Recents in Beach

header ads

Belajar Niat Dan Cinta

Dulu, ketika masih berumur sekitar sepuluhtahunan, saya dan teman-teman sebaya di kampung membentuk sebuah komunitas kecil. Kami terkumpul dalam kegemaran yang sama, yaitu ronda keliling kampung pada waktu sahur di bulan puasa. Kenangan itu masih melekat sampai saat kami sudah dewasa. Saya benar-benar terkesan dengan pengalaman itu.

Mungkin karena masih kecil, untuk pembuatan kentongan sebagai peralatan ronda kami masih dibantu orang tua. Peralatan yang kami gunakan masih teramat tradisional. Maklum, anak desa. Karena masih kecil pula, pengalaman kami sedikit berbeda dengan kolompok peronda lain yang pada umumnya  beranggotakan orang-orang dewasa. Banyak tantangan-tantangan yang harus kami hadapi.

Tantangan itu muncul sejak awal-awal kami melakukan ronda keliling kampung. Pada waktu itu kami berjalan melintasi sebuah perkampungan dan sedikit ada persawahan. Kami juga  melintasi tempat pemakaman (kuburan) umum.  Rasanya tidak ada rasa takut dalam hati kami.  Sampai di daerah dekat persawahan barulah muncul sebuah masalah. Kami bertemu dengan kelompok peronda dewasa. Tak disangka, salah satu di antara mereka mengejar kelompok kami untuk meminta kentongan dengan cara paksa. Bukannya tak mau menyerahkan kentongan, tapi kami juga berpikir siapa tahu mereka akan bertindak jahat pada kami. Takut. Akhirnya kami lari terbirit-birit. Salah satu di antara kami terjatuh. Ia adalah yang bertugas sebagai pemukul “theng” dari cangkul. Ia tak putus asa. Dalam keadaan sakit ia segera bangkit kemudian berlari lagi. Alhamdulillah kami selamat dari kejaran itu.

Keesokannya kami saling berbagi cerita. Teman kami yang jatuh itu mengatakan tangannya bengkak. Ia tidak mengeluh. Bahkan sepertinya justru bangga dengan pengorbananya itu.

Pengalaman pahit itu tidak membuat kami kapok. Pada malam-malam berikutnya kami tetap melakukan ronda keliling. Tapi pengalaman pahit itu rupanya sedikit membuat kami trauma. Bila terdengar ada kelompok ronda lain, kami mencari tempat persembunyian sampai situasi  dirasa aman. Tidak sampai di situ saja. Banyak tantangan-tantangan yang harus kami lalui demi melakukan kegiatan itu. Namun kami tetap saja tegar dan dengan suka cita melakukannya. Kekuatan niat dan cinta pada kegiatan itu memotifasi kami untuk berusaha “istiqamah”. Jangankan hanya rasa capek dan kantuk, dinginnya malam pun tak membuat niat kami reda begitu saja.

Yang demikian itu adalah sebuah cermin dan ibarat. Saya mencoba untuk belajar dari pengalaman itu; Bahwa niat adalah satu pondasi yang amat penting. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh penulis kitab Ta’lim al Muta’alim fi Bayani Thariqi at Ta’alum, bahwa niat adalah pokok dari segala perbuatan. Oleh karenanya beliau menyarankan kepada santri, sebagai penuntut ilmu hendaknya ia berniat (dalam pencarian ilmunya) untuk mencari ridha Allah, ad Dar al Akhirah (masuk surga), menghilangkan kebodohan dirinya dan orang lain, menghidupkan agama, menetapkan keislaman, serta karena mensyukuri kesehatan akal dan badan.

Dengan kebenaran niat, kita berharap apa yang kita lakukan tidak muspro begitu saja, tapi bermanfaat dan barokah. Dan dengan cinta, kita berharap niat kita semakin mantap dalam menempuh sagala macam kebaikan. Tidak mudah oleh tantangan apa pun.  Semoga!