman. Meski hidup di surga dengan fasilitas yang serba ada, tanpa seorang teman apalah artinya? Dan kesedihan Adam AS akhirnya diketahui oleh Alloh SWT, dan Siti Hawa-Lah sebagai jawabanya.
Di Abad moderen ini menjalin persahabatan kian mudah dan meluas. Kemajuan teknologi membuat jarak tidak lagi diperhitungkan. Dalam menjalin komunikasi kita tidak harus bertandang kerumah orang-orang yang kita kenal. Lewat nomor telephone atau sekedar alamat e-mail kita bisa berbagi pengalaman.
Untuk menambah kenalan pun juga tidak harus datang keperkumpulan orang banyak. Cukup lewat jaringan sosial face-books atau alamat chating lain kita bisa berkenalan dengan siapa saja. Tidak hanya orang dibelahan bumi Indonesia saja.Oorang luar negri pun, bisa jadi teman di dunia maya kita.
Arti dan hak-hak sahabat.
Pengertian sahabat banyak sekali. Yang paling mashur dikalangan anak muda zaman sekarang adalah;“orang yang datang kepadamu, ketika semua manusia menjauh.” Dengan artian, orang yang paling mengerti dan paling peduli, itulah sahabat. Sehingga toleransi diantara teman adalah pereoritasnya.
Arti sahabat pun ahirnya merambah kearah yang lebih ekstrem. Berbagai syarat dalam ‘Norma’ persahabatan. Meski terlalu radikal dan hanya dalam kesepakatan tersembunyi. Ucapan tidak setia kawan sering dijadikan bahan untuk menjebak teman agar mengikuti jalannya, seakan menjadi ‘Halal’. Walau hanya demi ego sendiri. Dan sang teman pun mengikut begitu saja. Layaknya sapi yang dicocok hidungnya.
Demi seorang teman, pengorbanan apapun sah untuk dilakukan. Tanpa mempertimbangkan lagi Norma Agama maupun Negara. Yang terpenting adalah persahabatan erat dengan loyalitas tertinggi, sebagaimana yang diasumsikan sebagai syarat mutlak dalam menjalin persahabatan yang abadi. Benarkah?
Dikalangan kita, Santri, tentunya tidak perlu dipertegas lagi. Pentingnya seorang sahabat dan bahanya memilih teman yang salah, banyak ditemukan dalam kitab-kitab salaf. Namun dalam prakteknya masih terasa ganjil. Ada seorang santri gara-gara temannya yang tidak hafal. Padahal dia sendiri hafal dan hampir satu jam membolak-balik kitabnya untuk menghafal. Dan karena temannya tidak hafal, dia ikut-ikutan berdiri. “Demi teman!” katanya. Juga mengabiakan keinginan pengajarnya (mustahiq) yang lebih memilih dia duduk.
Melihat kenyataan ini maqolah
"صديقك من صدقك لا من صدقك"
menarik untuk diperbincangkan. Masih terlakukah bagi mereka?
Bisa jadi “Ya” bisa juga “Tidak!” tergantung pemahaman pelakunya.
Melihat apa yang terjadi, bisa saja pelakunya menganggap dan mempraktekan maqolah di atas. Terbukti dia lebih mementingkan temannya daripada harus menyenangkan hati Mustahiqnya.
Namun kelihatanya ada yang terbalik, tasydid yang seharusnya berada dibelakang diletakkan di depan. Selanjutnya tinggal dua kemungkinan, yang perlu di pertanyakan. Apa dengan sebab kitab-kitab zaman dulu tidak ada yang berharokat, sehingga membacanya mengikuti kesenangan hati, atau tidak lagi percaya dengan pendahulunya? Sehingga pesan itu diabaikan begitu saja!
Kalau memang kemungkinan yang pertama, penulis tekankan Anda salah. Tapi jika yang kedua, ya silahkan jalani saja keyakinan itu dan tunggu apa yang akan terjadi. Na’udzubillah….!
Di Abad moderen ini menjalin persahabatan kian mudah dan meluas. Kemajuan teknologi membuat jarak tidak lagi diperhitungkan. Dalam menjalin komunikasi kita tidak harus bertandang kerumah orang-orang yang kita kenal. Lewat nomor telephone atau sekedar alamat e-mail kita bisa berbagi pengalaman.
Untuk menambah kenalan pun juga tidak harus datang keperkumpulan orang banyak. Cukup lewat jaringan sosial face-books atau alamat chating lain kita bisa berkenalan dengan siapa saja. Tidak hanya orang dibelahan bumi Indonesia saja.Oorang luar negri pun, bisa jadi teman di dunia maya kita.
Arti dan hak-hak sahabat.
Pengertian sahabat banyak sekali. Yang paling mashur dikalangan anak muda zaman sekarang adalah;“orang yang datang kepadamu, ketika semua manusia menjauh.” Dengan artian, orang yang paling mengerti dan paling peduli, itulah sahabat. Sehingga toleransi diantara teman adalah pereoritasnya.
Arti sahabat pun ahirnya merambah kearah yang lebih ekstrem. Berbagai syarat dalam ‘Norma’ persahabatan. Meski terlalu radikal dan hanya dalam kesepakatan tersembunyi. Ucapan tidak setia kawan sering dijadikan bahan untuk menjebak teman agar mengikuti jalannya, seakan menjadi ‘Halal’. Walau hanya demi ego sendiri. Dan sang teman pun mengikut begitu saja. Layaknya sapi yang dicocok hidungnya.
Demi seorang teman, pengorbanan apapun sah untuk dilakukan. Tanpa mempertimbangkan lagi Norma Agama maupun Negara. Yang terpenting adalah persahabatan erat dengan loyalitas tertinggi, sebagaimana yang diasumsikan sebagai syarat mutlak dalam menjalin persahabatan yang abadi. Benarkah?
Dikalangan kita, Santri, tentunya tidak perlu dipertegas lagi. Pentingnya seorang sahabat dan bahanya memilih teman yang salah, banyak ditemukan dalam kitab-kitab salaf. Namun dalam prakteknya masih terasa ganjil. Ada seorang santri gara-gara temannya yang tidak hafal. Padahal dia sendiri hafal dan hampir satu jam membolak-balik kitabnya untuk menghafal. Dan karena temannya tidak hafal, dia ikut-ikutan berdiri. “Demi teman!” katanya. Juga mengabiakan keinginan pengajarnya (mustahiq) yang lebih memilih dia duduk.
Melihat kenyataan ini maqolah
"صديقك من صدقك لا من صدقك"
menarik untuk diperbincangkan. Masih terlakukah bagi mereka?
Bisa jadi “Ya” bisa juga “Tidak!” tergantung pemahaman pelakunya.
Melihat apa yang terjadi, bisa saja pelakunya menganggap dan mempraktekan maqolah di atas. Terbukti dia lebih mementingkan temannya daripada harus menyenangkan hati Mustahiqnya.
Namun kelihatanya ada yang terbalik, tasydid yang seharusnya berada dibelakang diletakkan di depan. Selanjutnya tinggal dua kemungkinan, yang perlu di pertanyakan. Apa dengan sebab kitab-kitab zaman dulu tidak ada yang berharokat, sehingga membacanya mengikuti kesenangan hati, atau tidak lagi percaya dengan pendahulunya? Sehingga pesan itu diabaikan begitu saja!
Kalau memang kemungkinan yang pertama, penulis tekankan Anda salah. Tapi jika yang kedua, ya silahkan jalani saja keyakinan itu dan tunggu apa yang akan terjadi. Na’udzubillah….!